Selasa, 01 Februari 2022

menelisik kabar "INDONESIA DI SEBUT NEGARA MAJU" dalam perdagangan dunia pada tahun 2020

 

Kosekuensi ‘Status Negara Maju’ Dalam Perdagangan Dunia

Sudah Pantaskah Indonesia disebut sebagai negara maju?

Oleh: Restu Gusti Monitasari., S.H.


A.        Latar Belakang

Saat ini dunia sedang di hebohkan oleh beragam berita yang menarik perhatian salah satunya ialah keputusan Amerika Serikat pada 10 Februari 2020, yakni keputusan Amerika Serikat melalui catatan yang dirilis oleh Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (USTR) yang isinya bahwa Presiden Donald Trump mengeluarkan beberapa negara dari daftar Negara berkembang atau Developing and Least- Developed Countries (LGDCs) dan yang terdaftar sebagai negara berkembang hanya ada 36 negara, artinya hal ini berbeda dengan data international monetary fund (IMF) yang menyebutkan negara berkembang sebanyak 154 negara. Dan Indonesia menjadi salah satu negara yang dikeluarkan dari daftar negara berkembang bersamaan dengan negara lainnya diantaranya yaitu Malaysia, India, Brazil, Thailand, dan Afrika Selatan. Keputusan Amerika Serikat ini menuai reaksi yang beragam dari berbagai negara bersangkutan. Alasan Amerika Serikat merubah daftar negara berkembang ialah dengan alasan patokan yang digunakan sejak tahun 1998 ini sudah tidak sesuai dengan zaman atau tidak relevan, dan petimbangannya ialah ekonomi juga aktifitas ekonomi secara gelobal.

Keputusan yang menuai beragam reaksi tersebut di karenakan data Bank Dunia/World Bank yang menunjukan bahwa 5 negara yang menurut Amerika Serikat bukan lagi sebagai negara berkembang yaitu Indoneisa, Malaysia, Thailand, Brazil dan India. Menurut penghitugan World Bank kelima negara ini tidak memiliki klasifikasi sebagai negara maju, dapat dilihat dari data World Bank bahwa, Indonesia income perkapitanya hanya USD 3.840, Malaysia hanya USD 10.590, Thailand hanya USD 6.610, Brazil hanya USD 9.140, dan india hanya USD 2.024. sedangkan income percapita negara maju menurut World Bank diatas USD 12. 375.[1]

Sebelumnya keputusan semacam ini menjadi permasalahan didunia perdagangan terkhusus beberapa negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia / World Trade Organization (WTO). Singapura misalnya, sebelum keputusan ini dikeluarkan oleh Amerika Serikat, singapura pernah mengatakan bahwa negaranya tidak ingin dikategorikan sebagai negara maju, mereka menyatakan bahwa negara mereka lebih layak disebut ‘negara berkembang’ dalam konteks ketentuan WTO. Alasan singapura mengatakan hal demikian ialah karena negaranya tidak memiliki sumberdaya yang memadai dan ekonominya tergolong kecil, hal tersebut ditegaskan oleh Menteri Perdagangan dan Industri Singapura Chan Chun Sing pada September 2019.[2]

Berbeda dengan Indonesia, reaksi yang dikeluarkan oleh berbagai kalangan cukup beragam dan berbeda-beda saat keputusan Presiden AS ini dikeluarkan, ada yang setuju dengan membanggakan keputusan tersebut, dan ada yang tidak setuju dengan melihat sisi negative yang akan timbul setelah keputusan tersebut. Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani, berpendapat bahwa sebetulnya keputusan Amerika Serikat tidak akan berpengaruh terlalu besar kepada perdagangan Indonesia, karena menurut penjelasannya keputusan Amerika Serikat tersebut hanya menyasar dan lebih berdampak pada bea masuk anti-subsidi atau cuntevalling Duties (CVD) karena sampai saat ini belum ada pencabutan fasilitas pengurangan bea masuk atau Generlized System of Preferences (GPS) oleh Amerika Serikat Serkait setelah dikeluarkannya Indonesia dari daftar negara berkembang.[3]

Lain dari Sri Mulyani, Piter Abdullah Direktur sekaligus Ekonomi Center of Reforms on Economic (CORE) menyatakan bahwa status negara maju atau tidak sebenarnya tidak penting, yang pasti ada beberapa hal yang akan membuat Indonesia sulit bersaing di pasar Amerika Serikat akibat pencabutan ini. Baginya Amerika Serikat tidak bermaksud memberi sanjungan kepada Indonesia dengan status negara maju melainkan lebih ke pencabutan GPS yang mana GPS ini sebenarnya masih dibutuhkan.

Generlized Syste of Preferences (GPS) sendiri adalah kebijakan pemberian potongan bea masuk impor. GSP bertujuan untuk 'mengangkat derajat' sebuah negara agar mampu keluar dari lembah nestapa kemiskinan. Melalui GSP, produk-produk negara tersebut bisa masuk ke Amerika Serikat tanpa bea masuk. Sedangkan atau cuntevalling Duties (CVD) adalah tambahan bea masuk yang dikenakan untuk mengimbangi efek dari subsidi yang diberikan oleh negara pengekspor untuk perusahaan eksportir.

Sebelum nya presiden Joko Widodo dalam pidatonya menyatakan bahwa pada tahun 2045 indonesia akan menjadi negaa maju, tapi tidak lama dari pidato tersebut ditahun yang sama yakni 2020 Amerika Serikat merillis keputusan demikian, hal ini menjadi pertanyaan besar bagi dunia perdagangan.

Lantas sebenarnya bagaimakah kosekuensi dari status negara maju yang di berikan kepada Indonesia? Apakah Indonesia sudah layak dikategorikan negara maju terkhusus dalam bidang perdagangan dunia? Dan sikap seperti apakah yang harus diberikan Indonesia dalam menghadapi keadaan tersebut?

B.         Pembahasan

a.  Kosekuensi menjadi Negara Maju dan negara berkembang dalam ketentuan World Trade Organization (WTO)

World Trade Organization (WTO) merupakan satu-satunya organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional. Terbentuk sejak tahun 1995, WTO berjalan berdasarkan serangkaian perjanjian yang dinegosiasikan dan disepakati oleh sejumlah besar negara di dunia dan diratifikasi melalui parlemen. Tujuan dari perjanjian-perjanjian WTO adalah untuk membantu produsen barang dan jasa, eksportir dan importir dalam melakukan kegiatannya.

Pendirian WTO berawal dari negosiasi yang dikenal dengan "Uruguay Round" (1986 - 1994) serta perundingan sebelumnya di bawah "General Agreement on Tariffs and Trade" (GATT). WTO pada saat itu terdiri dari 154 negara anggota, di mana 117 di antaranya merupakan negara berkembang atau wilayah kepabeanan terpisah. Saat ini, WTO menjadi wadah negosiasi sejumlah perjanjian baru di bawah "Doha Development Agenda" (DDA) yang dimulai tahun 2001.

Pengambilan keputusan di WTO umumnya dilakukan berdasarkan konsensus oleh seluruh negara anggota. Badan tertinggi di WTO adalah Konferensi Tingkat Menteri (KTM) yang dilaksanakan setiap dua tahun sekali. Di antara KT, kegiatan-kegiatan pengambilan keputusan WTO dilakukan oleh General Council. Di bawahnya terdapat badan-badan subsider yang meliputi dewan, komite, dan sub-komite yang bertugas untuk melaksanakan dan mengawasi penerapan perjanjian-perjanjian WTO oleh negara anggota.[4]

WTO bermarkas di JenewaSwiss. Pada tahun 2016, organisasi ini beranggotakan 164 negara dan wilayah kepabeanan yang mewakili 99,5% populasi dunia dan 98% perdagangan dunia. Seluruh anggota WTO diharuskan mengikuti aturan-aturan dasar yang ditetapkan melalui Persetujuan Marrakesh.[5]

Berbicara negara maju dan negara berkembang, sebenarnya WTO sebagai organisasi perdagangan di dunia yang berada di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan tidak memiliki definisi resmi untuk mengategorikan sebuah negara untuk dikatakan sebagai negara maju atau sebagai negara berkembang. Didalam aturan WTO, penentuan sebagai negara maju dan negara berkembang ditentukan sendiri oleh negara bersangkutan. Namun begitu tak serta merta sebuah negara yang mengumumkan diri sebagai negara berkembang lalu disetujui oleh semua negara-negara anggota WTO. Artinya anggota WTO lain dapat menentang keputusan negara yang mengklaim sebagai negara berkembang dan menyatakan tidak terikat untuk memberikan keistimewaan perdagangan pada negara yang ridak disetujuinya masuk sebagai negara berkembang.

Dalam metode klaim status negara, WTO jelas menyerahkan sepenuhnya kepada negara bersangkutan namun semua keputusan ada di setiap negara anggota. Klaim terhadap status negara berkembang dan negara maju ini cukup menjadi perhatian khusus dalam dunia perdagangan karena ketentuan WTO memberikan keuntungan juga kerugian bagi dua status negara tersebut.

Namun sejauh ini untuk porsi negara maju maupun berkembang, negara-negara ini mendasarkan pada tulisan atau perhitungan Wolrd Bank, yang mana perhitungannya terbagi atas 3 bagian, yaitu negara maju, negara menengah keatas dan negara menengah kebawah, dan penghitungan yang dilakukan ialah dengan Gross National Income (GNI)[6]. GNI ini dihitung lebih luas lagi dari pada Gross Domestic Product (GDP)[7] yang biasanya di pakai, jadi tidak hanya income, investasi, lalu konsumsi, ekspor-impor yang sejatinya untuk perhitungan GDP.[8]

Selain itu GNI menambah dari perhitungan nilai semua barang dan jasa yang dihasilkan seluruh penduduk dalam negeri, juga untuk barang dan jasa yang terjadi diluar negeri, tapi dikurangi dari pendapatan warga negara asing yang ada di Indonesia, dapatlah GNI. World Bank menghitung, jika di negara maju biasanya GNI nya diatas USD 12. 375, negara menengah keatas antara USD 3.996 – USD 12.375.

Selain itu untuk menjadi negara maju secara umum memiliki syarat, yang Pertama memenuhi income perkapita, kedua, Sumber Daya Manusia yaitu Fasilitas kesehatan yang baik, jaminan social yang bagus, dan social safety net harus baik, Ketiga infrastruktur yang bagus, dan keempat, institusi yang baik efisien, tidak korup dan bersih. Artinya setiap negara yang tidak memenuhi syarat umum tersebut terkategori sebagai negara berkembang.

Dalam ketentuan WTO, negara-negara berkembang memiliki hak-hak tertentu. Misalnya ketentuan dalam beberapa perjanjian dagang di WTO yang memberikan kelonggaran lebih lama bagi negara-negara berkembang untuk melakukan transisi lebih aman sebelum sepenuhnya mengimplementasikan perjanjian. Selain itu, dalam beberapa perjanjian dagang, negara-negara berkembang juga sering mendapatkan bantuan teknis dari negara-negara maju, atau disebut hak istimewa. yang disebut Special and Differential Treatment (S&D).

Secara umum S&D merujuk kepada hak-hak khusus dan keistimewaan-keistimewaan yang diberikan WTO kepada negara berkembang, dan tidak diberikan kepada negara maju. Dimuatnya ketentuan-ketentuan S&D dimaksudkan untuk memfasilitasi proses integrasi negara berkembang ke dalam sistem perdagangan multilateral, dan untuk membantu negara berkembang mengatasi kesulitan-kesulitan dalam mengimplementasikan seluruh perjanjian WTO. Dengan demikian kepentingan-kepentingan pembangunan negara berkembang tidak terhambat dan, pada gilirannya, negara berkembang dapat mengimplementasikan seluruh perjanjian WTO secara penuh. Dimuatnya ketentuan-ketentuan S&D dalam perjanjian WTO didasarkan pada prinsip bahwa liberalisasi perdagangan bukanlah tujuan tetapi alat untuk mencapai tujuan, yaitu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi seluruh negara anggotanya.[9]

Selain itu, ketentuan-ketentuan S&D tersebut menunjukkan pengakuan bahwa perbedaan tingkat pembangunan yang dicapai oleh negara-negara anggota WTO memerlukan adanya perangkat-perangkat kebijakan dalam mencapai pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang berbeda pula.[10] Terdapat 145 ketentuan S&D, tersebar dalam berbagai perjanjian WTO, 107 di antaranya diadopsi pada Putaran Uruguay, dan 22 secara khusus diperuntukkan bagi negara terbelakang (least-developed country Members)[11]

 Sekretariat WTO mengklasifikasikan ketentuan-ketentuan S&D ke dalam enam kategori:

(i)         Ketentuan-ketentuan yang ditujukan untuk meningkatkan kesempatan perdagangan negara berkembang;

(ii)       Ketentuan-ketentuan yang menghendaki negara-negara anggota WTO untuk melindungi kepentingan negara berkembang;

(iii)     Ketentuan-ketentuan yang memberikan fleksibilitas dalam komitmen, tindakan, dan penggunaan instrumen-instrumen kebijakan;

(iv)     Ketentuan-ketentuan yang memberikan masa transisi;

(v)       Ketentuan-ketentuan tentang bantuan teknis; dan

(vi)     Ketentuan-ketentuan khusus bagi negara terbelakang[12]

Dari penjelasan tersebut jelaslah bahwa dalam perdagangan dunia negara berkembang mendapatkan hak istimewa dan keringanan-keringanan dari negara maju. Namun menjadi negara maju pun merupakan suatu pencapaian, hanya saja status tersebut harus lah diberikan kepada negara yang memang terbukti layak.

b.  Indonesia Menyandang ‘Status Negara Maju’

Status negara maju, memberikan kosekuensi bahwa special & Differential treatment atau perlakuan special yang tersedia dalam WTO tidak berlaku lagi untuk Indonesia. Artinya Indonesia tidak lagi mendapatkan perlakuan istimewa dalam perdagangan, termasuk keistimewaan bea masuk dan juga bantuan lain dalam aktifitas ekspor impor.

Dampak dan fakta di balik keputusan Amerika Serikat memasukkan Indonesia ke negara maju dan segala konsekuensinya, diantaranya sebagaisebagai berikut:[13]

1.      Perlakuan Khusus dihapus

South China Morning Post (SCMP) menyatakan keputusan menjadikan Indonesia dan negara lainnya jadi negara maju, bertujuan agar negara-negara tersebut tidak memperoleh perlakuan khusus dalam perdagangan internasional. Presiden AS Donald Trump dinilai frustrasi karena World Trade Organization (WTO) memberikan perlakukan khusus terhadap negara-negara berkembang dalam perdagangan internasional.

Bila ada dugaan praktik subsidi negara dalam aktivitas ekspor, standar subsidi negara berkembang yang diperkenankan bisa lebih tinggi dari negara maju. Selain itu, proses investigasi terhadap dugaan subsidi terhadap negara berkembang lebih longgar. Ujung-ujungnya, produk negara berkembang bisa dijual lebih murah dan dapat menggilas produk sejenis di negara maju.

AS akan semakin mudah melakukan investigasi dan mengenakan tarif tambahan terhadap negara-negara maju baru seperti Indonesia, India, thailand, hingga Brasil bila hasil penyelidikan ditemukan adanya subsidi negara dalam aktivitas perdagangan.

Dasar pertimbangan AS lainnya untuk memasukkan Indonesia hingga tiongkok ke dalam daftar negara maju ialah kontribusi negara-negara tersebut terhadap perdagangan dunia telah tembus di atas 0,5 persen.

2.      Indonesia tidak lagi menerima fasilitas GSP (Generalized System of Preferences)

Dengan fasilitas GSP, Indonesia sebelumnya bisa menikmati fasilitas bea nmasuk yang rendah untuk ekspor tujuan AS. Peniadaan GSP dengan status menjadi negara maju bisa menyebabkan beban tarif bagi produk ekspor asal Indonesia yang selama ini mendapat insentif.

Saat ini tercatat sebanyak 3.572 Produk Indonesia yang memperoleh fasilitas GSP. Hal ini menyebabkan Indonesia terindikasi akan kehilangan potensi ekspor yang besar ke AS, utamanya berkaitan dengan produk-produk unggulan seperti tekstil dan pakaian sebab insentifnya dihapus.

Hal tersebut dapat membuat defisit neraca[14] perdagangan Indonesia makin lebar. Perjanuari 2020 ini, tercatat bahwa defisit Indonesia mencapai USD 864 Juta. Mengutip data statistik Kementerian Perdagangan (Kemendag), Amerika Serikat (AS) merupakan mitra dagang terbesar kedua Indonesia setelah China. Pada 2019, nilai perdagangan Indonesia-AS mencapai USD 26.975 M.

Ekspor Indonesia ke AS sebesar USD 17,720 miliar, sedangkan Impor Indonesia dari AS sebesar USD 9,255 miliar. Indonesia tercatat mengalami surplus perdagangan dengan AS hingga USD 8,464 miliar.

3.      Laporan Bank Dunia

Mengutip laporan Bank Dunia, kelas kelompok sebuah negara dilihat dari sudut pandang ekonomi. Ada 4 kategori negara yang dipakai, yakni negara miskin, negara ekonomi menengah ke bawah, negara ekonomi menengah ke atas, dan negara maju atau high income. Standar penilaian yang dipakai adalah Gross National Income (GNP) per kapita. Menurut Ekonom Senior Faisal Basri, GNP merupakan total Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP) dalam satu tahun yang mengeluarkan pendapatan warga asing dari perhitungan. Sebuah negara bisa dikatakan sebagai negara maju atau negara berpendapatan tinggi (high income country), dia harus memiliki GNP per kapita di atas USD 12.055.

Sedangkan negara kategori ekonomi menengah ke bawah (lower-middle income) memiliki GNP per kapita USD 996-3.895 dan negara kategori ekonomi menengah ke atas (upper-middle income) memiliki GNP per kapita USD 3.896-12.055.

Merujuk data tahun 2018 dari Bank Dunia, GNP per kapita Indonesia sebesar USD 3.840. Bila merujuk data tersebut, Indonesia masih berada dalam kelompok negara ekonomi menengah ke bawah atau ower-middle income. Artinya, Indonesia harus melewati fase negara ekonomi menengah ke atas untuk bisa menjadi negara maju dengan GNP per kapita di atas USD 12.055.

Dari uraian-urain tersebut dapat dilihat bahwa secara keadaan sesungguhnya status negara maju versi Amerika Serikat untuk Indonesia hanyalah hasil pertimbangan Amerika Serikat semata tanpa melihat pertimbangan lain seperti kategori negara maju yang dinyatakan oleh Bank Dunia.

c.   Sikap untuk menghadapi keputusan Amerika Serikat

Dalam konsep perdagangan dunia, telah di jelaskan bahwa WTO tidak memiliki kewenangan untuk mengklasifikasikan secara khusus negara-negara anggotanya yang termasuk kedalam negara maju dan berkembang, WTO mengembalikan semua klaim kepada negara bersangkutan. Maka dalam hal ini ketika AS mengeluarkan keputusan demikian sebenarnya hal tersebut merupakan hal yang wajar terutama sebagai negara adidaya, namun yang menjadi pertanyaan apakah sudah layak Indonesia mendapatkan status demikian? Nyatanya berdasarkan pembahasan yang sudah dilakukan diatas Indonesia belumlah layak dikategorikan sebagai negara maju, mungkin status tersebut untuk jangka Panjang sangat lah bagus karena hal tersebut sangat dicita-citakan oleh bangsa kita, bahkan Presiden Indonesia Joko Widodo dalam pidatonya menyatakan bahwa pada tahun 2045 indonesia akan menjadi negara maju, tapi siapa sangka di tahun 2020 ini Amerika Serikat memberikan status tersebut, alhasil dalam jangka pendek keputusan Amerika Serikat menuai pro kontra dan kekhawatiran Indonesia dalam perdagangan dunia.

Namun apalah daya, kini keputusan tersebut telah dikeluarkan dan tidak hanya menyasar Indonesia tapi negara lain pula. Yang saat ini harus dipikirkan bagaimanakah negara Indonesia menghadapi keputusan tersebut sebagai bentuk solusi dari permasalahan yang akan terjadi.

Disatu sisi, Amerika Serikat adalah negara kedua lahan Indonesia melakukan perdagangan dunia setelah china, bahkan produk yang di ekspor Indonesia ke Amerika Serikat pun sangatlah banyak, dengan dijadikannya Indonesia sebagai negara maju sudah dijelaskan bahwa indonesia tidak lagi mendapatkan fasilitas GSP yakni bebas bea masuk untuk ekspor Indonesia – AS, yang menyebabkan Indonesia harus siap secara ekonomi untuk membayar setiap bea masuk agar ekspor tetap berjalan. Tapi disatusisi keadaan Indonesia saat ini kemungkinan besar belum mampu menghadapi hal tersebut bahkan data Bank Dunia pun menyebutkan bahwa income perkapita Indonesia jauh dari batas income perkapita negara maju.

Jika ditelaah dari data yang sudah disampaikan Secara tidak langsung pendekatan yang dilakukan Amerika Serikat dalam mencabut status negara berkembang Indonesia hanyalah menggnakan pendekatan ego sectoral Amerika Serikat sendiri. Hal ini kemungkinan besar dilatar belakangi oleh keadaan Indonesia selalu menikmati surplus. Dilihat dari data 2019 indonesia ekspor ke AS senilai USD 17,72 M, sementara Indonesia membeli barang dari AS hanya senilai USD 9,26 M, maka surplus Indonesia mencapai USD 8.46 M, dan jika dilihat negara-negara yang dikeluarkan dari daftar negaraberkembang seperti tiongkok, india smuanya surplus terhadap Amerika Serikat, dan donal trump diketahui tidaklah suka kepada negara-negara yang lebih untung daripada Amerika Serikat Keadaan tersebut merupakan kontribusi negative bagi Amerika Serikat, dan keputusan Amerika Serikat dapat dikatakan merupkan akibat dari perang dagang dunia.

Dalam hal ini hal yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia ialah melakukan governance action yaitu melobby Amerika Serikat dengan adanya perjanjian bilateral yang secara khusus. Jika lobby tersebut tidak tercapai maka yang menjadi imbasnya ialah bangsa Indonesia terkhusus para pengusaha yang harus bersaing dengan negara maju di asia yakni seperti, singapura, hongkong, korea selatan dan jepang yang rata-rata mereka sudah mencapai USD 10.000 pertahun sehingga memberi indikasi persaingan cukup besar untuk perdanganan di Amerika Serikat.

Dan upaya lain yang secara sederhana bisa dilakukan bangsa Indonesia apabila perjanjian tersebut tidak atau belum tercapai ialah membatasi impor dari Amerika Serikat ke Indonesia. Sejauh ini yang dibeli Indonesia dari Amerika Serikat yang tidak bisa dibeli dinegara lain ialah seperti Kapas (industry TPT); Kedelai (industry makanan dan minuman); Jagung (industry pekan ternak); Gandum (industry makanan); Holtikultura (Industri Buah Kaleng); Pesawa dan suku cadang (Terbang). Yang mana hal tersebut merupakan komudita-komuditas yang dibutuhkam, jika melihat keadaan bahwa Indonesia terdiri kurang lebih 270 juta jiwa, maka Indonesia merupakan pasar gemuk bagi negara lain terkhusus Amerika Serikat, artinya jika impor tersebut dibatasi pasar gemuk tersebut tidak lagi menjadi sasaran Amerika Serikat. Namun untuk melakukan hal besar semacam itu Indonesia pun harus siap memperbaiki system panens maupun quality control dan system annability supply seperti dalam hal Holtikultura.



[2] CNBC Indonesia

[6] GNI (pendapatan nasional bruto) adalah jumlah nilai tambah oleh semua produsen penduduk ditambah pajak produk (dikurangin subsidi) tidak termasuk dalam penilaian output ditambah penerimaan bersih penghasilan utama (kompensasi karyawan dan pendapatan properti) dari luar negeri

[7] GDP (Gross Domestic Product) Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product) adalah total nilai produksi barang dan jasa di dalam suatu negara selama satu tahun.

[9] Article XXXVI: 1(e) GATT berbunyi: “…recognising that international trade as a means of achieving economic and social advancement…”

[10] The Preamble of the Marrakesh Agreement Establishing the WTO menyatakan, “…there is need for positive efforts designed to ensure the developing countries and especially the least developed among them, secure a share in the growth in international trade commensurate with their needs of their economic development”

[11] The WTO Secretariat, Implementation of Special and Differential Treatment Provisions in WTO Agreements and Decisions, Committee on Trade and Development, WT/COMTD/W/77( 25 Oktober 2000), hlm. 3.

[12]ibid

[14] Deficit neraca adalah keadaan dimana laporan keuangan tercatat  mengalami kekurangan dari kas keuangan. Lawan dari deficit adalah surplus.

menelisik kabar "INDONESIA DI SEBUT NEGARA MAJU" dalam perdagangan dunia pada tahun 2020

  Kosekuensi ‘Status Negara Maju’ Dalam Perdagangan Dunia Sudah Pantaskah Indonesia disebut sebagai negara maju? Oleh: Restu Gusti Monit...