Kosekuensi ‘Status
Negara Maju’ Dalam Perdagangan Dunia
Sudah Pantaskah
Indonesia disebut sebagai negara maju?
Oleh: Restu
Gusti Monitasari., S.H.
A.
Latar Belakang
Saat ini dunia sedang di hebohkan oleh
beragam berita yang menarik perhatian salah satunya ialah keputusan Amerika
Serikat pada 10 Februari 2020, yakni keputusan Amerika Serikat melalui catatan
yang dirilis oleh Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (USTR) yang isinya
bahwa Presiden Donald Trump mengeluarkan beberapa negara dari daftar Negara
berkembang atau Developing and Least- Developed Countries (LGDCs) dan
yang terdaftar sebagai negara berkembang hanya ada 36 negara, artinya hal ini
berbeda dengan data international monetary fund (IMF) yang menyebutkan
negara berkembang sebanyak 154 negara. Dan Indonesia menjadi salah satu negara
yang dikeluarkan dari daftar negara berkembang bersamaan dengan negara lainnya diantaranya
yaitu Malaysia, India, Brazil, Thailand, dan Afrika Selatan. Keputusan Amerika
Serikat ini menuai reaksi yang beragam dari berbagai negara bersangkutan.
Alasan Amerika Serikat merubah daftar negara berkembang ialah dengan alasan
patokan yang digunakan sejak tahun 1998 ini sudah tidak sesuai dengan zaman
atau tidak relevan, dan petimbangannya ialah ekonomi juga aktifitas ekonomi
secara gelobal.
Keputusan yang menuai beragam reaksi
tersebut di karenakan data Bank Dunia/World Bank yang menunjukan bahwa 5
negara yang menurut Amerika Serikat bukan lagi sebagai negara berkembang yaitu
Indoneisa, Malaysia, Thailand, Brazil dan India. Menurut penghitugan World Bank
kelima negara ini tidak memiliki klasifikasi sebagai negara maju, dapat dilihat
dari data World Bank bahwa, Indonesia income perkapitanya hanya USD
3.840, Malaysia hanya USD 10.590, Thailand hanya USD 6.610, Brazil hanya USD
9.140, dan india hanya USD 2.024. sedangkan income percapita negara maju
menurut World Bank diatas USD 12. 375.[1]
Sebelumnya keputusan semacam ini menjadi
permasalahan didunia perdagangan terkhusus beberapa negara anggota Organisasi
Perdagangan Dunia / World Trade
Organization (WTO).
Singapura misalnya, sebelum keputusan ini dikeluarkan oleh Amerika Serikat,
singapura pernah mengatakan bahwa negaranya tidak ingin dikategorikan sebagai
negara maju, mereka menyatakan bahwa negara mereka lebih layak disebut ‘negara
berkembang’ dalam konteks ketentuan WTO. Alasan singapura mengatakan hal
demikian ialah karena negaranya tidak memiliki sumberdaya yang memadai dan ekonominya
tergolong kecil, hal tersebut ditegaskan oleh Menteri Perdagangan dan Industri
Singapura Chan Chun Sing pada September 2019.[2]
Berbeda dengan Indonesia, reaksi yang
dikeluarkan oleh berbagai kalangan cukup beragam dan berbeda-beda saat
keputusan Presiden AS ini dikeluarkan, ada yang setuju dengan membanggakan
keputusan tersebut, dan ada yang tidak setuju dengan melihat sisi negative yang
akan timbul setelah keputusan tersebut. Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri
Mulyani, berpendapat bahwa sebetulnya keputusan Amerika Serikat tidak akan
berpengaruh terlalu besar kepada perdagangan Indonesia, karena menurut
penjelasannya keputusan Amerika Serikat tersebut hanya menyasar dan lebih
berdampak pada bea masuk anti-subsidi atau cuntevalling Duties (CVD)
karena sampai saat ini belum ada pencabutan fasilitas pengurangan bea masuk
atau Generlized System of Preferences (GPS) oleh Amerika Serikat Serkait
setelah dikeluarkannya Indonesia dari daftar negara berkembang.[3]
Lain dari Sri Mulyani, Piter Abdullah Direktur
sekaligus Ekonomi Center of Reforms on Economic (CORE) menyatakan bahwa
status negara maju atau tidak sebenarnya tidak penting, yang pasti ada beberapa
hal yang akan membuat Indonesia sulit bersaing di pasar Amerika Serikat akibat
pencabutan ini. Baginya Amerika Serikat tidak bermaksud memberi sanjungan
kepada Indonesia dengan status negara maju melainkan lebih ke pencabutan GPS
yang mana GPS ini sebenarnya masih dibutuhkan.
Generlized Syste of Preferences (GPS)
sendiri adalah kebijakan pemberian potongan bea masuk impor. GSP bertujuan untuk 'mengangkat derajat'
sebuah negara agar mampu keluar dari lembah nestapa kemiskinan. Melalui GSP,
produk-produk negara tersebut bisa masuk ke Amerika Serikat tanpa bea masuk.
Sedangkan atau cuntevalling Duties (CVD) adalah tambahan bea masuk yang dikenakan
untuk mengimbangi efek dari subsidi yang diberikan oleh negara pengekspor untuk
perusahaan eksportir.
Sebelum nya presiden Joko Widodo dalam
pidatonya menyatakan bahwa pada tahun 2045 indonesia akan menjadi negaa maju,
tapi tidak lama dari pidato tersebut ditahun yang sama yakni 2020 Amerika
Serikat merillis keputusan demikian, hal ini menjadi pertanyaan besar bagi
dunia perdagangan.
Lantas sebenarnya bagaimakah kosekuensi
dari status negara maju yang di berikan kepada Indonesia? Apakah Indonesia
sudah layak dikategorikan negara maju terkhusus dalam bidang perdagangan dunia?
Dan sikap seperti apakah yang harus diberikan Indonesia dalam menghadapi
keadaan tersebut?
B.
Pembahasan
a. Kosekuensi
menjadi Negara Maju dan negara berkembang dalam ketentuan World Trade
Organization (WTO)
World Trade
Organization
(WTO) merupakan satu-satunya organisasi internasional yang mengatur
perdagangan internasional. Terbentuk sejak tahun 1995, WTO berjalan berdasarkan
serangkaian perjanjian yang dinegosiasikan dan disepakati oleh sejumlah besar
negara di dunia dan diratifikasi melalui parlemen. Tujuan dari
perjanjian-perjanjian WTO adalah untuk membantu produsen barang dan jasa,
eksportir dan importir dalam melakukan kegiatannya.
Pendirian WTO berawal
dari negosiasi yang dikenal dengan "Uruguay Round" (1986 -
1994) serta perundingan sebelumnya di bawah "General Agreement on
Tariffs and Trade" (GATT). WTO pada saat itu terdiri dari 154 negara
anggota, di mana 117 di antaranya merupakan negara berkembang atau wilayah
kepabeanan terpisah. Saat ini, WTO menjadi wadah negosiasi sejumlah perjanjian
baru di bawah "Doha Development Agenda" (DDA) yang dimulai
tahun 2001.
Pengambilan keputusan
di WTO umumnya dilakukan berdasarkan konsensus oleh seluruh negara anggota.
Badan tertinggi di WTO adalah Konferensi Tingkat Menteri (KTM) yang dilaksanakan
setiap dua tahun sekali. Di antara KT, kegiatan-kegiatan pengambilan keputusan
WTO dilakukan oleh General Council. Di bawahnya terdapat badan-badan
subsider yang meliputi dewan, komite, dan sub-komite yang bertugas untuk
melaksanakan dan mengawasi penerapan perjanjian-perjanjian WTO oleh negara
anggota.[4]
WTO bermarkas
di Jenewa, Swiss. Pada tahun 2016, organisasi ini
beranggotakan 164 negara dan wilayah kepabeanan yang mewakili 99,5% populasi dunia dan
98% perdagangan dunia. Seluruh anggota WTO diharuskan mengikuti aturan-aturan
dasar yang ditetapkan melalui Persetujuan Marrakesh.[5]
Berbicara negara maju dan negara berkembang,
sebenarnya WTO sebagai organisasi perdagangan di dunia yang berada di bawah
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan tidak memiliki definisi resmi untuk
mengategorikan sebuah negara untuk dikatakan
sebagai negara maju atau sebagai negara berkembang. Didalam aturan WTO, penentuan sebagai negara maju dan
negara berkembang ditentukan sendiri oleh negara bersangkutan. Namun begitu tak
serta merta sebuah negara yang mengumumkan diri sebagai negara berkembang lalu
disetujui oleh semua negara-negara anggota WTO. Artinya anggota WTO lain dapat
menentang keputusan negara yang mengklaim sebagai negara berkembang dan
menyatakan tidak terikat untuk memberikan keistimewaan perdagangan pada negara
yang ridak disetujuinya masuk sebagai negara berkembang.
Dalam metode klaim status negara, WTO
jelas menyerahkan sepenuhnya kepada negara bersangkutan namun semua keputusan
ada di setiap negara anggota. Klaim terhadap status negara berkembang dan
negara maju ini cukup menjadi perhatian khusus dalam dunia perdagangan karena
ketentuan WTO memberikan keuntungan juga kerugian bagi dua status negara
tersebut.
Namun sejauh ini untuk porsi negara maju maupun
berkembang, negara-negara ini mendasarkan pada tulisan atau perhitungan Wolrd
Bank, yang mana perhitungannya terbagi atas 3 bagian, yaitu negara maju, negara
menengah keatas dan negara menengah kebawah, dan penghitungan yang dilakukan
ialah dengan Gross National Income (GNI)[6].
GNI ini dihitung lebih luas lagi dari pada Gross Domestic Product (GDP)[7]
yang biasanya di pakai, jadi tidak hanya income, investasi, lalu konsumsi,
ekspor-impor yang sejatinya untuk perhitungan GDP.[8]
Selain itu GNI menambah dari perhitungan nilai semua
barang dan jasa yang dihasilkan seluruh penduduk dalam negeri, juga untuk
barang dan jasa yang terjadi diluar negeri, tapi dikurangi dari pendapatan
warga negara asing yang ada di Indonesia, dapatlah GNI. World Bank menghitung,
jika di negara maju biasanya GNI nya diatas USD 12. 375, negara menengah keatas
antara USD 3.996 – USD 12.375.
Selain itu untuk menjadi negara maju secara umum
memiliki syarat, yang Pertama memenuhi income perkapita, kedua,
Sumber Daya Manusia yaitu Fasilitas kesehatan yang baik, jaminan social
yang bagus, dan social safety net harus baik, Ketiga
infrastruktur yang bagus, dan keempat, institusi yang baik efisien,
tidak korup dan bersih. Artinya setiap negara yang tidak memenuhi syarat umum
tersebut terkategori sebagai negara berkembang.
Dalam ketentuan WTO, negara-negara berkembang
memiliki hak-hak tertentu. Misalnya ketentuan dalam beberapa perjanjian dagang
di WTO yang memberikan kelonggaran lebih lama bagi negara-negara berkembang
untuk melakukan transisi lebih aman sebelum sepenuhnya mengimplementasikan
perjanjian. Selain itu, dalam beberapa perjanjian dagang, negara-negara
berkembang juga sering mendapatkan bantuan teknis dari negara-negara maju, atau
disebut hak istimewa. yang disebut Special and Differential Treatment
(S&D).
Secara umum S&D merujuk kepada hak-hak khusus
dan keistimewaan-keistimewaan yang diberikan WTO kepada negara berkembang, dan
tidak diberikan kepada negara maju. Dimuatnya ketentuan-ketentuan S&D
dimaksudkan untuk memfasilitasi proses integrasi negara berkembang ke dalam
sistem perdagangan multilateral, dan untuk membantu negara berkembang mengatasi
kesulitan-kesulitan dalam mengimplementasikan seluruh perjanjian WTO. Dengan
demikian kepentingan-kepentingan pembangunan negara berkembang tidak terhambat
dan, pada gilirannya, negara berkembang dapat mengimplementasikan seluruh
perjanjian WTO secara penuh. Dimuatnya ketentuan-ketentuan S&D dalam
perjanjian WTO didasarkan pada prinsip bahwa liberalisasi perdagangan bukanlah
tujuan tetapi alat untuk mencapai tujuan, yaitu pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi seluruh negara anggotanya.[9]
Selain itu, ketentuan-ketentuan S&D tersebut
menunjukkan pengakuan bahwa perbedaan tingkat pembangunan yang dicapai oleh
negara-negara anggota WTO memerlukan adanya perangkat-perangkat kebijakan dalam
mencapai pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang berbeda pula.[10]
Terdapat 145 ketentuan S&D, tersebar dalam berbagai perjanjian WTO, 107 di antaranya
diadopsi pada Putaran Uruguay, dan 22 secara khusus diperuntukkan bagi negara
terbelakang (least-developed country Members)[11]
Sekretariat
WTO mengklasifikasikan ketentuan-ketentuan S&D ke dalam enam kategori:
(i)
Ketentuan-ketentuan yang ditujukan untuk
meningkatkan kesempatan perdagangan negara berkembang;
(ii) Ketentuan-ketentuan
yang menghendaki negara-negara anggota WTO untuk melindungi kepentingan negara
berkembang;
(iii) Ketentuan-ketentuan
yang memberikan fleksibilitas dalam komitmen, tindakan, dan penggunaan
instrumen-instrumen kebijakan;
(iv) Ketentuan-ketentuan
yang memberikan masa transisi;
(v) Ketentuan-ketentuan
tentang bantuan teknis; dan
(vi) Ketentuan-ketentuan
khusus bagi negara terbelakang[12]
Dari penjelasan tersebut jelaslah bahwa
dalam perdagangan dunia negara berkembang mendapatkan hak istimewa dan
keringanan-keringanan dari negara maju. Namun menjadi negara maju pun merupakan
suatu pencapaian, hanya saja status tersebut harus lah diberikan kepada negara
yang memang terbukti layak.
b. Indonesia
Menyandang ‘Status Negara Maju’
Status negara maju, memberikan kosekuensi bahwa special
& Differential treatment atau perlakuan special yang tersedia dalam WTO
tidak berlaku lagi untuk Indonesia. Artinya Indonesia tidak lagi mendapatkan
perlakuan istimewa dalam perdagangan, termasuk keistimewaan bea masuk dan juga
bantuan lain dalam aktifitas ekspor impor.
Dampak dan fakta di
balik keputusan Amerika Serikat memasukkan Indonesia ke negara maju dan segala
konsekuensinya, diantaranya sebagaisebagai berikut:[13]
1. Perlakuan
Khusus dihapus
South
China Morning Post (SCMP)
menyatakan keputusan
menjadikan Indonesia dan negara lainnya jadi negara maju, bertujuan agar
negara-negara tersebut tidak memperoleh perlakuan khusus dalam perdagangan
internasional. Presiden AS Donald Trump dinilai frustrasi karena World Trade
Organization (WTO) memberikan perlakukan khusus terhadap negara-negara
berkembang dalam perdagangan internasional.
Bila ada dugaan praktik
subsidi negara dalam aktivitas ekspor, standar subsidi negara berkembang yang
diperkenankan bisa lebih tinggi dari negara maju. Selain itu, proses
investigasi terhadap dugaan subsidi terhadap negara berkembang lebih longgar.
Ujung-ujungnya, produk negara berkembang bisa dijual lebih murah dan dapat
menggilas produk sejenis di negara maju.
AS akan semakin mudah
melakukan investigasi dan mengenakan tarif tambahan terhadap negara-negara maju
baru seperti Indonesia, India, thailand, hingga Brasil bila hasil penyelidikan
ditemukan adanya subsidi negara dalam aktivitas perdagangan.
Dasar pertimbangan AS
lainnya untuk memasukkan Indonesia hingga tiongkok ke dalam daftar negara maju
ialah kontribusi negara-negara tersebut terhadap perdagangan dunia telah tembus
di atas 0,5 persen.
2. Indonesia tidak lagi
menerima fasilitas GSP (Generalized System of Preferences)
Dengan fasilitas GSP,
Indonesia sebelumnya bisa menikmati fasilitas bea nmasuk yang rendah untuk
ekspor tujuan AS. Peniadaan GSP dengan status menjadi negara maju bisa
menyebabkan beban tarif bagi produk ekspor asal Indonesia yang selama ini
mendapat insentif.
Saat ini tercatat
sebanyak 3.572 Produk Indonesia yang memperoleh fasilitas GSP. Hal ini
menyebabkan Indonesia terindikasi akan kehilangan potensi ekspor yang besar ke
AS, utamanya berkaitan dengan produk-produk unggulan seperti tekstil dan
pakaian sebab insentifnya dihapus.
Hal tersebut dapat
membuat defisit neraca[14] perdagangan Indonesia
makin lebar. Perjanuari 2020 ini, tercatat bahwa defisit Indonesia mencapai USD
864 Juta. Mengutip data statistik
Kementerian Perdagangan (Kemendag), Amerika Serikat (AS) merupakan mitra dagang
terbesar kedua Indonesia setelah China. Pada 2019, nilai perdagangan
Indonesia-AS mencapai USD 26.975 M.
Ekspor Indonesia ke AS
sebesar USD 17,720 miliar, sedangkan Impor Indonesia dari AS sebesar USD 9,255
miliar. Indonesia tercatat mengalami surplus perdagangan dengan AS hingga USD
8,464 miliar.
3. Laporan Bank Dunia
Mengutip laporan Bank
Dunia, kelas kelompok sebuah negara dilihat dari sudut pandang ekonomi. Ada 4
kategori negara yang dipakai, yakni negara miskin, negara ekonomi menengah ke
bawah, negara ekonomi menengah ke atas, dan negara maju atau high income.
Standar penilaian yang dipakai adalah Gross National Income (GNP) per
kapita. Menurut Ekonom Senior
Faisal Basri, GNP merupakan total Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross
Domestic Product (GDP) dalam satu tahun yang mengeluarkan pendapatan warga
asing dari perhitungan. Sebuah negara bisa dikatakan sebagai negara maju atau
negara berpendapatan tinggi (high income country), dia harus memiliki
GNP per kapita di atas USD 12.055.
Sedangkan negara
kategori ekonomi menengah ke bawah (lower-middle income) memiliki GNP
per kapita USD 996-3.895 dan negara kategori ekonomi menengah ke atas
(upper-middle income) memiliki GNP per kapita USD 3.896-12.055.
Merujuk data tahun 2018
dari Bank Dunia, GNP per kapita Indonesia sebesar USD 3.840. Bila merujuk data
tersebut, Indonesia masih berada dalam kelompok negara ekonomi menengah ke
bawah atau ower-middle income. Artinya, Indonesia harus melewati fase negara
ekonomi menengah ke atas untuk bisa menjadi negara maju dengan GNP per kapita
di atas USD 12.055.
Dari
uraian-urain tersebut dapat dilihat bahwa secara keadaan sesungguhnya status
negara maju versi Amerika Serikat untuk Indonesia hanyalah hasil pertimbangan Amerika
Serikat semata tanpa melihat pertimbangan lain seperti kategori negara maju
yang dinyatakan oleh Bank Dunia.
c. Sikap
untuk menghadapi keputusan Amerika Serikat
Dalam konsep perdagangan dunia, telah di jelaskan
bahwa WTO tidak memiliki kewenangan untuk mengklasifikasikan secara khusus
negara-negara anggotanya yang termasuk kedalam negara maju dan berkembang, WTO
mengembalikan semua klaim kepada negara bersangkutan. Maka dalam hal ini ketika
AS mengeluarkan keputusan demikian sebenarnya hal tersebut merupakan hal yang
wajar terutama sebagai negara adidaya, namun yang menjadi pertanyaan apakah
sudah layak Indonesia mendapatkan status demikian? Nyatanya berdasarkan
pembahasan yang sudah dilakukan diatas Indonesia belumlah layak dikategorikan
sebagai negara maju, mungkin status tersebut untuk jangka Panjang sangat lah
bagus karena hal tersebut sangat dicita-citakan oleh bangsa kita, bahkan
Presiden Indonesia Joko Widodo dalam pidatonya menyatakan bahwa pada tahun 2045
indonesia akan menjadi negara maju, tapi siapa sangka di tahun 2020 ini Amerika
Serikat memberikan status tersebut, alhasil dalam jangka pendek keputusan Amerika
Serikat menuai pro kontra dan kekhawatiran Indonesia dalam perdagangan dunia.
Namun apalah daya, kini keputusan tersebut telah
dikeluarkan dan tidak hanya menyasar Indonesia tapi negara lain pula. Yang saat
ini harus dipikirkan bagaimanakah negara Indonesia menghadapi keputusan
tersebut sebagai bentuk solusi dari permasalahan yang akan terjadi.
Disatu sisi, Amerika Serikat adalah negara kedua
lahan Indonesia melakukan perdagangan dunia setelah china, bahkan produk yang
di ekspor Indonesia ke Amerika Serikat pun sangatlah banyak, dengan dijadikannya
Indonesia sebagai negara maju sudah dijelaskan bahwa indonesia tidak lagi mendapatkan
fasilitas GSP yakni bebas bea masuk untuk ekspor Indonesia – AS, yang
menyebabkan Indonesia harus siap secara ekonomi untuk membayar setiap bea masuk
agar ekspor tetap berjalan. Tapi disatusisi keadaan Indonesia saat ini
kemungkinan besar belum mampu menghadapi hal tersebut bahkan data Bank Dunia pun
menyebutkan bahwa income perkapita Indonesia jauh dari batas income
perkapita negara maju.
Jika ditelaah dari data yang sudah disampaikan
Secara tidak langsung pendekatan yang dilakukan Amerika Serikat dalam mencabut
status negara berkembang Indonesia hanyalah menggnakan pendekatan ego sectoral Amerika
Serikat sendiri. Hal ini kemungkinan besar dilatar belakangi oleh keadaan
Indonesia selalu menikmati surplus. Dilihat dari data 2019 indonesia ekspor ke
AS senilai USD 17,72 M, sementara Indonesia membeli barang dari AS hanya
senilai USD 9,26 M, maka surplus Indonesia mencapai USD 8.46 M, dan jika
dilihat negara-negara yang dikeluarkan dari daftar negaraberkembang seperti
tiongkok, india smuanya surplus terhadap Amerika Serikat, dan donal trump
diketahui tidaklah suka kepada negara-negara yang lebih untung daripada Amerika
Serikat Keadaan tersebut merupakan kontribusi negative bagi Amerika Serikat,
dan keputusan Amerika Serikat dapat dikatakan merupkan akibat dari perang
dagang dunia.
Dalam hal ini hal yang bisa dilakukan pemerintah
Indonesia ialah melakukan governance action yaitu melobby Amerika
Serikat dengan adanya perjanjian bilateral yang secara khusus. Jika lobby
tersebut tidak tercapai maka yang menjadi imbasnya ialah bangsa Indonesia
terkhusus para pengusaha yang harus bersaing dengan negara maju di asia yakni
seperti, singapura, hongkong, korea selatan dan jepang yang rata-rata mereka
sudah mencapai USD 10.000 pertahun sehingga memberi indikasi persaingan cukup
besar untuk perdanganan di Amerika Serikat.
Dan upaya lain yang secara sederhana bisa dilakukan
bangsa Indonesia apabila perjanjian tersebut tidak atau belum tercapai ialah
membatasi impor dari Amerika Serikat ke Indonesia. Sejauh ini yang dibeli
Indonesia dari Amerika Serikat yang tidak bisa dibeli dinegara lain ialah
seperti Kapas (industry TPT); Kedelai (industry makanan dan minuman); Jagung
(industry pekan ternak); Gandum (industry makanan); Holtikultura (Industri Buah
Kaleng); Pesawa dan suku cadang (Terbang). Yang mana hal tersebut merupakan
komudita-komuditas yang dibutuhkam, jika melihat keadaan bahwa Indonesia
terdiri kurang lebih 270 juta jiwa, maka Indonesia merupakan pasar gemuk bagi
negara lain terkhusus Amerika Serikat, artinya jika impor tersebut dibatasi
pasar gemuk tersebut tidak lagi menjadi sasaran Amerika Serikat. Namun untuk
melakukan hal besar semacam itu Indonesia pun harus siap memperbaiki system
panens maupun quality control dan system annability supply seperti dalam
hal Holtikultura.
[2] CNBC Indonesia
[3]https://www.ayobandung.com/read/2020/02/24/80528/status-indonesia-jadi-negara-maju-ini-tanggapan-sri-mulyani
[6] GNI (pendapatan nasional bruto) adalah jumlah nilai tambah oleh semua
produsen penduduk ditambah pajak produk (dikurangin subsidi) tidak termasuk
dalam penilaian output ditambah penerimaan bersih penghasilan utama (kompensasi
karyawan dan pendapatan properti) dari luar negeri
[7] GDP (Gross Domestic Product) Produk Domestik Bruto
(Gross Domestic Product) adalah total nilai produksi barang dan jasa di
dalam suatu negara selama satu tahun.
[9] Article XXXVI: 1(e) GATT
berbunyi: “…recognising that international trade as a means of achieving
economic and social advancement…”
[10] The Preamble of the Marrakesh
Agreement Establishing the WTO menyatakan, “…there is need for positive efforts
designed to ensure the developing countries and especially the least developed
among them, secure a share in the growth in international trade commensurate
with their needs of their economic development”
[11] The WTO Secretariat,
Implementation of Special and Differential Treatment Provisions in WTO
Agreements and Decisions, Committee on Trade and Development, WT/COMTD/W/77( 25
Oktober 2000), hlm. 3.
[12]ibid
[13] https://kumparan.com/kumparanbisnis/fakta-tak-menguntungkan-di-balik-sebutan-negara-maju-bagi-indonesia-1str3t3Efcw
[14] Deficit neraca adalah keadaan
dimana laporan keuangan tercatat
mengalami kekurangan dari kas keuangan. Lawan dari deficit adalah
surplus.