Selasa, 01 Februari 2022

menelisik kabar "INDONESIA DI SEBUT NEGARA MAJU" dalam perdagangan dunia pada tahun 2020

 

Kosekuensi ‘Status Negara Maju’ Dalam Perdagangan Dunia

Sudah Pantaskah Indonesia disebut sebagai negara maju?

Oleh: Restu Gusti Monitasari., S.H.


A.        Latar Belakang

Saat ini dunia sedang di hebohkan oleh beragam berita yang menarik perhatian salah satunya ialah keputusan Amerika Serikat pada 10 Februari 2020, yakni keputusan Amerika Serikat melalui catatan yang dirilis oleh Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (USTR) yang isinya bahwa Presiden Donald Trump mengeluarkan beberapa negara dari daftar Negara berkembang atau Developing and Least- Developed Countries (LGDCs) dan yang terdaftar sebagai negara berkembang hanya ada 36 negara, artinya hal ini berbeda dengan data international monetary fund (IMF) yang menyebutkan negara berkembang sebanyak 154 negara. Dan Indonesia menjadi salah satu negara yang dikeluarkan dari daftar negara berkembang bersamaan dengan negara lainnya diantaranya yaitu Malaysia, India, Brazil, Thailand, dan Afrika Selatan. Keputusan Amerika Serikat ini menuai reaksi yang beragam dari berbagai negara bersangkutan. Alasan Amerika Serikat merubah daftar negara berkembang ialah dengan alasan patokan yang digunakan sejak tahun 1998 ini sudah tidak sesuai dengan zaman atau tidak relevan, dan petimbangannya ialah ekonomi juga aktifitas ekonomi secara gelobal.

Keputusan yang menuai beragam reaksi tersebut di karenakan data Bank Dunia/World Bank yang menunjukan bahwa 5 negara yang menurut Amerika Serikat bukan lagi sebagai negara berkembang yaitu Indoneisa, Malaysia, Thailand, Brazil dan India. Menurut penghitugan World Bank kelima negara ini tidak memiliki klasifikasi sebagai negara maju, dapat dilihat dari data World Bank bahwa, Indonesia income perkapitanya hanya USD 3.840, Malaysia hanya USD 10.590, Thailand hanya USD 6.610, Brazil hanya USD 9.140, dan india hanya USD 2.024. sedangkan income percapita negara maju menurut World Bank diatas USD 12. 375.[1]

Sebelumnya keputusan semacam ini menjadi permasalahan didunia perdagangan terkhusus beberapa negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia / World Trade Organization (WTO). Singapura misalnya, sebelum keputusan ini dikeluarkan oleh Amerika Serikat, singapura pernah mengatakan bahwa negaranya tidak ingin dikategorikan sebagai negara maju, mereka menyatakan bahwa negara mereka lebih layak disebut ‘negara berkembang’ dalam konteks ketentuan WTO. Alasan singapura mengatakan hal demikian ialah karena negaranya tidak memiliki sumberdaya yang memadai dan ekonominya tergolong kecil, hal tersebut ditegaskan oleh Menteri Perdagangan dan Industri Singapura Chan Chun Sing pada September 2019.[2]

Berbeda dengan Indonesia, reaksi yang dikeluarkan oleh berbagai kalangan cukup beragam dan berbeda-beda saat keputusan Presiden AS ini dikeluarkan, ada yang setuju dengan membanggakan keputusan tersebut, dan ada yang tidak setuju dengan melihat sisi negative yang akan timbul setelah keputusan tersebut. Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani, berpendapat bahwa sebetulnya keputusan Amerika Serikat tidak akan berpengaruh terlalu besar kepada perdagangan Indonesia, karena menurut penjelasannya keputusan Amerika Serikat tersebut hanya menyasar dan lebih berdampak pada bea masuk anti-subsidi atau cuntevalling Duties (CVD) karena sampai saat ini belum ada pencabutan fasilitas pengurangan bea masuk atau Generlized System of Preferences (GPS) oleh Amerika Serikat Serkait setelah dikeluarkannya Indonesia dari daftar negara berkembang.[3]

Lain dari Sri Mulyani, Piter Abdullah Direktur sekaligus Ekonomi Center of Reforms on Economic (CORE) menyatakan bahwa status negara maju atau tidak sebenarnya tidak penting, yang pasti ada beberapa hal yang akan membuat Indonesia sulit bersaing di pasar Amerika Serikat akibat pencabutan ini. Baginya Amerika Serikat tidak bermaksud memberi sanjungan kepada Indonesia dengan status negara maju melainkan lebih ke pencabutan GPS yang mana GPS ini sebenarnya masih dibutuhkan.

Generlized Syste of Preferences (GPS) sendiri adalah kebijakan pemberian potongan bea masuk impor. GSP bertujuan untuk 'mengangkat derajat' sebuah negara agar mampu keluar dari lembah nestapa kemiskinan. Melalui GSP, produk-produk negara tersebut bisa masuk ke Amerika Serikat tanpa bea masuk. Sedangkan atau cuntevalling Duties (CVD) adalah tambahan bea masuk yang dikenakan untuk mengimbangi efek dari subsidi yang diberikan oleh negara pengekspor untuk perusahaan eksportir.

Sebelum nya presiden Joko Widodo dalam pidatonya menyatakan bahwa pada tahun 2045 indonesia akan menjadi negaa maju, tapi tidak lama dari pidato tersebut ditahun yang sama yakni 2020 Amerika Serikat merillis keputusan demikian, hal ini menjadi pertanyaan besar bagi dunia perdagangan.

Lantas sebenarnya bagaimakah kosekuensi dari status negara maju yang di berikan kepada Indonesia? Apakah Indonesia sudah layak dikategorikan negara maju terkhusus dalam bidang perdagangan dunia? Dan sikap seperti apakah yang harus diberikan Indonesia dalam menghadapi keadaan tersebut?

B.         Pembahasan

a.  Kosekuensi menjadi Negara Maju dan negara berkembang dalam ketentuan World Trade Organization (WTO)

World Trade Organization (WTO) merupakan satu-satunya organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional. Terbentuk sejak tahun 1995, WTO berjalan berdasarkan serangkaian perjanjian yang dinegosiasikan dan disepakati oleh sejumlah besar negara di dunia dan diratifikasi melalui parlemen. Tujuan dari perjanjian-perjanjian WTO adalah untuk membantu produsen barang dan jasa, eksportir dan importir dalam melakukan kegiatannya.

Pendirian WTO berawal dari negosiasi yang dikenal dengan "Uruguay Round" (1986 - 1994) serta perundingan sebelumnya di bawah "General Agreement on Tariffs and Trade" (GATT). WTO pada saat itu terdiri dari 154 negara anggota, di mana 117 di antaranya merupakan negara berkembang atau wilayah kepabeanan terpisah. Saat ini, WTO menjadi wadah negosiasi sejumlah perjanjian baru di bawah "Doha Development Agenda" (DDA) yang dimulai tahun 2001.

Pengambilan keputusan di WTO umumnya dilakukan berdasarkan konsensus oleh seluruh negara anggota. Badan tertinggi di WTO adalah Konferensi Tingkat Menteri (KTM) yang dilaksanakan setiap dua tahun sekali. Di antara KT, kegiatan-kegiatan pengambilan keputusan WTO dilakukan oleh General Council. Di bawahnya terdapat badan-badan subsider yang meliputi dewan, komite, dan sub-komite yang bertugas untuk melaksanakan dan mengawasi penerapan perjanjian-perjanjian WTO oleh negara anggota.[4]

WTO bermarkas di JenewaSwiss. Pada tahun 2016, organisasi ini beranggotakan 164 negara dan wilayah kepabeanan yang mewakili 99,5% populasi dunia dan 98% perdagangan dunia. Seluruh anggota WTO diharuskan mengikuti aturan-aturan dasar yang ditetapkan melalui Persetujuan Marrakesh.[5]

Berbicara negara maju dan negara berkembang, sebenarnya WTO sebagai organisasi perdagangan di dunia yang berada di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan tidak memiliki definisi resmi untuk mengategorikan sebuah negara untuk dikatakan sebagai negara maju atau sebagai negara berkembang. Didalam aturan WTO, penentuan sebagai negara maju dan negara berkembang ditentukan sendiri oleh negara bersangkutan. Namun begitu tak serta merta sebuah negara yang mengumumkan diri sebagai negara berkembang lalu disetujui oleh semua negara-negara anggota WTO. Artinya anggota WTO lain dapat menentang keputusan negara yang mengklaim sebagai negara berkembang dan menyatakan tidak terikat untuk memberikan keistimewaan perdagangan pada negara yang ridak disetujuinya masuk sebagai negara berkembang.

Dalam metode klaim status negara, WTO jelas menyerahkan sepenuhnya kepada negara bersangkutan namun semua keputusan ada di setiap negara anggota. Klaim terhadap status negara berkembang dan negara maju ini cukup menjadi perhatian khusus dalam dunia perdagangan karena ketentuan WTO memberikan keuntungan juga kerugian bagi dua status negara tersebut.

Namun sejauh ini untuk porsi negara maju maupun berkembang, negara-negara ini mendasarkan pada tulisan atau perhitungan Wolrd Bank, yang mana perhitungannya terbagi atas 3 bagian, yaitu negara maju, negara menengah keatas dan negara menengah kebawah, dan penghitungan yang dilakukan ialah dengan Gross National Income (GNI)[6]. GNI ini dihitung lebih luas lagi dari pada Gross Domestic Product (GDP)[7] yang biasanya di pakai, jadi tidak hanya income, investasi, lalu konsumsi, ekspor-impor yang sejatinya untuk perhitungan GDP.[8]

Selain itu GNI menambah dari perhitungan nilai semua barang dan jasa yang dihasilkan seluruh penduduk dalam negeri, juga untuk barang dan jasa yang terjadi diluar negeri, tapi dikurangi dari pendapatan warga negara asing yang ada di Indonesia, dapatlah GNI. World Bank menghitung, jika di negara maju biasanya GNI nya diatas USD 12. 375, negara menengah keatas antara USD 3.996 – USD 12.375.

Selain itu untuk menjadi negara maju secara umum memiliki syarat, yang Pertama memenuhi income perkapita, kedua, Sumber Daya Manusia yaitu Fasilitas kesehatan yang baik, jaminan social yang bagus, dan social safety net harus baik, Ketiga infrastruktur yang bagus, dan keempat, institusi yang baik efisien, tidak korup dan bersih. Artinya setiap negara yang tidak memenuhi syarat umum tersebut terkategori sebagai negara berkembang.

Dalam ketentuan WTO, negara-negara berkembang memiliki hak-hak tertentu. Misalnya ketentuan dalam beberapa perjanjian dagang di WTO yang memberikan kelonggaran lebih lama bagi negara-negara berkembang untuk melakukan transisi lebih aman sebelum sepenuhnya mengimplementasikan perjanjian. Selain itu, dalam beberapa perjanjian dagang, negara-negara berkembang juga sering mendapatkan bantuan teknis dari negara-negara maju, atau disebut hak istimewa. yang disebut Special and Differential Treatment (S&D).

Secara umum S&D merujuk kepada hak-hak khusus dan keistimewaan-keistimewaan yang diberikan WTO kepada negara berkembang, dan tidak diberikan kepada negara maju. Dimuatnya ketentuan-ketentuan S&D dimaksudkan untuk memfasilitasi proses integrasi negara berkembang ke dalam sistem perdagangan multilateral, dan untuk membantu negara berkembang mengatasi kesulitan-kesulitan dalam mengimplementasikan seluruh perjanjian WTO. Dengan demikian kepentingan-kepentingan pembangunan negara berkembang tidak terhambat dan, pada gilirannya, negara berkembang dapat mengimplementasikan seluruh perjanjian WTO secara penuh. Dimuatnya ketentuan-ketentuan S&D dalam perjanjian WTO didasarkan pada prinsip bahwa liberalisasi perdagangan bukanlah tujuan tetapi alat untuk mencapai tujuan, yaitu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi seluruh negara anggotanya.[9]

Selain itu, ketentuan-ketentuan S&D tersebut menunjukkan pengakuan bahwa perbedaan tingkat pembangunan yang dicapai oleh negara-negara anggota WTO memerlukan adanya perangkat-perangkat kebijakan dalam mencapai pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang berbeda pula.[10] Terdapat 145 ketentuan S&D, tersebar dalam berbagai perjanjian WTO, 107 di antaranya diadopsi pada Putaran Uruguay, dan 22 secara khusus diperuntukkan bagi negara terbelakang (least-developed country Members)[11]

 Sekretariat WTO mengklasifikasikan ketentuan-ketentuan S&D ke dalam enam kategori:

(i)         Ketentuan-ketentuan yang ditujukan untuk meningkatkan kesempatan perdagangan negara berkembang;

(ii)       Ketentuan-ketentuan yang menghendaki negara-negara anggota WTO untuk melindungi kepentingan negara berkembang;

(iii)     Ketentuan-ketentuan yang memberikan fleksibilitas dalam komitmen, tindakan, dan penggunaan instrumen-instrumen kebijakan;

(iv)     Ketentuan-ketentuan yang memberikan masa transisi;

(v)       Ketentuan-ketentuan tentang bantuan teknis; dan

(vi)     Ketentuan-ketentuan khusus bagi negara terbelakang[12]

Dari penjelasan tersebut jelaslah bahwa dalam perdagangan dunia negara berkembang mendapatkan hak istimewa dan keringanan-keringanan dari negara maju. Namun menjadi negara maju pun merupakan suatu pencapaian, hanya saja status tersebut harus lah diberikan kepada negara yang memang terbukti layak.

b.  Indonesia Menyandang ‘Status Negara Maju’

Status negara maju, memberikan kosekuensi bahwa special & Differential treatment atau perlakuan special yang tersedia dalam WTO tidak berlaku lagi untuk Indonesia. Artinya Indonesia tidak lagi mendapatkan perlakuan istimewa dalam perdagangan, termasuk keistimewaan bea masuk dan juga bantuan lain dalam aktifitas ekspor impor.

Dampak dan fakta di balik keputusan Amerika Serikat memasukkan Indonesia ke negara maju dan segala konsekuensinya, diantaranya sebagaisebagai berikut:[13]

1.      Perlakuan Khusus dihapus

South China Morning Post (SCMP) menyatakan keputusan menjadikan Indonesia dan negara lainnya jadi negara maju, bertujuan agar negara-negara tersebut tidak memperoleh perlakuan khusus dalam perdagangan internasional. Presiden AS Donald Trump dinilai frustrasi karena World Trade Organization (WTO) memberikan perlakukan khusus terhadap negara-negara berkembang dalam perdagangan internasional.

Bila ada dugaan praktik subsidi negara dalam aktivitas ekspor, standar subsidi negara berkembang yang diperkenankan bisa lebih tinggi dari negara maju. Selain itu, proses investigasi terhadap dugaan subsidi terhadap negara berkembang lebih longgar. Ujung-ujungnya, produk negara berkembang bisa dijual lebih murah dan dapat menggilas produk sejenis di negara maju.

AS akan semakin mudah melakukan investigasi dan mengenakan tarif tambahan terhadap negara-negara maju baru seperti Indonesia, India, thailand, hingga Brasil bila hasil penyelidikan ditemukan adanya subsidi negara dalam aktivitas perdagangan.

Dasar pertimbangan AS lainnya untuk memasukkan Indonesia hingga tiongkok ke dalam daftar negara maju ialah kontribusi negara-negara tersebut terhadap perdagangan dunia telah tembus di atas 0,5 persen.

2.      Indonesia tidak lagi menerima fasilitas GSP (Generalized System of Preferences)

Dengan fasilitas GSP, Indonesia sebelumnya bisa menikmati fasilitas bea nmasuk yang rendah untuk ekspor tujuan AS. Peniadaan GSP dengan status menjadi negara maju bisa menyebabkan beban tarif bagi produk ekspor asal Indonesia yang selama ini mendapat insentif.

Saat ini tercatat sebanyak 3.572 Produk Indonesia yang memperoleh fasilitas GSP. Hal ini menyebabkan Indonesia terindikasi akan kehilangan potensi ekspor yang besar ke AS, utamanya berkaitan dengan produk-produk unggulan seperti tekstil dan pakaian sebab insentifnya dihapus.

Hal tersebut dapat membuat defisit neraca[14] perdagangan Indonesia makin lebar. Perjanuari 2020 ini, tercatat bahwa defisit Indonesia mencapai USD 864 Juta. Mengutip data statistik Kementerian Perdagangan (Kemendag), Amerika Serikat (AS) merupakan mitra dagang terbesar kedua Indonesia setelah China. Pada 2019, nilai perdagangan Indonesia-AS mencapai USD 26.975 M.

Ekspor Indonesia ke AS sebesar USD 17,720 miliar, sedangkan Impor Indonesia dari AS sebesar USD 9,255 miliar. Indonesia tercatat mengalami surplus perdagangan dengan AS hingga USD 8,464 miliar.

3.      Laporan Bank Dunia

Mengutip laporan Bank Dunia, kelas kelompok sebuah negara dilihat dari sudut pandang ekonomi. Ada 4 kategori negara yang dipakai, yakni negara miskin, negara ekonomi menengah ke bawah, negara ekonomi menengah ke atas, dan negara maju atau high income. Standar penilaian yang dipakai adalah Gross National Income (GNP) per kapita. Menurut Ekonom Senior Faisal Basri, GNP merupakan total Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP) dalam satu tahun yang mengeluarkan pendapatan warga asing dari perhitungan. Sebuah negara bisa dikatakan sebagai negara maju atau negara berpendapatan tinggi (high income country), dia harus memiliki GNP per kapita di atas USD 12.055.

Sedangkan negara kategori ekonomi menengah ke bawah (lower-middle income) memiliki GNP per kapita USD 996-3.895 dan negara kategori ekonomi menengah ke atas (upper-middle income) memiliki GNP per kapita USD 3.896-12.055.

Merujuk data tahun 2018 dari Bank Dunia, GNP per kapita Indonesia sebesar USD 3.840. Bila merujuk data tersebut, Indonesia masih berada dalam kelompok negara ekonomi menengah ke bawah atau ower-middle income. Artinya, Indonesia harus melewati fase negara ekonomi menengah ke atas untuk bisa menjadi negara maju dengan GNP per kapita di atas USD 12.055.

Dari uraian-urain tersebut dapat dilihat bahwa secara keadaan sesungguhnya status negara maju versi Amerika Serikat untuk Indonesia hanyalah hasil pertimbangan Amerika Serikat semata tanpa melihat pertimbangan lain seperti kategori negara maju yang dinyatakan oleh Bank Dunia.

c.   Sikap untuk menghadapi keputusan Amerika Serikat

Dalam konsep perdagangan dunia, telah di jelaskan bahwa WTO tidak memiliki kewenangan untuk mengklasifikasikan secara khusus negara-negara anggotanya yang termasuk kedalam negara maju dan berkembang, WTO mengembalikan semua klaim kepada negara bersangkutan. Maka dalam hal ini ketika AS mengeluarkan keputusan demikian sebenarnya hal tersebut merupakan hal yang wajar terutama sebagai negara adidaya, namun yang menjadi pertanyaan apakah sudah layak Indonesia mendapatkan status demikian? Nyatanya berdasarkan pembahasan yang sudah dilakukan diatas Indonesia belumlah layak dikategorikan sebagai negara maju, mungkin status tersebut untuk jangka Panjang sangat lah bagus karena hal tersebut sangat dicita-citakan oleh bangsa kita, bahkan Presiden Indonesia Joko Widodo dalam pidatonya menyatakan bahwa pada tahun 2045 indonesia akan menjadi negara maju, tapi siapa sangka di tahun 2020 ini Amerika Serikat memberikan status tersebut, alhasil dalam jangka pendek keputusan Amerika Serikat menuai pro kontra dan kekhawatiran Indonesia dalam perdagangan dunia.

Namun apalah daya, kini keputusan tersebut telah dikeluarkan dan tidak hanya menyasar Indonesia tapi negara lain pula. Yang saat ini harus dipikirkan bagaimanakah negara Indonesia menghadapi keputusan tersebut sebagai bentuk solusi dari permasalahan yang akan terjadi.

Disatu sisi, Amerika Serikat adalah negara kedua lahan Indonesia melakukan perdagangan dunia setelah china, bahkan produk yang di ekspor Indonesia ke Amerika Serikat pun sangatlah banyak, dengan dijadikannya Indonesia sebagai negara maju sudah dijelaskan bahwa indonesia tidak lagi mendapatkan fasilitas GSP yakni bebas bea masuk untuk ekspor Indonesia – AS, yang menyebabkan Indonesia harus siap secara ekonomi untuk membayar setiap bea masuk agar ekspor tetap berjalan. Tapi disatusisi keadaan Indonesia saat ini kemungkinan besar belum mampu menghadapi hal tersebut bahkan data Bank Dunia pun menyebutkan bahwa income perkapita Indonesia jauh dari batas income perkapita negara maju.

Jika ditelaah dari data yang sudah disampaikan Secara tidak langsung pendekatan yang dilakukan Amerika Serikat dalam mencabut status negara berkembang Indonesia hanyalah menggnakan pendekatan ego sectoral Amerika Serikat sendiri. Hal ini kemungkinan besar dilatar belakangi oleh keadaan Indonesia selalu menikmati surplus. Dilihat dari data 2019 indonesia ekspor ke AS senilai USD 17,72 M, sementara Indonesia membeli barang dari AS hanya senilai USD 9,26 M, maka surplus Indonesia mencapai USD 8.46 M, dan jika dilihat negara-negara yang dikeluarkan dari daftar negaraberkembang seperti tiongkok, india smuanya surplus terhadap Amerika Serikat, dan donal trump diketahui tidaklah suka kepada negara-negara yang lebih untung daripada Amerika Serikat Keadaan tersebut merupakan kontribusi negative bagi Amerika Serikat, dan keputusan Amerika Serikat dapat dikatakan merupkan akibat dari perang dagang dunia.

Dalam hal ini hal yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia ialah melakukan governance action yaitu melobby Amerika Serikat dengan adanya perjanjian bilateral yang secara khusus. Jika lobby tersebut tidak tercapai maka yang menjadi imbasnya ialah bangsa Indonesia terkhusus para pengusaha yang harus bersaing dengan negara maju di asia yakni seperti, singapura, hongkong, korea selatan dan jepang yang rata-rata mereka sudah mencapai USD 10.000 pertahun sehingga memberi indikasi persaingan cukup besar untuk perdanganan di Amerika Serikat.

Dan upaya lain yang secara sederhana bisa dilakukan bangsa Indonesia apabila perjanjian tersebut tidak atau belum tercapai ialah membatasi impor dari Amerika Serikat ke Indonesia. Sejauh ini yang dibeli Indonesia dari Amerika Serikat yang tidak bisa dibeli dinegara lain ialah seperti Kapas (industry TPT); Kedelai (industry makanan dan minuman); Jagung (industry pekan ternak); Gandum (industry makanan); Holtikultura (Industri Buah Kaleng); Pesawa dan suku cadang (Terbang). Yang mana hal tersebut merupakan komudita-komuditas yang dibutuhkam, jika melihat keadaan bahwa Indonesia terdiri kurang lebih 270 juta jiwa, maka Indonesia merupakan pasar gemuk bagi negara lain terkhusus Amerika Serikat, artinya jika impor tersebut dibatasi pasar gemuk tersebut tidak lagi menjadi sasaran Amerika Serikat. Namun untuk melakukan hal besar semacam itu Indonesia pun harus siap memperbaiki system panens maupun quality control dan system annability supply seperti dalam hal Holtikultura.



[2] CNBC Indonesia

[6] GNI (pendapatan nasional bruto) adalah jumlah nilai tambah oleh semua produsen penduduk ditambah pajak produk (dikurangin subsidi) tidak termasuk dalam penilaian output ditambah penerimaan bersih penghasilan utama (kompensasi karyawan dan pendapatan properti) dari luar negeri

[7] GDP (Gross Domestic Product) Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product) adalah total nilai produksi barang dan jasa di dalam suatu negara selama satu tahun.

[9] Article XXXVI: 1(e) GATT berbunyi: “…recognising that international trade as a means of achieving economic and social advancement…”

[10] The Preamble of the Marrakesh Agreement Establishing the WTO menyatakan, “…there is need for positive efforts designed to ensure the developing countries and especially the least developed among them, secure a share in the growth in international trade commensurate with their needs of their economic development”

[11] The WTO Secretariat, Implementation of Special and Differential Treatment Provisions in WTO Agreements and Decisions, Committee on Trade and Development, WT/COMTD/W/77( 25 Oktober 2000), hlm. 3.

[12]ibid

[14] Deficit neraca adalah keadaan dimana laporan keuangan tercatat  mengalami kekurangan dari kas keuangan. Lawan dari deficit adalah surplus.

Senin, 23 April 2018

PRO KONTRA PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA OLEH DPRD


MOSI: GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DIPILIH OLEH
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD)
Oleh: Restu Gusti Monitasari
PRO
Pancasila merupakan staatfundamental norm Negara Republik Indonesia maka sudah        sepatutnya pandangan hidup bangsa didasarkan pada sila-sila yang termachtub didalam Pancasila itu sendiri. Sila ke empat Pancasila mengatakan bahwa “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” yang mana sila tersebut mengandung salah satu  unsur mengenai teori perwakilan, dan  negara Indonesia ini sendiri mencerminkan bentuk perwakilan kedalam bentuk lembaga negara yang ada di pusat yaitu DPR, DPD dan MPR juga di daerah yaitu DPRD, yang mana keseluruhnya merupakan representative rakyat yang semata-mata bergerak untuk kepentingan rakyat dengan tugas dan wewenang masing-masing sesuai amanat konstitusi.
Mengenai pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota atau lebih mudahnya disebut sebagai kepala daerah, sejatinya secara yuridis hal ini telah diatur didalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Apabila kita amati secara seksama, terdapat kerancuan implementasi untuk memaknai frasa “dipilih secara demokratis’, apakah demokratis yang dimaksud merupakan pemilihan secara langsung? Atau tidak langsung melalui wakil rakyat? Karena apabila kita kerucutkan kepada teori demokrasi, makna demokratis menurut badan Bahasa Republik Indonesia yaitu, Demokratis berarti hal yang bersifat demokrasi atau negara yang bersifat demokrasi. Sedangkan demokrasi itu sendiri dimaknai sebagai bentuk atau system pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah melalui perantara wakilnya. Artinya terdapat dua pembagian system demokrasi ini, yaitu demokrasi langsung yang pemilihannya dilakukan oleh rakyat, dan demokrasi tidak langsung yang pemilihannya dilakukan oleh wakil rakyat hal ini slaras dengan yang dikatakan oleh Carol C. Gould seorang Philosophy and political sciene the cuny graduate. Namun yang perlu digaris bawahi ialah baik pemilihan langsung oleh rakyat maupun tidak langsung yaitu melalui wakil rakyat, keduanya merupakan pengejawantahan dari makna demokratis itu sendiri, yang artinya apabila pemilihan dilakukan secarara tidak langsung yaitu melalui wakil rakyat yang dalam pemilihan kepala daerah ini dilakukan oleh DPRD tidaklah menciderai makna dalam pengimplementasian frasa “demokratis” sesuai yang diamanatkan oleh konstitusi.
Pemilihan kepala daerah oleh DPRD ini sejatinya telah dilaksanakan pada awal reformasi yang merupakan akhir dari keruntuhan orde baru yang dilegitimasi kedalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, dengan mekanisme pencalonan dari fraksi-fraksi di DPRD dan di pilih oleh anggota DPRD. Yang mana apabila kita kaji dalam kurun waktu sebelum tahun 2004 maka ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan untuk menganibi secara seksama pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
v  Dari sudut asas Utilitarianisme/utilitas atau asas kebermanfaatan
Teori ini diusulkan oleh David Hume (seorang Filsuf Skotlandia), yang secara utuh dirumuskan oleh Jeremy Bentham (seorang Filsuf empirisme dalam bidang moral dan politik sekaligus pendiri utilitarianisme inggris) yang selanjutnya dikembangkang secara lebih luas oleh James Mil (Filsuf empiris inggris), yang man melalui teori ini dapat kita lihat kebermanfaatan yang didapat apabila kepala daerah dipilih oleh DPRD, diantaranya yaitu:
1)      Efisiensi Anggaran
Karena apa bila kita lihat kondisi saat ini yang mana pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung sangat memboroskan anggaran khususnya anggaran daerah, bahkan bagi daerah yang kemampuan fiskal nya rendah, karena anggaran harus dikeluarkan urusan persiapan dan pelaksanaan pemilihan yang mana didalam hal ini terdapat beberapa pihak yaitu KPUD, BAWASLU provinsi, kabupaten, dan kota, dan biaya pengamanan negara. Hal tersebut lah yang menyebabkan besarnya anggaran yang dikeluarkan meskipun dengan dalih pemilihan secara langsung kini dilakukan secara serentak untuk mengefisiensikan anggaran, karena nyatanya terbukti dari data KPU yang mencatat di tahun 2015 anggaran yang dikeluarkan sebesar 7,1 Triliun Rupiah untuk pemilihan kepalah daerah secara langsung di 269 daerah yang terdiri dari atas 9 provinsi, 30 kota, dan 230 kabubaten. Di tahun 2017 anggaran yang dikeluarkan sebesar 4,2 Triliun Rupiah untuk pemilihan kepala darah secara langsung di 101 daerah yang terdiri atas 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten. Dan di 2018 ini menurut keterangan Arief Budiman selaku komisioner KPU pemilihan kepala daerah akan digelar di 171 daerah dengan rincian 17 daerah pilgub, 39 daerah pemilihan walikota, dan 115 pemilihan bupati, dengan perkiraan anggaran mencapai 20 Trilliun.
Dari rincian anggara tersebut, jelas bahwa hal tersebut sangat lah memakan banyak anggaran negara. Yang apabila kita lihat permasalahan yang ada didalam negara Indonesia ini, jelas tentu anggaran besar tersebut dapat dialokasikan untuk mengatasi permasalah yang ada, seperti hal nya untuk mengatasi masalah kemiskinan penduduk di Indonesia, karena menurut data sensed BPS pada bulan September 2017 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 26,58 juta jiwa dari kurang lebih 262 juta jiwa penduduk Indonesia atau 10,12%, dengan rincian kurun waktu maret 2017 sampai September 2017 jumlah penduduk miskin didaerah perkotaan sebesar 7,26% dan di daerah pedesaan sebesar 13,47%. Belum lagi mengenai hutang negara yang naik menjadi 9,1% yang menurut data Bank Indonesia pada akhir November 2017 tercatat sebesar 347,3 Miliar Dollar AS atau setara dengan Rp.4.636,455 Trilliun dengan Kurs Rp.13.350 perdollar AS.
Yang mana apabila pemilihan kepala daerah dilakukan secara tidak langsung sudah pasti tidak akan memakan besar anggaran karena tidak adanya pihakpihak yang dilibatkan seperti dalam pemilihan langsung yang menyebabkan membengkaknya anggaran negara, kemudian kecilnya biaya politik dikeluarkan yang baik oleh individu maupun korporasi apabila pemilihan kepala daerah dilakukan secara tidak langsung berbeda dengan dilakukan secara langsung karena menurut Rahmat Hollyson Mz dan Sri Sundari tahun 2015 biaya politik yang dikelurkan dalam pemilihan secara langsung itu meliputi, (1) biaya pembelian “perahu” yaitu proses rekrutmen untuk memilih anggotanya dalam rangka untuk menduduki jabatan-jabatan public dan administrasi. (2) biaya survey dan konsultan politik, (3) biaya kampanye terbuka dan tertutup. (4) biaya operasional tim survey.
2)      Meminimalisir konflik hasil pemilihan kepal daerah
Karena apabila kita lihat pemilihan kepala daerah secara langsung, Berdasarkan catatan Kesbagppol Depdagri dari 486 pemilihan kepala daerah yang digelar di tahun 2005 sampai 2008 hampir separuhnya bermasalah. Di tahun 2010 ada 224 daerah yang menyelenggarakan pemilihan kepala daerah, dan sebanyak 73% diwarnai dengan gugatan. Kemudian di tahun 2017 terdapat 49 perkara yang masuk ke Mahkamah Konstitusi dengan masa pembukaan pendaftaran sengketa pilkada sejan 22 februari 2017.
3)      Meminilisir tingkat kerusuhan
Apabila berkaca pada pemilihan kepala daerah secara langsung, menurut data yang disampaikan oleh direktur jendral otonomi daerah yang berasal dari data kementerian dalam negeri, mulai tahun 2005 sampai awal 2013 jumlah korban tewas mencapai 59 orang akibat kerusuhan di lokasi pemilihan kepala daerah secara langsung. Hal ini erbeda dengan masa sebelum tahun 2004 yang mana pemilihan di lakukan oleh DPRD tidak ada kerusuhan yang menyebabkan korban tewas.
4)      Mengatasi maslah korupsi
Menurut Abustan (2013), Indonesia di tahun 2009 masuk kedalam 10 negara terkorup di dunia, diperjelas melalui data Indonesia Corruption Watch (ICW) bahwa semenjak pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung tercatat di tahun 2005 sampai 2017 jumlah korupsi diindonesia selalu meningkat, apabila dirinci, sector keuangan daerah menjadi penyumbang potensi kerugian negara terbesar diakibatkan kasus korupsi yang terjadi dalam semester pertama di tahun 2010 sekitar Rp. 596,23 Miliar dan total kerugian Rp. 1,2 Trilliun kerugian negara akibat korupsi. Temuan ICW tampaknya parallel dengan data kemendagri sampai bulan desember 2014 tercatat 343 orang yang merupakan gubernur, bupati, dan walikota yang tersandung masalah hukum baikdi kejaksaan, polisi, maupun KPK berkaitan dengan masalah anggaran pengelolaan keuangan daerah yang bersumber pada penyusunan anggaran, pajak dan retribusi.
setelah dikaji dengan hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) indikasi korupsi yang terjadi diakibatkan karena pembiayan pemilihan kepala daerah dan biaya kampanye yang jauh lebih besar dibanding harta kas (uang tunai, tabungan dan deposito) dan total harta yang mereka cantumkan dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara. Hal ini lah yang menyebabkan kepala daerah terpilih merasa memiliki tanggung jawab pribadi maupun corporasi untuk mengembalikan modal biaya politik yang telah di keluarkan saat masa pencalonan, dengan cara melakukan tindakan korupsi anggaran daerah. Hal ini sesuai dengan penjelasan data hasil kajian  KPK, bahwa atas pendanaan pemilihan kepala daerah di tahun 2015 menunjukan sebanyak 51,4% responden kajian KPK yang merupakan bekas calon kepala daerah mengeluarkan dana kampanye melebihi hart akas, bahkan 16,1% mengeluarkan dana kampanye melebihi harta kekayaan yang dilaporkan, ternyata dana yang didapat kan ialah dari adanya donator kampanye, yang mana donator kampanye ini memiliki  tujuan tersendiri kepada calon kepala daerah yang nantinya akn menjabat (mengharapkan balasan) dan diketahui dari data yang sama ternyata 56,3% responden mengatakan tahu bahwa “donator kampanye” mengharapkan balasan saat calon kepala daerah telah terpilih. Dan ditemui fakta bahwa 75,8% responden akan mengabulkan permohonan donator. Dan 65,7% donator menghendaki kemudahan perizinan usaha dari calon kepala daerah ataupun anggaran daerah. Jelas hal ini lah yang menyebabkan banyaknya korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah dengan system pemilihan secara langsung, karena setiap calon kepala daerah memiliki tanggung jawab atas upaya yang teah dilakukan selama masa pencalonan, dan tanggung jawab tersebut bukan murni kepada rakyat melainkan tanggung jawab kepada pihak yang telah membantunya dalam pencalonan sehingga kepala daerah tersebut telah terpilih hal utama yang ia lakukan ialah melakukan pengembalian modal untuk keuntungan pribadi maupun corporasi.
Fenomena kepala daerah yang melakukan korupsi bukan hanya sebatas asumsi semata, melainkan sebuah fakta yang telah hidup dan berkembang di negara Indonesia ini. Dapat  kita lihat dari data ICW terkait daftar kepala daerah yang telah melakukan korupsi semenjak pemilihan dilakukan secara langsung, dari sekian banyak nama kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi, penulis hanya akan menyebutkan beberapa nama saja, pertama, kasus Eep Hidayat (Bupati Subang) terpidana kasus korupsi biaya pemungutan pajak bumi dan bangunan senilai Rp. 14 Milliar (tahun 2005 sampai 2008). Kedua, Mochtar Muhammad seorang walikota terpidana kasus suap kepengurusan hak guna usaha perkebunan kelapa sawit PT. Hardaya inti Plantations atau PT. Cipta Cakra Murdaya tahun 2011. Dan ketiga, Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang terjerat kasus korupsi alat kesehatan tahun 2012 sebesar Rp. 3,8 Milliar.
Fakta-fakta yang terungkap mengenai kepala daerah yang dipilih secara langsung, telah memberika kesimpulan bahwa semua itu telah bertentangan dengan tujuan di adakannya pemilihan kepala daerah secara langsung. Maka atas hal tersebut lah sudah seharusnya pemilihan kepala daerah dilakukan secara tidak langsung yaitu melalui DPRD selain tidak menciderai demokrasi, tetapi juga dapat memberikan kebermanfaatan mulai dari  efisiensi waktu, efisiensi anggaran, dan efektifitas pelaksanaan. Selaras dengan pemikiran Prof. Mahfud MD yang menyatakan bahwa “secara substansi akan lebih baik pemilihan kepala daerah di kembalikan kepada DPRD sebab pemilihan kepala daerah secara langsung lebih banyak mudaratnya (ketidak bermanfaatannya) dibanding manfaatnya”.


KONTRA
kedaulayan rakyat adalah kekuasaan yang dijalani oleh rakyat atas nama rakyat di atas dasar permusyawaratan”—Mohammad Hatta (wakil presiden Republik Indonesia yang pertama)
Dari penggalan kalimat itulah kita dapat memahami, bahwa makna kedaulatan rakyat yang diamanatkan oleh konstitusi yaitu pada pasal 1 ayat (2) UUD NRI tahun 1945 ialah rakyat yang memegang penuh kendali kekuasaan, sehingga terbentuklah rekontruksi demokrasi baik pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung oleh rakyat, sebagai bentuk pengejawantahan dari kedaulatan rakyat itu sendiri.
Secara historis, Sebelum amandemen UUD 1945, Kepala daerah tidak dipilih oleh rakyat maupun DPRD melainkan ditunjuk dan dilantik oleh Presiden. Baru setelah amandemen, pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis. Pasal 1 (2) UUD NRI 1945 “Kedaulatan Berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan UUD”
Kedaulatan berada di tangan rakyat, sudah sepantasnya rakyatlah yang memilih secara langsung siapa yang akan memimpin mereka. Rakyat merupakan satu kesatuan individu melalui perjanjian masyarakat.
Era reformasi yang ditandai runtuhnya orde baru merubah tatanan politik dan demokrasi yang ada di Indonesia. Hasil dari reformasi tersebut diantaranya adalah sistem pemilihan kepala daerah, seperti Gubernur selaku kepala daerah provinsi, bupati kepala daerah kabupaten dan walikota selaku kepala daerah kota.
John Locke menyatakan terbetuknya suatu negara didasarkan pada asas pactum unionis dan pactum subjectionis. Perjanjian tersebut menentukan bahwa individu memberikan mandate kepada negara atau pemerintah.
Namun dengan adanya reformasi dan perubahan system ketatanegaraan nyatanya masih belum menyelesaikan terkait system pemilihan kepala daerah karena setelah reformasi dengan lahirnya UU no 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang bertujuan untuk menjalankan asas demokrasi tidaklah berjalan dnegan tuntas karena UU tersebut memberikan kewenangan pemilihan kepala daerah kepada DPRD melalui sitematika pencalonan dari fraksi-fraksi dan dipilih oleh anggota DORD yang artinya tidak ada pernah masyarakat secara langsung dalam hal ini. Padahal telah kita ketahui bersama bahwa hakekatnya kepala daerah adalah seseorang yang secara wilayah akan memimpin dan menjalankan urusan-urusan rakyat diwilayah tersebut. Artinya kepala daerah baik, Gubernu, Bupati maupun Walikota, akan lebih dekat secara emosional dengan rakyat di daerah yang ia pimpin. Maka sudah jelas dan sepantasnya kepala daerah di pimpin oleh orang yang dipilih langsung oleh rakyat sebagai bentuk kehendak rakyat.
Apabila pemilihan gubernur, bupati, walikota dilakukan oleh dprd maka akan menjadi suatu kemunduran demokrasi. Bahkan menurut Freedom House (2006) setelah reformasi yaitu pada tahun 1999, Indonesia merupakan negara setengah demokrasi, hal ini didasarkan atas pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh DPRD. Namun sejah tahun 2005 dengan adanya UU no 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah sebagai dasar dilaksanakannnya pemilihan kepala daerah oleh rakyat, maka Indonesia dianggap telah sepenuhnya menjadi negara demokrasi.
Secara Yuridis semua menjelaskan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung memiliki nilai legitimasi yang tinggi terbukti dengan adanya, pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan UUD”, pasal 18 aya (4) yang menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis” dan frasa “demokratis” ini dimaknai dengan pemilihan secara langsung karena berdasarkan ayat (7) pada pasal ini dinyatakan bahwa “susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang” yang mana hal ini berlaku pula pada tata cara pemilihan kepala daerah dan menurut UU yang mengaturnya yaitu UU tentang pemerintah daerah mulai dari UU No 32 tahun 2004, UU no 23 tahun 2014, Perpu Nomor 2 tahun 2014, UU NO 2 tahun 2015, dan UU No 9 tahun 2015 ditambah pula dengan UU tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan walikota mulai dari Oerou No 1 tahun 2015, UU no 1 tahun 2015 dan UU no 8 tahun 2015, yang kesemua memberikan ketentuan bahwa kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Artinya sudah sepantasnya pemaknaan makna demokratis dalam UUD NRI 1945 ialah demokratis yang dilakukan secara langsung oleh rakyat, tidak sebatas landasan yuridis namun juga sosiologis dana aspek lain, selaras dengan pemikiran J.J Rousseeu yang menyatakan bahwa “Demokrasi tadak langsung atau demokrasi perwakilan pada hakikatnya bukanlah demokrasi, karena pada hakikatnya hanya memuaskan keinginan segelintir orang (Will of the few) ketimbang keinginan rakyat sebagai kehendak bersama dalam sebuah bangsa”.
Mengenai ricuh dan kisruh pemilihan kepala daerah sejatinya tidak hanya dalam pemilihan kepala daerah secara langsung tetapi keadaan ini juga banyak terjadi dalam pemilihan kepala daerah oleh DPRD terbukti dari fakta yang dilansir oleh data Litbang Kompas (2000). Diantaranya:
1.         Pada 31 Januari 2000
Ruang rapat pemilihan Bupati digedung DPRD lampung Selatan di rusak oleh pihak yang tidak puas karena calon yang mereka dukung yaitu Dasuki-Munafsir tidak meraih suara terbanyak. Rapat pemilihan bubar dan tidak ada pengesahan hasil penghitungan suara yang memenangkan Dzir-Pratiknyo.
2.         Pada 28 Agustus 2000
Di jembrana-Bali massa menyerbu kantor sekretariat DPC PDI-P dan merusak isinya, menjemur 12 anggota DPRD dan fraksi PDI-P  selama 2 Jam dan menuntut mereka mundur dari DPRD, massa mengamuk karena bupati yang terpilih yaitu Gede Winasa-Ketut Suania, bukan yang mereka dukung. Bentrokan terjadi antara massa dengan apparat, akibatnya seorang pemdukung PDI-P tewas tertembak dan 5 aparat luka-luka.
            Dan masih banyak kasus lainnya selama masa pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD.
            Melihat dari ukuran kualitas, Pratikno (2005) membagi kualitas pada 3 ukuean, yaitu pertama,  Kualitas Administratif proses electoral, yakni bagaimana jadwal ditepati dan bagaimana kesiapan regulasi, anggaran serta daftar pemilih. Kedua, Kualitas Politis proses electoral, uakni bagaimana kemandirian dan legitimasi penyelenggaraan dapat dijamin dan minimnya intensitas konflik. Ketiga, kualitas Produk Pilkada, yakni bagaimana pilkada bisa hasilkal pemimpin yang baik dan berkuaitas, dan dalam hal ini pemilihan kepala daerah secara langsung telah melahirkan menghasilkan pemimpin yang berkualitas seperti walikota bandung, walikota solo, walikota Surabaya, gubernur jawa tengah.
            Dari semua hal tersebut dapat kita simpulkan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung memiliki keuntungan yaitu:
1.      Kepala daerah terpilih merepresentasikan rakyat dan keterwakilan secara langsung dari rakyat
2.      Kepala daerah terpilih memiliki legitimasi tinggi karena merupakan hasil dari proses demokrasi yang melibatkan rakyat secara langsung.
3.      Pilkada langsung telah menghasilkan pemimpin seperti walikota bandung, walikota solo, walikota Surabaya, gubernur jawa tengah. Hal ini hanya contoh kecil dari berbagai wilayah yang ada di Indonesia sebagai hasil dari pilkada langsung
Sedangkan pemilihan kepala daerah yang apabila dilakukan oleh DPRD meiliki Kerugian yaitu;
1.      Legitimasi kepala daerah lemah karena tidak melibatkan rakyat secara langsung
2.      Sulit menghasilkan pemimpin daerah yang terbaik di wilayahnya karena dprd cenderung hanya pada tokoh-tokoh yang dikenal dprd saja
3.      Memperbesar terjadinya politik transaksional
4.      Membuat legislative lebih superior terhadap eksekutif. Karena legislatiflah yang memilih kepala daerah
5.      Dapat terjadinya dinasti politik legislative dan eksekutif. Dan kepala daerah dipilih oleh elit-elit partai yang berada di kepengurusan pusat.  
Sehingga yang perlu dilakukan saat ini diantaranya ialah memperkuat dan menjaga kenetralan KPUD, Bawaslu provonsi kabupaten dan kota, dan penguatan Funfsi Parpol dalam meberikan pendidikan politik kepada masyarakat sehingga dapat terselenggaranya pemilihan kepala daerah secara langsung sesuai tujuan utama demokratis yaitu menghasilkanpemimpin sesuai kehendak rakyat tanpa menimbulkan banyak konflik. Dan dalam hal menghidari penumpukan kasus Pemilu maka pelanggaran pemilu harus ditangani oleh masing-masing institusi yang berwenang, yakni untuk pelanggaran pidana ditangani oleh penegak hokum terkait kepolisian kejaksaan dan lainnya, sedangkan untuk pelanggaran administrative barulah ditangani o;eh KPUD dan lembaga pengawas pemilu ditiadakan sehingga kahirnya apabila terdapat urgensi barulah sengketa dapat dibawa ke Mahkamah Kostitusi hal ini semata-mata untuk menghindari penumpukan kasus juga menghemat anggaran dengan hanya mengaktifkan KPUD dalam tingkat pertama ini.



Keterangan:
·         Mosi adalah Topik Permasalahan yang dibahas
·         PRO adalah argumentasi ilmiah mengenai ungkapan Setuju terhadap Mosi
·         KONTRA adalah argumentasi ilmiah mengenai ungkapan tidak setuju terhadap mosi
·         Setiap Mosi yang dijadikan pembahasan didapat atas dasar konflik yang sedang berkembang di masyarakat
·         Argumentasi pro dan kontra berasal dari kajian ilmiah berdasarkan pandangan historys, filosofis, sosiologis, yuridis normative dan empiric yang diperkuat dengan data-data baik dari media informasi berupa berita, jurnal dan lainnya.
·         Tuisan ini asli dan murni tulisan sendiri atas hasil analisa melalui metode komaratif data, buku dan link sebagai referensi.

menelisik kabar "INDONESIA DI SEBUT NEGARA MAJU" dalam perdagangan dunia pada tahun 2020

  Kosekuensi ‘Status Negara Maju’ Dalam Perdagangan Dunia Sudah Pantaskah Indonesia disebut sebagai negara maju? Oleh: Restu Gusti Monit...