MOSI: GUBERNUR, BUPATI, DAN
WALIKOTA DIPILIH OLEH
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
DAERAH (DPRD)
Oleh: Restu Gusti Monitasari
PRO
Pancasila
merupakan staatfundamental norm Negara Republik Indonesia maka sudah sepatutnya pandangan hidup bangsa
didasarkan pada sila-sila yang termachtub didalam Pancasila itu sendiri. Sila
ke empat Pancasila mengatakan bahwa “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” yang mana sila tersebut
mengandung salah satu unsur mengenai
teori perwakilan, dan negara Indonesia
ini sendiri mencerminkan bentuk perwakilan kedalam bentuk lembaga negara yang
ada di pusat yaitu DPR, DPD dan MPR juga di daerah yaitu DPRD, yang mana
keseluruhnya merupakan representative rakyat yang semata-mata bergerak untuk
kepentingan rakyat dengan tugas dan wewenang masing-masing sesuai amanat
konstitusi.
Mengenai
pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota atau lebih mudahnya disebut sebagai kepala
daerah, sejatinya secara yuridis hal ini telah diatur didalam Pasal 18 ayat (4)
UUD NRI tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Gubernur,
Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah Provinsi,
Kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis”. Apabila kita amati secara seksama, terdapat kerancuan
implementasi untuk memaknai frasa “dipilih
secara demokratis’, apakah demokratis yang dimaksud merupakan pemilihan
secara langsung? Atau tidak langsung melalui wakil rakyat? Karena apabila kita
kerucutkan kepada teori demokrasi, makna demokratis menurut badan Bahasa
Republik Indonesia yaitu, Demokratis berarti hal yang bersifat demokrasi atau
negara yang bersifat demokrasi. Sedangkan demokrasi itu sendiri dimaknai
sebagai bentuk atau system pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta
memerintah melalui perantara wakilnya. Artinya terdapat dua pembagian system
demokrasi ini, yaitu demokrasi langsung yang pemilihannya dilakukan oleh
rakyat, dan demokrasi tidak langsung yang pemilihannya dilakukan oleh wakil
rakyat hal ini slaras dengan yang dikatakan oleh Carol C. Gould seorang
Philosophy and political sciene the cuny graduate. Namun yang perlu digaris
bawahi ialah baik pemilihan langsung oleh rakyat maupun tidak langsung yaitu
melalui wakil rakyat, keduanya merupakan pengejawantahan dari makna demokratis
itu sendiri, yang artinya apabila pemilihan dilakukan secarara tidak langsung yaitu
melalui wakil rakyat yang dalam pemilihan kepala daerah ini dilakukan oleh DPRD
tidaklah menciderai makna dalam pengimplementasian frasa “demokratis” sesuai
yang diamanatkan oleh konstitusi.
Pemilihan
kepala daerah oleh DPRD ini sejatinya telah dilaksanakan pada awal reformasi
yang merupakan akhir dari keruntuhan orde baru yang dilegitimasi kedalam UU No.
22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, dengan mekanisme pencalonan dari
fraksi-fraksi di DPRD dan di pilih oleh anggota DPRD. Yang mana apabila kita
kaji dalam kurun waktu sebelum tahun 2004 maka ada beberapa hal yang patut
dipertimbangkan untuk menganibi secara seksama pemilihan kepala daerah oleh
DPRD.
v Dari sudut asas
Utilitarianisme/utilitas atau asas kebermanfaatan
Teori ini diusulkan oleh David Hume
(seorang Filsuf Skotlandia), yang secara utuh dirumuskan oleh Jeremy Bentham
(seorang Filsuf empirisme dalam bidang moral dan politik sekaligus pendiri
utilitarianisme inggris) yang selanjutnya dikembangkang secara lebih luas oleh
James Mil (Filsuf empiris inggris), yang man melalui teori ini dapat kita lihat
kebermanfaatan yang didapat apabila kepala daerah dipilih oleh DPRD,
diantaranya yaitu:
1)
Efisiensi Anggaran
Karena apa bila kita lihat kondisi
saat ini yang mana pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung sangat
memboroskan anggaran khususnya anggaran daerah, bahkan bagi daerah yang
kemampuan fiskal nya rendah, karena anggaran harus dikeluarkan urusan persiapan
dan pelaksanaan pemilihan yang mana didalam hal ini terdapat beberapa pihak
yaitu KPUD, BAWASLU provinsi, kabupaten, dan kota, dan biaya pengamanan negara.
Hal tersebut lah yang menyebabkan besarnya anggaran yang dikeluarkan meskipun
dengan dalih pemilihan secara langsung kini dilakukan secara serentak untuk
mengefisiensikan anggaran, karena nyatanya terbukti dari data KPU yang mencatat
di tahun 2015 anggaran yang dikeluarkan sebesar 7,1 Triliun Rupiah untuk
pemilihan kepalah daerah secara langsung di 269 daerah yang terdiri dari atas 9
provinsi, 30 kota, dan 230 kabubaten. Di tahun 2017 anggaran yang dikeluarkan
sebesar 4,2 Triliun Rupiah untuk pemilihan kepala darah secara langsung di 101
daerah yang terdiri atas 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten. Dan di 2018 ini
menurut keterangan Arief Budiman selaku komisioner KPU pemilihan kepala daerah
akan digelar di 171 daerah dengan rincian 17 daerah pilgub, 39 daerah pemilihan
walikota, dan 115 pemilihan bupati, dengan perkiraan anggaran mencapai 20 Trilliun.
Dari rincian anggara tersebut, jelas
bahwa hal tersebut sangat lah memakan banyak anggaran negara. Yang apabila kita
lihat permasalahan yang ada didalam negara Indonesia ini, jelas tentu anggaran
besar tersebut dapat dialokasikan untuk mengatasi permasalah yang ada, seperti
hal nya untuk mengatasi masalah kemiskinan penduduk di Indonesia, karena
menurut data sensed BPS pada bulan September 2017 jumlah penduduk miskin di
Indonesia mencapai 26,58 juta jiwa dari kurang lebih 262 juta jiwa penduduk
Indonesia atau 10,12%, dengan rincian kurun waktu maret 2017 sampai September
2017 jumlah penduduk miskin didaerah perkotaan sebesar 7,26% dan di daerah
pedesaan sebesar 13,47%. Belum lagi mengenai hutang negara yang naik menjadi
9,1% yang menurut data Bank Indonesia pada akhir November 2017 tercatat sebesar
347,3 Miliar Dollar AS atau setara dengan Rp.4.636,455 Trilliun dengan Kurs
Rp.13.350 perdollar AS.
Yang mana apabila pemilihan kepala
daerah dilakukan secara tidak langsung sudah pasti tidak akan memakan besar
anggaran karena tidak adanya pihakpihak yang dilibatkan seperti dalam pemilihan
langsung yang menyebabkan membengkaknya anggaran negara, kemudian kecilnya
biaya politik dikeluarkan yang baik oleh individu maupun korporasi apabila
pemilihan kepala daerah dilakukan secara tidak langsung berbeda dengan
dilakukan secara langsung karena menurut Rahmat Hollyson Mz dan Sri Sundari
tahun 2015 biaya politik yang dikelurkan dalam pemilihan secara langsung itu
meliputi, (1) biaya pembelian
“perahu” yaitu proses rekrutmen untuk memilih anggotanya dalam rangka untuk
menduduki jabatan-jabatan public dan administrasi. (2) biaya survey dan konsultan politik, (3) biaya kampanye terbuka dan tertutup. (4) biaya operasional tim survey.
2)
Meminimalisir konflik hasil pemilihan kepal daerah
Karena apabila kita lihat pemilihan
kepala daerah secara langsung, Berdasarkan catatan Kesbagppol Depdagri dari 486
pemilihan kepala daerah yang digelar di tahun 2005 sampai 2008 hampir
separuhnya bermasalah. Di tahun 2010 ada 224 daerah yang menyelenggarakan
pemilihan kepala daerah, dan sebanyak 73% diwarnai dengan gugatan. Kemudian di
tahun 2017 terdapat 49 perkara yang masuk ke Mahkamah Konstitusi dengan masa
pembukaan pendaftaran sengketa pilkada sejan 22 februari 2017.
3)
Meminilisir tingkat kerusuhan
Apabila berkaca pada pemilihan kepala
daerah secara langsung, menurut data yang disampaikan oleh direktur jendral otonomi
daerah yang berasal dari data kementerian dalam negeri, mulai tahun 2005 sampai
awal 2013 jumlah korban tewas mencapai 59 orang akibat kerusuhan di lokasi
pemilihan kepala daerah secara langsung. Hal ini erbeda dengan masa sebelum
tahun 2004 yang mana pemilihan di lakukan oleh DPRD tidak ada kerusuhan yang
menyebabkan korban tewas.
4)
Mengatasi maslah korupsi
Menurut Abustan (2013), Indonesia di
tahun 2009 masuk kedalam 10 negara terkorup di dunia, diperjelas melalui data Indonesia
Corruption Watch (ICW) bahwa semenjak pemilihan kepala daerah dilakukan secara
langsung tercatat di tahun 2005 sampai 2017 jumlah korupsi diindonesia selalu
meningkat, apabila dirinci, sector keuangan daerah menjadi penyumbang potensi
kerugian negara terbesar diakibatkan kasus korupsi yang terjadi dalam semester
pertama di tahun 2010 sekitar Rp. 596,23 Miliar dan total kerugian Rp. 1,2
Trilliun kerugian negara akibat korupsi. Temuan ICW tampaknya parallel dengan
data kemendagri sampai bulan desember 2014 tercatat 343 orang yang merupakan
gubernur, bupati, dan walikota yang tersandung masalah hukum baikdi kejaksaan,
polisi, maupun KPK berkaitan dengan masalah anggaran pengelolaan keuangan
daerah yang bersumber pada penyusunan anggaran, pajak dan retribusi.
setelah dikaji dengan hasil kajian Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) indikasi korupsi yang terjadi diakibatkan karena pembiayan
pemilihan kepala daerah dan biaya kampanye yang jauh lebih besar dibanding harta
kas (uang tunai, tabungan dan deposito) dan total harta yang mereka cantumkan
dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara. Hal ini lah yang menyebabkan
kepala daerah terpilih merasa memiliki tanggung jawab pribadi maupun corporasi
untuk mengembalikan modal biaya politik yang telah di keluarkan saat masa
pencalonan, dengan cara melakukan tindakan korupsi anggaran daerah. Hal ini
sesuai dengan penjelasan data hasil kajian
KPK, bahwa atas pendanaan pemilihan kepala daerah di tahun 2015
menunjukan sebanyak 51,4% responden kajian KPK yang merupakan bekas calon
kepala daerah mengeluarkan dana kampanye melebihi hart akas, bahkan 16,1%
mengeluarkan dana kampanye melebihi harta kekayaan yang dilaporkan, ternyata
dana yang didapat kan ialah dari adanya donator kampanye, yang mana donator
kampanye ini memiliki tujuan tersendiri
kepada calon kepala daerah yang nantinya akn menjabat (mengharapkan balasan)
dan diketahui dari data yang sama ternyata 56,3% responden mengatakan tahu bahwa “donator kampanye”
mengharapkan balasan saat calon kepala daerah telah terpilih. Dan ditemui fakta
bahwa 75,8% responden akan mengabulkan permohonan donator. Dan 65,7% donator
menghendaki kemudahan perizinan usaha dari calon kepala daerah ataupun anggaran
daerah. Jelas hal ini lah yang menyebabkan banyaknya korupsi yang dilakukan
oleh kepala daerah dengan system pemilihan secara langsung, karena setiap calon
kepala daerah memiliki tanggung jawab atas upaya yang teah dilakukan selama
masa pencalonan, dan tanggung jawab tersebut bukan murni kepada rakyat
melainkan tanggung jawab kepada pihak yang telah membantunya dalam pencalonan
sehingga kepala daerah tersebut telah terpilih hal utama yang ia lakukan ialah
melakukan pengembalian modal untuk keuntungan pribadi maupun corporasi.
Fenomena kepala daerah yang melakukan
korupsi bukan hanya sebatas asumsi semata, melainkan sebuah fakta yang telah
hidup dan berkembang di negara Indonesia ini. Dapat kita lihat dari data ICW terkait daftar
kepala daerah yang telah melakukan korupsi semenjak pemilihan dilakukan secara
langsung, dari sekian banyak nama kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi,
penulis hanya akan menyebutkan beberapa nama saja, pertama, kasus Eep Hidayat (Bupati Subang) terpidana kasus korupsi
biaya pemungutan pajak bumi dan bangunan senilai Rp. 14 Milliar (tahun 2005
sampai 2008). Kedua, Mochtar Muhammad
seorang walikota terpidana kasus suap kepengurusan hak guna usaha perkebunan
kelapa sawit PT. Hardaya inti Plantations atau PT. Cipta Cakra Murdaya tahun
2011. Dan ketiga, Gubernur Banten
Ratu Atut Chosiyah yang terjerat kasus korupsi alat kesehatan tahun 2012
sebesar Rp. 3,8 Milliar.
Fakta-fakta yang terungkap mengenai
kepala daerah yang dipilih secara langsung, telah memberika kesimpulan bahwa
semua itu telah bertentangan dengan tujuan di adakannya pemilihan kepala daerah
secara langsung. Maka atas hal tersebut lah sudah seharusnya pemilihan kepala
daerah dilakukan secara tidak langsung yaitu melalui DPRD selain tidak
menciderai demokrasi, tetapi juga dapat memberikan kebermanfaatan mulai
dari efisiensi waktu, efisiensi
anggaran, dan efektifitas pelaksanaan. Selaras dengan pemikiran Prof. Mahfud MD
yang menyatakan bahwa “secara substansi akan lebih baik pemilihan kepala daerah
di kembalikan kepada DPRD sebab pemilihan kepala daerah secara langsung lebih
banyak mudaratnya (ketidak bermanfaatannya) dibanding manfaatnya”.
KONTRA
“kedaulayan
rakyat adalah kekuasaan yang dijalani oleh rakyat atas nama rakyat di atas
dasar permusyawaratan”—Mohammad Hatta (wakil presiden Republik Indonesia
yang pertama)
Dari penggalan kalimat itulah kita
dapat memahami, bahwa makna kedaulatan rakyat yang diamanatkan oleh konstitusi
yaitu pada pasal 1 ayat (2) UUD NRI tahun 1945 ialah rakyat yang memegang penuh
kendali kekuasaan, sehingga terbentuklah rekontruksi demokrasi baik pemilihan
umum maupun pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung oleh rakyat,
sebagai bentuk pengejawantahan dari kedaulatan rakyat itu sendiri.
Secara
historis, Sebelum amandemen UUD 1945, Kepala daerah tidak dipilih oleh rakyat
maupun DPRD melainkan ditunjuk dan dilantik oleh Presiden. Baru setelah
amandemen, pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis. Pasal 1 (2) UUD
NRI 1945 “Kedaulatan Berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan UUD”
Kedaulatan berada di
tangan rakyat, sudah sepantasnya rakyatlah yang memilih secara langsung siapa
yang akan memimpin mereka. Rakyat merupakan satu kesatuan individu melalui
perjanjian masyarakat.
Era reformasi
yang ditandai runtuhnya orde baru merubah tatanan politik dan demokrasi yang
ada di Indonesia. Hasil dari reformasi tersebut diantaranya adalah sistem
pemilihan kepala daerah, seperti Gubernur selaku kepala daerah provinsi, bupati
kepala daerah kabupaten dan walikota selaku kepala daerah kota.
John Locke
menyatakan terbetuknya suatu negara didasarkan pada asas pactum unionis dan
pactum subjectionis. Perjanjian tersebut menentukan bahwa individu memberikan
mandate kepada negara atau pemerintah.
Namun dengan
adanya reformasi dan perubahan system ketatanegaraan nyatanya masih belum
menyelesaikan terkait system pemilihan kepala daerah karena setelah reformasi
dengan lahirnya UU no 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang bertujuan
untuk menjalankan asas demokrasi tidaklah berjalan dnegan tuntas karena UU
tersebut memberikan kewenangan pemilihan kepala daerah kepada DPRD melalui
sitematika pencalonan dari fraksi-fraksi dan dipilih oleh anggota DORD yang
artinya tidak ada pernah masyarakat secara langsung dalam hal ini. Padahal
telah kita ketahui bersama bahwa hakekatnya kepala daerah adalah seseorang yang
secara wilayah akan memimpin dan menjalankan urusan-urusan rakyat diwilayah
tersebut. Artinya kepala daerah baik, Gubernu, Bupati maupun Walikota, akan
lebih dekat secara emosional dengan rakyat di daerah yang ia pimpin. Maka sudah
jelas dan sepantasnya kepala daerah di pimpin oleh orang yang dipilih langsung
oleh rakyat sebagai bentuk kehendak rakyat.
Apabila
pemilihan gubernur, bupati, walikota dilakukan oleh dprd maka akan menjadi
suatu kemunduran demokrasi. Bahkan menurut Freedom House (2006) setelah
reformasi yaitu pada tahun 1999, Indonesia merupakan negara setengah demokrasi,
hal ini didasarkan atas pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh DPRD. Namun
sejah tahun 2005 dengan adanya UU no 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah
sebagai dasar dilaksanakannnya pemilihan kepala daerah oleh rakyat, maka
Indonesia dianggap telah sepenuhnya menjadi negara demokrasi.
Secara Yuridis
semua menjelaskan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung memiliki nilai
legitimasi yang tinggi terbukti dengan adanya, pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945
menyatakan bahwa “kedaulatan berada
ditangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan UUD”, pasal 18 aya (4) yang
menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati dan
Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis” dan
frasa “demokratis” ini dimaknai dengan pemilihan secara langsung karena
berdasarkan ayat (7) pada pasal ini dinyatakan bahwa “susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
undang-undang” yang mana hal ini berlaku pula pada tata cara pemilihan
kepala daerah dan menurut UU yang mengaturnya yaitu UU tentang pemerintah
daerah mulai dari UU No 32 tahun 2004, UU no 23 tahun 2014, Perpu Nomor 2 tahun
2014, UU NO 2 tahun 2015, dan UU No 9 tahun 2015 ditambah pula dengan UU
tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan walikota mulai dari Oerou No 1 tahun
2015, UU no 1 tahun 2015 dan UU no 8 tahun 2015, yang kesemua memberikan
ketentuan bahwa kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Artinya
sudah sepantasnya pemaknaan makna demokratis dalam UUD NRI 1945 ialah
demokratis yang dilakukan secara langsung oleh rakyat, tidak sebatas landasan
yuridis namun juga sosiologis dana aspek lain, selaras dengan pemikiran J.J
Rousseeu yang menyatakan bahwa “Demokrasi tadak langsung atau demokrasi
perwakilan pada hakikatnya bukanlah demokrasi, karena pada hakikatnya hanya
memuaskan keinginan segelintir orang (Will of the few) ketimbang keinginan
rakyat sebagai kehendak bersama dalam sebuah bangsa”.
Mengenai ricuh
dan kisruh pemilihan kepala daerah sejatinya tidak hanya dalam pemilihan kepala
daerah secara langsung tetapi keadaan ini juga banyak terjadi dalam pemilihan
kepala daerah oleh DPRD terbukti dari fakta yang dilansir oleh data Litbang
Kompas (2000). Diantaranya:
1.
Pada 31 Januari 2000
Ruang rapat pemilihan Bupati digedung
DPRD lampung Selatan di rusak oleh pihak yang tidak puas karena calon yang
mereka dukung yaitu Dasuki-Munafsir tidak meraih suara terbanyak. Rapat
pemilihan bubar dan tidak ada pengesahan hasil penghitungan suara yang
memenangkan Dzir-Pratiknyo.
2.
Pada 28 Agustus 2000
Di jembrana-Bali massa menyerbu
kantor sekretariat DPC PDI-P dan merusak isinya, menjemur 12 anggota DPRD dan
fraksi PDI-P selama 2 Jam dan menuntut
mereka mundur dari DPRD, massa mengamuk karena bupati yang terpilih yaitu Gede
Winasa-Ketut Suania, bukan yang mereka dukung. Bentrokan terjadi antara massa
dengan apparat, akibatnya seorang pemdukung PDI-P tewas tertembak dan 5 aparat
luka-luka.
Dan masih banyak kasus lainnya selama masa pemilihan
kepala daerah dilakukan oleh DPRD.
Melihat dari ukuran kualitas, Pratikno (2005) membagi
kualitas pada 3 ukuean, yaitu pertama, Kualitas Administratif proses electoral, yakni
bagaimana jadwal ditepati dan bagaimana kesiapan regulasi, anggaran serta
daftar pemilih. Kedua, Kualitas
Politis proses electoral, uakni bagaimana kemandirian dan legitimasi
penyelenggaraan dapat dijamin dan minimnya intensitas konflik. Ketiga, kualitas Produk Pilkada, yakni
bagaimana pilkada bisa hasilkal pemimpin yang baik dan berkuaitas, dan dalam
hal ini pemilihan kepala daerah secara langsung telah melahirkan menghasilkan
pemimpin yang berkualitas seperti walikota bandung, walikota solo, walikota
Surabaya, gubernur jawa tengah.
Dari semua hal tersebut dapat kita simpulkan bahwa
pemilihan kepala daerah secara langsung memiliki keuntungan yaitu:
1.
Kepala daerah terpilih merepresentasikan rakyat dan keterwakilan
secara langsung dari rakyat
2.
Kepala daerah terpilih memiliki legitimasi tinggi karena
merupakan hasil dari proses demokrasi yang melibatkan rakyat secara langsung.
3.
Pilkada langsung telah menghasilkan pemimpin seperti walikota
bandung, walikota solo, walikota Surabaya, gubernur jawa tengah. Hal ini hanya
contoh kecil dari berbagai wilayah yang ada di Indonesia sebagai hasil dari
pilkada langsung
Sedangkan
pemilihan kepala daerah yang apabila dilakukan oleh DPRD meiliki Kerugian yaitu;
1.
Legitimasi kepala daerah lemah karena tidak melibatkan rakyat
secara langsung
2.
Sulit menghasilkan pemimpin daerah yang terbaik di wilayahnya
karena dprd cenderung hanya pada tokoh-tokoh yang dikenal dprd saja
3.
Memperbesar terjadinya politik transaksional
4.
Membuat legislative lebih superior terhadap eksekutif. Karena
legislatiflah yang memilih kepala daerah
5.
Dapat terjadinya dinasti politik legislative dan eksekutif.
Dan kepala daerah dipilih oleh elit-elit partai yang berada di kepengurusan
pusat.
Sehingga yang perlu
dilakukan saat ini diantaranya ialah memperkuat dan menjaga kenetralan KPUD,
Bawaslu provonsi kabupaten dan kota, dan penguatan Funfsi Parpol dalam
meberikan pendidikan politik kepada masyarakat sehingga dapat terselenggaranya
pemilihan kepala daerah secara langsung sesuai tujuan utama demokratis yaitu
menghasilkanpemimpin sesuai kehendak rakyat tanpa menimbulkan banyak konflik.
Dan dalam hal menghidari penumpukan kasus Pemilu maka pelanggaran pemilu harus
ditangani oleh masing-masing institusi yang berwenang, yakni untuk pelanggaran
pidana ditangani oleh penegak hokum terkait kepolisian kejaksaan dan lainnya,
sedangkan untuk pelanggaran administrative barulah ditangani o;eh KPUD dan
lembaga pengawas pemilu ditiadakan sehingga kahirnya apabila terdapat urgensi
barulah sengketa dapat dibawa ke Mahkamah Kostitusi hal ini semata-mata untuk
menghindari penumpukan kasus juga menghemat anggaran dengan hanya mengaktifkan
KPUD dalam tingkat pertama ini.
Keterangan:
·
Mosi adalah Topik
Permasalahan yang dibahas
·
PRO adalah argumentasi
ilmiah mengenai ungkapan Setuju terhadap Mosi
·
KONTRA adalah argumentasi
ilmiah mengenai ungkapan tidak setuju terhadap mosi
·
Setiap Mosi yang dijadikan
pembahasan didapat atas dasar konflik yang sedang berkembang di masyarakat
·
Argumentasi pro dan kontra
berasal dari kajian ilmiah berdasarkan pandangan historys, filosofis,
sosiologis, yuridis normative dan empiric yang diperkuat dengan data-data baik
dari media informasi berupa berita, jurnal dan lainnya.
·
Tuisan ini asli dan murni
tulisan sendiri atas hasil analisa melalui metode komaratif data, buku dan link
sebagai referensi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar