Senin, 23 April 2018

PRO KONTRA PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA OLEH DPRD


MOSI: GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DIPILIH OLEH
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD)
Oleh: Restu Gusti Monitasari
PRO
Pancasila merupakan staatfundamental norm Negara Republik Indonesia maka sudah        sepatutnya pandangan hidup bangsa didasarkan pada sila-sila yang termachtub didalam Pancasila itu sendiri. Sila ke empat Pancasila mengatakan bahwa “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” yang mana sila tersebut mengandung salah satu  unsur mengenai teori perwakilan, dan  negara Indonesia ini sendiri mencerminkan bentuk perwakilan kedalam bentuk lembaga negara yang ada di pusat yaitu DPR, DPD dan MPR juga di daerah yaitu DPRD, yang mana keseluruhnya merupakan representative rakyat yang semata-mata bergerak untuk kepentingan rakyat dengan tugas dan wewenang masing-masing sesuai amanat konstitusi.
Mengenai pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota atau lebih mudahnya disebut sebagai kepala daerah, sejatinya secara yuridis hal ini telah diatur didalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Apabila kita amati secara seksama, terdapat kerancuan implementasi untuk memaknai frasa “dipilih secara demokratis’, apakah demokratis yang dimaksud merupakan pemilihan secara langsung? Atau tidak langsung melalui wakil rakyat? Karena apabila kita kerucutkan kepada teori demokrasi, makna demokratis menurut badan Bahasa Republik Indonesia yaitu, Demokratis berarti hal yang bersifat demokrasi atau negara yang bersifat demokrasi. Sedangkan demokrasi itu sendiri dimaknai sebagai bentuk atau system pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah melalui perantara wakilnya. Artinya terdapat dua pembagian system demokrasi ini, yaitu demokrasi langsung yang pemilihannya dilakukan oleh rakyat, dan demokrasi tidak langsung yang pemilihannya dilakukan oleh wakil rakyat hal ini slaras dengan yang dikatakan oleh Carol C. Gould seorang Philosophy and political sciene the cuny graduate. Namun yang perlu digaris bawahi ialah baik pemilihan langsung oleh rakyat maupun tidak langsung yaitu melalui wakil rakyat, keduanya merupakan pengejawantahan dari makna demokratis itu sendiri, yang artinya apabila pemilihan dilakukan secarara tidak langsung yaitu melalui wakil rakyat yang dalam pemilihan kepala daerah ini dilakukan oleh DPRD tidaklah menciderai makna dalam pengimplementasian frasa “demokratis” sesuai yang diamanatkan oleh konstitusi.
Pemilihan kepala daerah oleh DPRD ini sejatinya telah dilaksanakan pada awal reformasi yang merupakan akhir dari keruntuhan orde baru yang dilegitimasi kedalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, dengan mekanisme pencalonan dari fraksi-fraksi di DPRD dan di pilih oleh anggota DPRD. Yang mana apabila kita kaji dalam kurun waktu sebelum tahun 2004 maka ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan untuk menganibi secara seksama pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
v  Dari sudut asas Utilitarianisme/utilitas atau asas kebermanfaatan
Teori ini diusulkan oleh David Hume (seorang Filsuf Skotlandia), yang secara utuh dirumuskan oleh Jeremy Bentham (seorang Filsuf empirisme dalam bidang moral dan politik sekaligus pendiri utilitarianisme inggris) yang selanjutnya dikembangkang secara lebih luas oleh James Mil (Filsuf empiris inggris), yang man melalui teori ini dapat kita lihat kebermanfaatan yang didapat apabila kepala daerah dipilih oleh DPRD, diantaranya yaitu:
1)      Efisiensi Anggaran
Karena apa bila kita lihat kondisi saat ini yang mana pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung sangat memboroskan anggaran khususnya anggaran daerah, bahkan bagi daerah yang kemampuan fiskal nya rendah, karena anggaran harus dikeluarkan urusan persiapan dan pelaksanaan pemilihan yang mana didalam hal ini terdapat beberapa pihak yaitu KPUD, BAWASLU provinsi, kabupaten, dan kota, dan biaya pengamanan negara. Hal tersebut lah yang menyebabkan besarnya anggaran yang dikeluarkan meskipun dengan dalih pemilihan secara langsung kini dilakukan secara serentak untuk mengefisiensikan anggaran, karena nyatanya terbukti dari data KPU yang mencatat di tahun 2015 anggaran yang dikeluarkan sebesar 7,1 Triliun Rupiah untuk pemilihan kepalah daerah secara langsung di 269 daerah yang terdiri dari atas 9 provinsi, 30 kota, dan 230 kabubaten. Di tahun 2017 anggaran yang dikeluarkan sebesar 4,2 Triliun Rupiah untuk pemilihan kepala darah secara langsung di 101 daerah yang terdiri atas 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten. Dan di 2018 ini menurut keterangan Arief Budiman selaku komisioner KPU pemilihan kepala daerah akan digelar di 171 daerah dengan rincian 17 daerah pilgub, 39 daerah pemilihan walikota, dan 115 pemilihan bupati, dengan perkiraan anggaran mencapai 20 Trilliun.
Dari rincian anggara tersebut, jelas bahwa hal tersebut sangat lah memakan banyak anggaran negara. Yang apabila kita lihat permasalahan yang ada didalam negara Indonesia ini, jelas tentu anggaran besar tersebut dapat dialokasikan untuk mengatasi permasalah yang ada, seperti hal nya untuk mengatasi masalah kemiskinan penduduk di Indonesia, karena menurut data sensed BPS pada bulan September 2017 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 26,58 juta jiwa dari kurang lebih 262 juta jiwa penduduk Indonesia atau 10,12%, dengan rincian kurun waktu maret 2017 sampai September 2017 jumlah penduduk miskin didaerah perkotaan sebesar 7,26% dan di daerah pedesaan sebesar 13,47%. Belum lagi mengenai hutang negara yang naik menjadi 9,1% yang menurut data Bank Indonesia pada akhir November 2017 tercatat sebesar 347,3 Miliar Dollar AS atau setara dengan Rp.4.636,455 Trilliun dengan Kurs Rp.13.350 perdollar AS.
Yang mana apabila pemilihan kepala daerah dilakukan secara tidak langsung sudah pasti tidak akan memakan besar anggaran karena tidak adanya pihakpihak yang dilibatkan seperti dalam pemilihan langsung yang menyebabkan membengkaknya anggaran negara, kemudian kecilnya biaya politik dikeluarkan yang baik oleh individu maupun korporasi apabila pemilihan kepala daerah dilakukan secara tidak langsung berbeda dengan dilakukan secara langsung karena menurut Rahmat Hollyson Mz dan Sri Sundari tahun 2015 biaya politik yang dikelurkan dalam pemilihan secara langsung itu meliputi, (1) biaya pembelian “perahu” yaitu proses rekrutmen untuk memilih anggotanya dalam rangka untuk menduduki jabatan-jabatan public dan administrasi. (2) biaya survey dan konsultan politik, (3) biaya kampanye terbuka dan tertutup. (4) biaya operasional tim survey.
2)      Meminimalisir konflik hasil pemilihan kepal daerah
Karena apabila kita lihat pemilihan kepala daerah secara langsung, Berdasarkan catatan Kesbagppol Depdagri dari 486 pemilihan kepala daerah yang digelar di tahun 2005 sampai 2008 hampir separuhnya bermasalah. Di tahun 2010 ada 224 daerah yang menyelenggarakan pemilihan kepala daerah, dan sebanyak 73% diwarnai dengan gugatan. Kemudian di tahun 2017 terdapat 49 perkara yang masuk ke Mahkamah Konstitusi dengan masa pembukaan pendaftaran sengketa pilkada sejan 22 februari 2017.
3)      Meminilisir tingkat kerusuhan
Apabila berkaca pada pemilihan kepala daerah secara langsung, menurut data yang disampaikan oleh direktur jendral otonomi daerah yang berasal dari data kementerian dalam negeri, mulai tahun 2005 sampai awal 2013 jumlah korban tewas mencapai 59 orang akibat kerusuhan di lokasi pemilihan kepala daerah secara langsung. Hal ini erbeda dengan masa sebelum tahun 2004 yang mana pemilihan di lakukan oleh DPRD tidak ada kerusuhan yang menyebabkan korban tewas.
4)      Mengatasi maslah korupsi
Menurut Abustan (2013), Indonesia di tahun 2009 masuk kedalam 10 negara terkorup di dunia, diperjelas melalui data Indonesia Corruption Watch (ICW) bahwa semenjak pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung tercatat di tahun 2005 sampai 2017 jumlah korupsi diindonesia selalu meningkat, apabila dirinci, sector keuangan daerah menjadi penyumbang potensi kerugian negara terbesar diakibatkan kasus korupsi yang terjadi dalam semester pertama di tahun 2010 sekitar Rp. 596,23 Miliar dan total kerugian Rp. 1,2 Trilliun kerugian negara akibat korupsi. Temuan ICW tampaknya parallel dengan data kemendagri sampai bulan desember 2014 tercatat 343 orang yang merupakan gubernur, bupati, dan walikota yang tersandung masalah hukum baikdi kejaksaan, polisi, maupun KPK berkaitan dengan masalah anggaran pengelolaan keuangan daerah yang bersumber pada penyusunan anggaran, pajak dan retribusi.
setelah dikaji dengan hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) indikasi korupsi yang terjadi diakibatkan karena pembiayan pemilihan kepala daerah dan biaya kampanye yang jauh lebih besar dibanding harta kas (uang tunai, tabungan dan deposito) dan total harta yang mereka cantumkan dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara. Hal ini lah yang menyebabkan kepala daerah terpilih merasa memiliki tanggung jawab pribadi maupun corporasi untuk mengembalikan modal biaya politik yang telah di keluarkan saat masa pencalonan, dengan cara melakukan tindakan korupsi anggaran daerah. Hal ini sesuai dengan penjelasan data hasil kajian  KPK, bahwa atas pendanaan pemilihan kepala daerah di tahun 2015 menunjukan sebanyak 51,4% responden kajian KPK yang merupakan bekas calon kepala daerah mengeluarkan dana kampanye melebihi hart akas, bahkan 16,1% mengeluarkan dana kampanye melebihi harta kekayaan yang dilaporkan, ternyata dana yang didapat kan ialah dari adanya donator kampanye, yang mana donator kampanye ini memiliki  tujuan tersendiri kepada calon kepala daerah yang nantinya akn menjabat (mengharapkan balasan) dan diketahui dari data yang sama ternyata 56,3% responden mengatakan tahu bahwa “donator kampanye” mengharapkan balasan saat calon kepala daerah telah terpilih. Dan ditemui fakta bahwa 75,8% responden akan mengabulkan permohonan donator. Dan 65,7% donator menghendaki kemudahan perizinan usaha dari calon kepala daerah ataupun anggaran daerah. Jelas hal ini lah yang menyebabkan banyaknya korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah dengan system pemilihan secara langsung, karena setiap calon kepala daerah memiliki tanggung jawab atas upaya yang teah dilakukan selama masa pencalonan, dan tanggung jawab tersebut bukan murni kepada rakyat melainkan tanggung jawab kepada pihak yang telah membantunya dalam pencalonan sehingga kepala daerah tersebut telah terpilih hal utama yang ia lakukan ialah melakukan pengembalian modal untuk keuntungan pribadi maupun corporasi.
Fenomena kepala daerah yang melakukan korupsi bukan hanya sebatas asumsi semata, melainkan sebuah fakta yang telah hidup dan berkembang di negara Indonesia ini. Dapat  kita lihat dari data ICW terkait daftar kepala daerah yang telah melakukan korupsi semenjak pemilihan dilakukan secara langsung, dari sekian banyak nama kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi, penulis hanya akan menyebutkan beberapa nama saja, pertama, kasus Eep Hidayat (Bupati Subang) terpidana kasus korupsi biaya pemungutan pajak bumi dan bangunan senilai Rp. 14 Milliar (tahun 2005 sampai 2008). Kedua, Mochtar Muhammad seorang walikota terpidana kasus suap kepengurusan hak guna usaha perkebunan kelapa sawit PT. Hardaya inti Plantations atau PT. Cipta Cakra Murdaya tahun 2011. Dan ketiga, Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang terjerat kasus korupsi alat kesehatan tahun 2012 sebesar Rp. 3,8 Milliar.
Fakta-fakta yang terungkap mengenai kepala daerah yang dipilih secara langsung, telah memberika kesimpulan bahwa semua itu telah bertentangan dengan tujuan di adakannya pemilihan kepala daerah secara langsung. Maka atas hal tersebut lah sudah seharusnya pemilihan kepala daerah dilakukan secara tidak langsung yaitu melalui DPRD selain tidak menciderai demokrasi, tetapi juga dapat memberikan kebermanfaatan mulai dari  efisiensi waktu, efisiensi anggaran, dan efektifitas pelaksanaan. Selaras dengan pemikiran Prof. Mahfud MD yang menyatakan bahwa “secara substansi akan lebih baik pemilihan kepala daerah di kembalikan kepada DPRD sebab pemilihan kepala daerah secara langsung lebih banyak mudaratnya (ketidak bermanfaatannya) dibanding manfaatnya”.


KONTRA
kedaulayan rakyat adalah kekuasaan yang dijalani oleh rakyat atas nama rakyat di atas dasar permusyawaratan”—Mohammad Hatta (wakil presiden Republik Indonesia yang pertama)
Dari penggalan kalimat itulah kita dapat memahami, bahwa makna kedaulatan rakyat yang diamanatkan oleh konstitusi yaitu pada pasal 1 ayat (2) UUD NRI tahun 1945 ialah rakyat yang memegang penuh kendali kekuasaan, sehingga terbentuklah rekontruksi demokrasi baik pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung oleh rakyat, sebagai bentuk pengejawantahan dari kedaulatan rakyat itu sendiri.
Secara historis, Sebelum amandemen UUD 1945, Kepala daerah tidak dipilih oleh rakyat maupun DPRD melainkan ditunjuk dan dilantik oleh Presiden. Baru setelah amandemen, pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis. Pasal 1 (2) UUD NRI 1945 “Kedaulatan Berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan UUD”
Kedaulatan berada di tangan rakyat, sudah sepantasnya rakyatlah yang memilih secara langsung siapa yang akan memimpin mereka. Rakyat merupakan satu kesatuan individu melalui perjanjian masyarakat.
Era reformasi yang ditandai runtuhnya orde baru merubah tatanan politik dan demokrasi yang ada di Indonesia. Hasil dari reformasi tersebut diantaranya adalah sistem pemilihan kepala daerah, seperti Gubernur selaku kepala daerah provinsi, bupati kepala daerah kabupaten dan walikota selaku kepala daerah kota.
John Locke menyatakan terbetuknya suatu negara didasarkan pada asas pactum unionis dan pactum subjectionis. Perjanjian tersebut menentukan bahwa individu memberikan mandate kepada negara atau pemerintah.
Namun dengan adanya reformasi dan perubahan system ketatanegaraan nyatanya masih belum menyelesaikan terkait system pemilihan kepala daerah karena setelah reformasi dengan lahirnya UU no 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang bertujuan untuk menjalankan asas demokrasi tidaklah berjalan dnegan tuntas karena UU tersebut memberikan kewenangan pemilihan kepala daerah kepada DPRD melalui sitematika pencalonan dari fraksi-fraksi dan dipilih oleh anggota DORD yang artinya tidak ada pernah masyarakat secara langsung dalam hal ini. Padahal telah kita ketahui bersama bahwa hakekatnya kepala daerah adalah seseorang yang secara wilayah akan memimpin dan menjalankan urusan-urusan rakyat diwilayah tersebut. Artinya kepala daerah baik, Gubernu, Bupati maupun Walikota, akan lebih dekat secara emosional dengan rakyat di daerah yang ia pimpin. Maka sudah jelas dan sepantasnya kepala daerah di pimpin oleh orang yang dipilih langsung oleh rakyat sebagai bentuk kehendak rakyat.
Apabila pemilihan gubernur, bupati, walikota dilakukan oleh dprd maka akan menjadi suatu kemunduran demokrasi. Bahkan menurut Freedom House (2006) setelah reformasi yaitu pada tahun 1999, Indonesia merupakan negara setengah demokrasi, hal ini didasarkan atas pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh DPRD. Namun sejah tahun 2005 dengan adanya UU no 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah sebagai dasar dilaksanakannnya pemilihan kepala daerah oleh rakyat, maka Indonesia dianggap telah sepenuhnya menjadi negara demokrasi.
Secara Yuridis semua menjelaskan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung memiliki nilai legitimasi yang tinggi terbukti dengan adanya, pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan UUD”, pasal 18 aya (4) yang menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis” dan frasa “demokratis” ini dimaknai dengan pemilihan secara langsung karena berdasarkan ayat (7) pada pasal ini dinyatakan bahwa “susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang” yang mana hal ini berlaku pula pada tata cara pemilihan kepala daerah dan menurut UU yang mengaturnya yaitu UU tentang pemerintah daerah mulai dari UU No 32 tahun 2004, UU no 23 tahun 2014, Perpu Nomor 2 tahun 2014, UU NO 2 tahun 2015, dan UU No 9 tahun 2015 ditambah pula dengan UU tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan walikota mulai dari Oerou No 1 tahun 2015, UU no 1 tahun 2015 dan UU no 8 tahun 2015, yang kesemua memberikan ketentuan bahwa kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Artinya sudah sepantasnya pemaknaan makna demokratis dalam UUD NRI 1945 ialah demokratis yang dilakukan secara langsung oleh rakyat, tidak sebatas landasan yuridis namun juga sosiologis dana aspek lain, selaras dengan pemikiran J.J Rousseeu yang menyatakan bahwa “Demokrasi tadak langsung atau demokrasi perwakilan pada hakikatnya bukanlah demokrasi, karena pada hakikatnya hanya memuaskan keinginan segelintir orang (Will of the few) ketimbang keinginan rakyat sebagai kehendak bersama dalam sebuah bangsa”.
Mengenai ricuh dan kisruh pemilihan kepala daerah sejatinya tidak hanya dalam pemilihan kepala daerah secara langsung tetapi keadaan ini juga banyak terjadi dalam pemilihan kepala daerah oleh DPRD terbukti dari fakta yang dilansir oleh data Litbang Kompas (2000). Diantaranya:
1.         Pada 31 Januari 2000
Ruang rapat pemilihan Bupati digedung DPRD lampung Selatan di rusak oleh pihak yang tidak puas karena calon yang mereka dukung yaitu Dasuki-Munafsir tidak meraih suara terbanyak. Rapat pemilihan bubar dan tidak ada pengesahan hasil penghitungan suara yang memenangkan Dzir-Pratiknyo.
2.         Pada 28 Agustus 2000
Di jembrana-Bali massa menyerbu kantor sekretariat DPC PDI-P dan merusak isinya, menjemur 12 anggota DPRD dan fraksi PDI-P  selama 2 Jam dan menuntut mereka mundur dari DPRD, massa mengamuk karena bupati yang terpilih yaitu Gede Winasa-Ketut Suania, bukan yang mereka dukung. Bentrokan terjadi antara massa dengan apparat, akibatnya seorang pemdukung PDI-P tewas tertembak dan 5 aparat luka-luka.
            Dan masih banyak kasus lainnya selama masa pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD.
            Melihat dari ukuran kualitas, Pratikno (2005) membagi kualitas pada 3 ukuean, yaitu pertama,  Kualitas Administratif proses electoral, yakni bagaimana jadwal ditepati dan bagaimana kesiapan regulasi, anggaran serta daftar pemilih. Kedua, Kualitas Politis proses electoral, uakni bagaimana kemandirian dan legitimasi penyelenggaraan dapat dijamin dan minimnya intensitas konflik. Ketiga, kualitas Produk Pilkada, yakni bagaimana pilkada bisa hasilkal pemimpin yang baik dan berkuaitas, dan dalam hal ini pemilihan kepala daerah secara langsung telah melahirkan menghasilkan pemimpin yang berkualitas seperti walikota bandung, walikota solo, walikota Surabaya, gubernur jawa tengah.
            Dari semua hal tersebut dapat kita simpulkan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung memiliki keuntungan yaitu:
1.      Kepala daerah terpilih merepresentasikan rakyat dan keterwakilan secara langsung dari rakyat
2.      Kepala daerah terpilih memiliki legitimasi tinggi karena merupakan hasil dari proses demokrasi yang melibatkan rakyat secara langsung.
3.      Pilkada langsung telah menghasilkan pemimpin seperti walikota bandung, walikota solo, walikota Surabaya, gubernur jawa tengah. Hal ini hanya contoh kecil dari berbagai wilayah yang ada di Indonesia sebagai hasil dari pilkada langsung
Sedangkan pemilihan kepala daerah yang apabila dilakukan oleh DPRD meiliki Kerugian yaitu;
1.      Legitimasi kepala daerah lemah karena tidak melibatkan rakyat secara langsung
2.      Sulit menghasilkan pemimpin daerah yang terbaik di wilayahnya karena dprd cenderung hanya pada tokoh-tokoh yang dikenal dprd saja
3.      Memperbesar terjadinya politik transaksional
4.      Membuat legislative lebih superior terhadap eksekutif. Karena legislatiflah yang memilih kepala daerah
5.      Dapat terjadinya dinasti politik legislative dan eksekutif. Dan kepala daerah dipilih oleh elit-elit partai yang berada di kepengurusan pusat.  
Sehingga yang perlu dilakukan saat ini diantaranya ialah memperkuat dan menjaga kenetralan KPUD, Bawaslu provonsi kabupaten dan kota, dan penguatan Funfsi Parpol dalam meberikan pendidikan politik kepada masyarakat sehingga dapat terselenggaranya pemilihan kepala daerah secara langsung sesuai tujuan utama demokratis yaitu menghasilkanpemimpin sesuai kehendak rakyat tanpa menimbulkan banyak konflik. Dan dalam hal menghidari penumpukan kasus Pemilu maka pelanggaran pemilu harus ditangani oleh masing-masing institusi yang berwenang, yakni untuk pelanggaran pidana ditangani oleh penegak hokum terkait kepolisian kejaksaan dan lainnya, sedangkan untuk pelanggaran administrative barulah ditangani o;eh KPUD dan lembaga pengawas pemilu ditiadakan sehingga kahirnya apabila terdapat urgensi barulah sengketa dapat dibawa ke Mahkamah Kostitusi hal ini semata-mata untuk menghindari penumpukan kasus juga menghemat anggaran dengan hanya mengaktifkan KPUD dalam tingkat pertama ini.



Keterangan:
·         Mosi adalah Topik Permasalahan yang dibahas
·         PRO adalah argumentasi ilmiah mengenai ungkapan Setuju terhadap Mosi
·         KONTRA adalah argumentasi ilmiah mengenai ungkapan tidak setuju terhadap mosi
·         Setiap Mosi yang dijadikan pembahasan didapat atas dasar konflik yang sedang berkembang di masyarakat
·         Argumentasi pro dan kontra berasal dari kajian ilmiah berdasarkan pandangan historys, filosofis, sosiologis, yuridis normative dan empiric yang diperkuat dengan data-data baik dari media informasi berupa berita, jurnal dan lainnya.
·         Tuisan ini asli dan murni tulisan sendiri atas hasil analisa melalui metode komaratif data, buku dan link sebagai referensi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

menelisik kabar "INDONESIA DI SEBUT NEGARA MAJU" dalam perdagangan dunia pada tahun 2020

  Kosekuensi ‘Status Negara Maju’ Dalam Perdagangan Dunia Sudah Pantaskah Indonesia disebut sebagai negara maju? Oleh: Restu Gusti Monit...