HUKUM
PERDATA
Oleh: Restu
Gusti Monitasari
A.
ISTILAH DAN PENGERTIAN
HUKUM
Istilah
Hukum
·
LAW, Dalam bahasa Amerika dan Inggris;
·
RECHT, Dalam bahasa Belanda dan Jerman;
·
DROIT, dalam bahasa Prancis;
·
DIRRITO, Dalam bahasa Italia;
·
SYARI’AH, Dalam bahasa kawasan Timur
Tebngah.
Pengertian
Hukum menurut para Ahli Hukum
·
Menurut Aritoteles
Aristoteles
mengatakan bahwa hukum hanyalah sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya
mengikat tetapi juga hakim bagi masyarakat. Dimana undang-undanglah yang
mengawasi hakim dalam melaksanakan tugasnya untuk menghukum orang-orang yang
bersalah atau para pelanggar hukum.
·
Menurut Plato
Hukum adalah
seperangkat peraturan yang tersusun dengan baik dan teratur dan bersifat
mengikat hakim dan masyarakat.
·
Menurut Immanuel kant
Hukum adalah
segala keseluruhan syarat dimana seseorang memiliki kehendak bebas dari orang
yang satu dapat menyesuaikandiri dengan kehendak bebas dari orang lain dan
menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan.
·
Menurut S.M Amin
Hukum adalah
sekumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi. Dan
bertujuan untuk mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia sehingga keamanan
dan ketertiban terpelihara.
·
Menurut Drs. E. Utrecht, S.H
Hukum adalah
suatu himpunan peraturan yang didalamnya
berisi tentang perintah dan larangan, yang mengatur tata tertib kehidupan dalam
bermasyarakat dan harus ditaati oleh setiap individu dalam masyarakat karena
pelanggaran terhadap pedoman hidup itu bisa menimbulkan tindakan dari pihak
pemerintah suatu negara atau lembaga.
·
Menurut Soerso
Hukum adalah
sebuah himpunan peraturan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dengan tujuan
untuk mengatur tata tertib kehidupan bermasyarakat yang memiliki ciri perintah
dan larangan yang sifatnya memaksa dengan menjatuhkan sanksi-sanksi hukuman
bagi pelanggarnya.
Itulah pengertian hukum menurut
beberapa ahli hukum, dan pengertian hukum menurut saya sendiri ialah, Hukum
adalah suatu aturan-aturan atau batasan-batasan yang hidup dan berkembang dalam
suatu masyarakat yang memiliki tujuan untuk mencapai keadilan, kepastian dan
segala hal yang dapat menciptakan kesejahteraan, yang dimana hukum ini bersifat
mencegah, mengikat, dan memaksa, juga memiliki sanksi bagi siapapun yang
melanggarnya.
B. ISTILAH DAN PENGERTIAN HUKUM PERDATA
Diatas telah dijelaskan betul
mengenai pengertian hukum, dan sekarang saatnya kita mengetahui istilah dan
pengertian hukum perdata, namun Sebelum membahas istilah dan pengertian hukum
perdata, alangkah lebih baiknya kita mengetahui terlebih dahulu apa itu
Perdata. Dalam arti luas, perdata sering disebut juga hukum dang (WvK/wet boek
van koophandel). Dalam arti sempit perdata hanya disama artikan dengan KUHPER
saja.
Istilah hukum perdata pertama kali
diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno sebagai terjemahan dari burgerlijkrecht
pada masa penduduka jepang. Di samping istilah itu, sinonim hukum perdata
adalah civielrecht dan privatrecht. Istilah hukum perdata sering juga disebut sebagai hukum sipil dan hukum
privat, dan juga ada yang tertulis dan tidak tertulis.hukum perdata tertulis
yang dimaksud ialah hukum perdata yang termuat dalam kitab Undang-undang hukum
perdata (Burgerlijke Wetboek) maupun peraturan perundang-undangan yang lainnya.
Sedangkan hukum perdata tidak tertulis yang dimaksud ialah hukum adat yang
merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Kitab Undang-undang hukum perdata (KUHPER) ini berlaku bagi warga
negara indonesia keturunan Eropa, Timur asing Tionghoa, dari Timur asing bukan
tionghoan (seperti orang Arab, India, dan Pakistan) kecuali hukum keluarga dan
hukum waris, dimana kedua bidang hukum terakhir ini mereka tunduk pada hukum
adat mereka masing-masing. Dalam hukum adat merupakan hukum perdata yang
berlaku bagi warga negara Indonesia asli.
Para ahli
memberikan pengertian hukum perdata, seperti berikut:
Van Dunne mengartikan hukum perdata,
khususnya pada abad ke -19 adalah:
“suatu
peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang sangat ecensial bagi kebebasan
individu, seperti orang dan keluarganya, hak milik dan perikatan. Sedangkan
hukum public memberikan jaminan yang minimal bagi kehidupan pribadi”
Vollmar, dia
mengartikan hukum perdata adalah:
“aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan
pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan perseorangan
dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengna kepentingan
yang lain dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang
mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas”
Prof. R. Subekti, SH, menurut beliau hukum perdata
adalah “segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan seseorang”
Prof. Dr. Ny. Sri Soedewi Masjchoen sofwan,
mengartikan “hukum perdata sebagai hukum yang mengatur kepentingan antar warga
negara perseorangan yang satu dengan warga negara perseorangan yang lain”.
Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa pengertian hukum perdata yang dipaparkan para ahli di atas, kajian
utamnya pada pengaturan tentang perlindungan antara orang yang satu degan orang
lain, akan tetapi di dalam ilmu hukum subyek hukum bukan hanya orang tetapi
badan hukum juga termasuk subyek hukum, jadi untuk pengertian yang lebih
sempurna yaitu keseluruhan kaidah-kaidah hukum(baik tertulis maupun tidak
tertulis) yang mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan yang lain
dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan kemasyarakatan dan menitik
beratkan kepada kepentingan perseorangan.
Ø Di dalam
hukum perdata terdapat 2 kaidah, yaitu:
1.
Kaidah tertulis
Kaidah hukum perdata tertulis adalah kaidah-kaidah hukum perdata yang
terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi.
2.
Kaidah tidak tertulis
Kaidah hukum perdata tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum perdata yang
timbul, tumbuh, dan berkembang dalam praktek kehidupan masyarakat (kebiasaan)
Ø Subjek hukum
dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
1.
Manusia
Manusia sama dengan orang karena manusia mempunyai
hak-hak subjektif dan kewenangan hukum.
2.
Badan hukum
Badan hukum adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai
tujuan tertentu, harta kekayaan, serta hak dan kewajiban.
Ø Subtansi
yang diatur dalam hukum perdata antara lain:
1.
Hubungan keluarga
Dalam hubungan keluarga akan menimbulkan hukum tentang orang dan hukum
keluarga.
2.
Pergaulan masyarakat
Dalam hubungan pergaulan masyarakat akan menimbulakan
hukum harta kekayaan, hukum perikatan, dan hukum waris.
Ø Dari berbagai
paparan tentang hukum perdata di atas, dapat di temukan unsur-unsurnya yaitu:
1.
Adanya kaidah hukum
2.
Mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan yang
lain.
3.
Bidang hukum yang diatur dalam hukum perdata meliputi
hukum orang, hukum keluarga, hukum benda, hukum waris, hukum perikatan, serta
hukum pembuktia dan kadaluarsa.
C.
SEJARAH
HUKUM PERDATA
Hukum Perdata berasal dari Hukum Perdata Prancis,
sebelum dikodifikasikan pada tanggal 21 maret 1804 dengan nama code civil des
francis, sebelum di akuinya hukum perdata Prancis tersebut tidak ada kesatuan
hukumnya, sehingga terbagi atas 2 bagian wilayah hukum Prancis, yaitu :
1) Wilayah
Utara dan Tengah, wilayah ini merupakan daerah hukum lokal yang berlaku hukum
kebebasan Prancis kuno yang berasal dari germania.
2) Wilayah
selatan, wilayah ini merupakan daerah hukum Romawi, dan hukum yang diakui
disana yaitu Hukum Syenes yang dikumpulkan secara sistematis dalam suatu kitab
Undang-Undang Tahun 1800 yang disebut carpus juris civiles oleh kaisar
Justinianus pada tanggal 12-8-1800 dan oleh pemerintah Napoleon dibentuklah
panitia pengkodifikasian Undang-Undang ini.
Pada tanggal 21 maret 1804 barulah di undang-undangkan
dengan nama Code Civil Des Francis. Tahun 1807 diadakan kodifikasi Hukum Dagang
dan Hukum Perdata. Pada tahun 1813 pendudukan Perancis di Belanda berakhir dan
belanda merdeka. Tahun 1814 Belanda mengadakan kodifikasi yang diketuai oleh
Mr.J.M Kempur yang bersumber dari Code Napoleon dan hukum Belanda kuno.
Pada awal kemerdekaan negeri Belanda 1814 Sistem Pemerintahannya
menganut Sistem Disentralisasi yang terdiri atas Propinsi-propinsi yang
berdaulat dan mempunyai peraturan sendiri, sehingga belum ada peraturan
yang berlaku secara umum sehingga kepastian hukum tidak terpenuhi. Pada tahun
itu pula dibentuk panitia yang di ketuai oleh Mr. JM Kempur (Guru Besar Bidang
Hukum) membuat sendiri yang memuat Hukuman Belanda Kuno, meliputi: Hukam
Romawi, Hukam German, Hukum Kanonik Gereja, dan disetujui oleh Raja yang
dikenal dengan Rancangan 1816.
Berdasarkan SK Raja semua Undang-Undang Wetboek
dinyatakan mulai berlaku tanggal 1 Oktober 1838. Pada tahun 1838 kodifikasi ini
disahkan oleh Raja dengan nama BW = Burgerlyk Wetboek dan WVK = Wetboek Van
Koophandel (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang).
D. KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA
Hukum perdata di indonesia, ber-bhinneka, yaitu beraneka warna.
Pertama, ia berlainan untuk segala golongan warga negara;
a.
Untuk golongan bangsa indonesia asli, berlaku “hukum adat”, yaitu hukum yang sejak
dahulu telah berlaku dikalangan rakyat, yang sebagian besar masih belum
tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, mengenai segala soal
dalam kehidupan masyarakat.
b.
Untuk golongan warga negara bukan asli yang berasal Tionghoa dan Eropah berlaku Kitab undang-undang hukum perdata (Burgelijk wetboek) dan Kitab undang-undang hukum
dagang (wetboek van Koophandel),
dengan pengerti pengertian, bahwa bagi golongan Tionghoa mengenai Burgelijk
Wetboek tersebut ada sedikit penyimpangan yaitu bagian 2 dan 3 dari Titel IV
buku I (mengenai cara yang mendahului pernikahan dan mengenai “penahanan”
pernikahan0 tidak berlaku lagi bagi mereka, sedangkan untuk mereka ada pula
“Burgelijk Stand” tersendiri. Selanjutnya ada pula suatu peraturan perihal
pengangkatan anak (adopsi), karena
hal ini tidak terkenal di dalam Burgelijk Wetboek.
Akhirnya
untuk golongan warga negara bukan asli yang bukan
berasal Tionghoa atau Eropah (yaitu:
Arab, India dan lain-lain) berlaku sebagian dari Burgerlijk Wetboek, yaitu pada
pokoknya hanya bagian-bagian yang mengenai hukum kekayaan harta benda (vermogensrecht), jadi tidak yang
mengenai hukum kepribadian dan kekeluargaan (personen en familierechti) maupun yang mengenai hukum waris.
Mengenai bagian-bagian hukum yang belakangan ini, berlaku hukum mereka sendiri
dari negara asalnya.
Hukum yang berlaku bagi golongan bangsa Indonesia sendiripun ber-bhineka
lagi, yaitu berbeda-beda dari daerah ke daerah.
Untuk mengerti keadaan Hukum Perdaa di indonesia sekarangi ini, perlulah
kita sekedar mengetahui tentang riwayat politik Pemerintah Hindia-Belanda
dahulu terhadap hukum di Indonesia.
Pedoman politik bagi pemerintah Hindia-Belanda terhadap hukum di Indonesia
dituliskan dalam pasal 131 “Indische
staatsregeling” (sebelum itu pasal 75 regeringsreglement),
yang dalam pokoknya, sebagai berikut.
1.
Hukum Perdata dan dagang (begitu pula Hukum Pidana
beserta hukum acara Perdata dan Pidana) harus diletakkan dalam kitab-kitab
undang-undang, yaitu dikodifisir.
2.
Untuk golongan bangsa Eropa dianut (dicontoh) perundang-undangan
yang berlaku di Negeri Belanda (asas
konkordansi).
3.
Untuk golongan bangsa Indonesia aslin dan Timur Asing
(Tionghoa, Arab dan sebagainya), jika
ternyata “kebutuhan kemasyarakatan” mereka menghendakinya, dapatlah
peraturan-peraturan untuk bangsa Eropah dinyatakan berlaku bagi mereka, naik
seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan dan juga diperbolehkan membuat
suatu peraturan baru bersama, untuk selainnya harus di indahkan aturan-aturan
yang berlaku dikalangan mereka, dan boleh diadakan penyimpangan jika diminta oleh
kepentingan umum atau kebutuhan kemasyarakatan mereka (ayat 2).
4.
Orang Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang
mereka belum ditundukkan dibawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropah,
diperbolehkan “menundukkan diri” (”onderwerpen”)
pada hukum yang berlaku untuknbangsa Eropah. Penundukkan ini boleh
dilakukan baik secara umum maupun secara hanya mengenai suatu perbuatan
tertentu saja (ayat 4).
5.
Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis didalam
undang-undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku
bagi mereka, yaitu “hukum adat” (ayat 6).
Berdasarkan pedoman-pedoman yang telah disebutkan di atas, di zaman
Hindia-Belanda telah ada beberapa peraturan undang-undang Eropah yang telah
‘dinyatakan berlaku” untuk bangsa Indonesia asli, seperti pasal 1601-1603 lama
dari B.W., yaitu perihal perjanjian kerja atau perburuhan (Staatsblad 1879
No.256), pasal 1788-1791 B.W. perihal hutang-hutang dari perjudian (Staatsblad
1907 No. 306) dan beberapa pasal dari kitab undang-undang hukum dagang, yaitu
sebagian bear dari hukum laut (Staatsblad 1933 No. 49).
Selanjutnya ada beberapa peraturan yang secara khusus dibuat untuk bangsa
indonesia, seperti : Ordonasi Perkawinan
bangsa indoonesua kristen (Staatsblad 1933 no.74), ordonasi
tentang maskapai andil indonesia/I.M.A.
Staatsblaad 193 no.59 Jo. No. 717). Akhirnya, ada pula peraturan-peraturan
yang berlaku bagi semua golongan warga negara, misalnya undang-undang Hak
Pengarang (Auteurswet tahun 1912) dan
lain-lain.
Kemungkinan untuk menundukan diri pada Eropa telah diatur leboih lanjut
dalam Staatsblaad 1917 no.12, dan peraturan tersebut mengenai empat macam
penundukan, yaitu;
a.
Penundukan pada seluruh hukum perdata eropa;
b.
Penundukan pada sebagian hukum perdata Eropa, yang
dimaksudkan hanya pada hukum kekayaan harta benda saja (varmogensrecht), seperti yang telah dinyatakan berlaku bagi
golongan timur asing bukan Tionghoa;
c.
Penundukan mengenai suatu perbuatan hukum tertentu;
d.
Penundukan secara ‘diam-diam’, menurut pasal 29.
Riwayat
perundang-undangan dalam lapangan hukum perdata untuk golongan Timur Asing ,
sebagai berikut;
Mula-mula dengan peraturan yang
termuat di dalam staatsblad 1855 no.79 hukum perdata Eropa (B.W dan W.v.K)
dengan kekecualian hukum kekeluargaan untuk semua orang Timur Asing. Kemudian
dalam tahun 1917, mulailah diadakan pembedaan antara golongan Tionghoa dan
bukan Tionghoa, karena untuk golongan Tionghoa dianggapnya hukum Eropa yang
sudah diperlakukan terhadap mereka itu dapat diperluas lagi.
Untuk golongan Tionghoa diadaakan
suatu peraturan tersendiri mengenai Hukum Perdata mereka, yaitu peraturan yang
diletakkan dalam Staatsblad tahun 1917 No. 129 (berlaku untuk seluruh wilayah
indonesia sejak tanggal 1 september 1925).
Bagi golongan Timur asing lain-lainnya
(Arab, India dan sebagainya) kemudian juga diadakan suatu peraturan terdiri,
dalam Ordonansi yang termuat dalam Staatsblad tahun 1924 No. 556 (mulai berlaku
sejak tanggal 1 maret 1925). Pada tahun 1926 salam B.W dimasukkan suatu
peraturan baru megenai perjanjian perburuhan (arbeidscontract), peraturan baru
tidak dinyatakan berlaku lagi, lain golongan selainnya golongan eropa, sehingga
bangsa Indonesia dan Timur Asing masih tetap tunduk dibawah peraturan yang lama
yaitu pasal-pasal 1601 sampai dengan 1603 B.W.
Oleh karena Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia tidak mengenal adanya golongan-golongan warga negara,
adanya hukum yang berlainan untuk berbagai golongan itu dianggap janggal.
Indonesia sedang berusaha untuk membentuk suatu kodifikasi hukum nasional .
sementara belum tercapai, B.W dan W.v.K masih berlaku, tetapi dengan ketentuan
bahwa hakim (pengadilan) dapat menganggap suatu pasal tidak berlaku lagi jika
dianggapnya bertentangan dengan keadaan jaman kemerdekaan sekarang ini. Dikatakan
bahwa B.W dan W.v.K tidak lagi dikatakan sebagai “wetboek” tetapi suatu “rechtsboek”.
E. KEDUDUKAN B.W PADA WAKTU SEKARANG
·
Secara Yuridis formil kedudukan B.W tetap sebagai
Undang-undang karena B.W tidak pernah dicabut dari kedudukannya sebagai Undang-undang.
·
Secara Yuridis materil, B.W bukan lagi KUHPERDATA yang
bulat dan utuh seperti keadaan semula saat di Undangkan. Sebab ada beberapa
bagian B.W yang sudah tidak berlaku lagi.
F. SISTEMATIK HUKUM PERDATA
B.W berlaku secara Umum dan di Kodifikasikan;
v Hukum
perdata menurut ilmu pengetahuan terbagi menjadi empat, yaitu;
1.
Tentang hukum perorangan atau badan pribadi
(personenrecht)
2.
Tentang hukum keluarga (familyerecht)
3.
Tentang hukum kekayaan (vermogenrecht)
4.
Tentang hukum waris (erfrecht)
Hukum
perorangan atau badan pribadi, memuat peraturan-peraturan tentang manusia sebagai
subyek dalam huku, peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak
dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal
yang memperngaruhi kecakapak-kecakapan itu.
Hukum
keluarga, mengatur
perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu:
perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antar suami dan
isteri, hubungan antar orang tua dan anak, perwalian dan curatele.
Hukum
kekayaan, mengatur
perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Jika kita
mengatakan tentang kekayaan seorang, yang dimaksudkan ialah jumlah segala hak
dan kewajiban orang itu, dinilai dengan uang. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban
yang demikian itu, biasanya dapat dipindahkan kepada orang lain. Hak-hak
kekayaan, terbagi lagi atas hak-hak yang berlaku terhadap tiap orang dan
karenanya dinamakan hak mutlak dan hak-hak yang hanya berlaku terhadap seseorang atau
suatu pihak yang tertentu saja dan karenanya dinamakan hak perseorangan. Hak
mutlak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan
hak kebendaan, hak mutlak yang tidak
memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat, misalnya hak seorang
pengarang atas karangannya, hak seorang atas suatu pendapat dalam lapangan ilmu
pengetahuan atau hak seorang pedagang untuk memakai sebuah merk, dinamakan hak
mutlak saja.
Hukum waris, mengatur
hal ikhwal tentang benda atau kekayaan seorang jikalau ia meninggal. Juga dapat
dikatakan, hukum waris itu mengatur akibat-akibat hubungan keluarga terhadap
harta peninggalan seseorang. Berhubungan sengan sifatnya yang setengah-setengah
ini, hukum waris lazimnya ditempatkan tersendiri.
v Hukum
perdata menurut Undang-undang tebagi menjadi;
1.
Buku I, perihal ‘Orang’ (van personen), memuat hukum tentang diri seseorang dan hukum
keluarga.
2.
Buku II, perihal ‘Benda’ (van zaken), memuat hukum perbendaan serta hukum waris.
3.
Buku II, perihal ‘Perikatan’ (van verbintenissen), memuat hukum kekayaan yang mengenai hak-hak
dan kewajiban-kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak yang
tertentu.
4.
Buku IV, perihal ‘pembuktian dan lewat waktu
(daluwarsa)’ (van bewijs en verjaring),
memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu terhadap
hubungan-hubungan hukum.
BUKU I PERIHAL ORANG (VANPERSONEN)
Buku I tentang Orang, mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum
keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh
subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan
seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan
hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian
ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU
nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
A. PENGERTIAN ORANG
Dalam hukum, perkataan orang
(persoon) berarti pembawa hak
atau subyek di dalam hukum. Hukum orang
dapat diartikan dalam arti luas dan arti sempit.
v Hukum
tentang orang dalam arti luas :
Hukum orang adalah hukum yang
memuat tentang peraturan-peraturan tentang diri manusia sebagi subyek dalam
hukum, peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk
bertindak sendiri melaksanakan haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi
kecakapan-kecakapan itu.
v Hukum
tentang orang dalam arti sempit :
Hukum yang mengatur tentang orang
sebagai subjek hukum.
Dari pengertian di atas merujuk hukum orang dari aspek
ruang lingkupnya, yang meliputi peraturan tentang manusia, subjek hukum,
kecakapan hukum, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
B.
ASPEK – ASPEK HUKUM PERORANGAN
Hukum Perorangan adalah yang memuat kaidah-kaidah
hukum yang mengatur :
1.
Subjek Hukum;
2. Cakap Hukum
dan Wewenang;
3. Pencatatan
Sipil;
4.
Tempat Kediaman.
Orang
(pribadi) dalam hukum disebut sebagai subjek hukum, subjek hukum artinya setiap
pendukung hak dan kewajiban.
1)
Subjek Hukum
Didalam
buku I KUH Perdata yang disebut subjek hukum ialah hanya orang yang disebut
pribadi kodrat tidak termasuk badan hukum yang disebut dengan pribadi hukum.
namun dalam perkembangan selanjutnya badan hukum tidak dimasukkan menjadi
subjek hukum yang diatur dalam kitab undang-undang hukum dagang, sehingga
subjek hukum itu meliputi :
a. Orang
disebut pribadi kodrati
b. Badan hukum disebut pribadi hukum
Orang sebagai subjek hukum mulai sejak
lahir hingga meninggal dunia. Namun ada pengecualian yaitu sebagai perluasan
yang diatur dalam pasal 2 KUHperdata yang mengatakan : “bayi yang masih berada
dalam kandungan ibunya dianggap telah dilahirkan hidup apabila ada kepentingan
bayi itu yang menghendaki”. Jadi walaupun anak itu belum lahir dapat dianggap
sebagai subjek hukum. terhadap asas ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
a.
Anak telah dibenihkan pada saat timbul kepentingan
anak.
b. Anak dilahirkan hidup pada saat dilahirkan
walaupun sekejap dan meninggal.
c.
Ada kepentingan
anak yang menghendaki bahwa anak dianggap telah lahir.
Badan hukum adalah
subyek hukum dalam arti yuridis, sebagai gejala dalam hidup bermasyarakat,
sebagai badan ciptaan manusia berdasarkan hukum, mempunyai hak dan kewajiban
seperti manusia pribadi.Secara prinspil badan hukum berbeda dengan Manusia
pribadi. Perbedaan tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut:
a. Manusia pribadi adalah mahluk
hidup cipataan Tuhan kehendak,mempunyai akal, perasaan, kehendak, dan dapat
mati.Sedangkan badan hukum adalah badan ciptaan manusia pribadi berdasarkan
hukum, dapat dibudarkan oleh pembentukannya.
b. Manusia pribadi mempunyai
kelamin, sehingga ia dapat kawin,dapat beranak. Sedangkan, badan hukum tidak.
c. Manusia
pribadi dapat menjadi ahli waris, sedangkan badan hukum tidak.
Klasifikasi
badan hukum
Badan hukum dapat diklasifikasikan menjadi dua macam
yaitu :
a. Badan hukum
publik (kenegaraan), yaitu badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah, diberi
wewenang menurut hukum publik, misalnya departemen, Pemerintahan, propinsi,
lembaga-lembaga negara seperti MPR, DPR, Mahkamah Agung R.I. dan sebagainya.
b. Badan hukum
privat (keperadatan), yaitu badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah atau
swasta,diberi wewenang menurut hukum perdata. Badan hukum keperadatan ini
mempunyai bermacam ragam tujuan keperadatan.
Menurut ketentuan pasal 1653 KUHPerdata ada tiga
macam klasifikasi badan hukum berdasarkan eksistensinya, yaitu :
a. Badan hukum
yang dibentuk oleh pemerintah (penguasa), seperti badan-badan
pemerintahan,perusahaan-perusahaan negara.
b. Badan hukum
yang diakui oleh pemerintah (penguasa), seperti perseroan terbatas,koperasi.
c. Badan
hukum yang diperbolehkan atau untuk suatu tujuan tertentu yang bersifat ideal,
seperti yayasan (pendidikan, sosial, keagamaan, dan lain-lain).
Syarat-syarat
pembentukan badan hukum
Dalam hukum perdata tidak ada
ketentuan yang mengatur tentang syarat-syarat material pembentukan badan hukum.
Yang ada adalah syarat formal, yaitu harus dengan akta notaris. Karena tidak
ada ketentun demikian, maka menurut Prof. Meyers (1948) doktrin ilmu hukum
menetapkan syarat-syarat itu adalah :
a. Ada
harta kekayaan sendiri
b. Ada
tujuan tertentu
c. Ada
kepentingan sendiri
d. Ada
organisasi yang teratur
2) Cakap Hukum dan Kewenangan
Menurut hukum
manusia pribadi (natuudlijk person) mempunyai hak dan kewajiban, akan tetapi
tidak selalu cakap hukum (rechtsbekwaam) untuk melakukan perbuatan hukum. Tidak cakap
melakukan perbuatan hukum berdasarkan Pasal 1330 KUH perdata tentang orang yang
tidak cakap untuk membuat perjanjian, yaitu :
1. Orang-orang
yang belum dewasa (belum mencapai usia 21 tahun).
2. Orang
ditaruh dibawah pengampuan (curatele) yang terjadi karena gangguan jiwa pemabuk atau pemboros.
3. Kurang
cerdas.
4. Sakit
ingatan.
5. Orang wanita
dalam perkawinan yang berstatus sebagai istri.
6. Badan Hukum
( Rechts Person )
3) Catatan Sipil
Catatan sipil adalah suatu lembaga
yang bertujuan mengadakan pendaftaran, pencatatan, serta pembukuan yang
selengkap-lengkapnyadan sejelas-jelasnya serta memberi memberi kepastian hukum
yang sebesar-besarnya atas peristiwa kelahiran, pengakuan, perkawinan, dan
kematian. Jadi dari pengertian diatas terdapat 4 registrasi catatan sipil,
yaitu:
a.
Kelahiran
b.
Pengakuan
c.
Perkawinan
d. Pernikahan
Sedangkan berdasarkan pasal 4 KUH Perdata
terdapat enam jenis registrasi catatan sipil, yaitu:
a. kelahiran;
b.
pemberitahuan kawin;
c.
izin kawin;
d.
perkawinan;
e.
perceraian; dan
f. kematian.
Jenis-jenis
Catatan Sipil
Berdasarkan Keputusan Menteri
Dalam Negeri No. 54 Tahun 1983 tentang
Organisasi dan Tata Kerja kantor Catatan Sipil
Kabupaten / Kota Madya, ada lima jenis akta catatan sipil, yaitu:
1. Akta
Kelahiran adalah akta yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, yang
berkaitan dengan adanya kelahiran. Akta ini bermanfaat untuk memudahkan
pembuktian dalam hal kewarisan, persyaratan untuk diterima di lembaga
pendidikan dan persyaratan bagi seseorang untuk masuk sebagai pegawai negeri.
2.
Akta Perkawinan adalah akta yang dikeluarkan oleh
pejabat yang berwenan, yang berkaitan dengan adanya perkawinan. Pejabat yang
berwenang mengeluarkan akta perkawinan meliputi:
1) Kepala KUA
bagi yang beragama Islam.
2) Kepala
Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama non Islam.
3.
Akta Perceraian adalah akta yang diterbitkan oleh
pejabat yang berwenang setelah adanya putusan pengadilan. Pejabat yang
berwenang untuk menerbitkan akta perceraian bagi yang beragama Islam adalah
panitera pengadilan agama atas nama ketua pengadilan, dan bagi orang non-Islam
adalah kantor Catatan Sipil.
4.
Akta Pengakuan dan Pengesahan Anak adalah akta
yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang, yang berkaitan dengan pengakuan
dan pengesahan terhadap anak luar kawin.
5. Akta
Kematian: akta yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang, yang
berkaitan dengan meninggalnya seseorang.
Dari keterangan di atas, bahwa
catatan sipil sangat berguna dan memberikan manfaat basar bagi kita, baik
sebagai penentuan status, alat bukti yang kuat dan sempurna, dan lain-lain.
4) Tempat Kediaman
(Domisili)
Setiap orang maupun badan hukum
menurut hukum, harus mempunyai tempat tinggal yang jelas keberadaannya yang dapat dicari, tempat tersebut
yang disebut domisili.
Dalam pengetian yuridis, tempat
tinggal (domisili) adalah tempat seseorang harus dianggap selalu hadir dalam
hubungannya dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban, juga pada suatu
waktu ia benar-benar tidak dapat hadir ditempat tersebut.
Tempat tinggal sangat diperlukan
untuk beberapa hal, misalnya: di mana seseorang harus kawin, dimana seseorang
harus dipanggil dan ditarik di muka hakim. Pengadilan mana yang berkuasa
terhadap seseorang dan sebagainya. Biasanya orang mempunyai tempat tinggal di
tempat kediaman pokok. Tetapi bagi orang yang tidak mempunyai tempat kediaman
tertentu, tempat tinggalnya dianggap berada di tempat ia benar-benar berada.
Sebagai contoh, seorang warga
Inggris, bertempat tinggal di Negara A, dan melangsungkan pernikahan dengan
warga negara Inggris lain yang bertempat tinggal di negara B. Karena mereka
berkewarganegaraan yang sama sebetulnya tidak menimbulkan permasalahan karena
kewarganegaraan. Tapi karena tempat tinggal mereka berbeda timbul permasalah.
Karena misalnya untuk orang Inggris itu ada ketentuan dalam HPI Inggris, kalau
sudah bertempat tinggal di suatu negara, ia dianggap oleh HPI Inggris tunduk
pada hukum perkawinan dari negeri tempat tinggalnya yang baru.
Macam-macam
Tempat Tinggal (Domisili)
Domisili dapat dibedakan menurut
sistem hukum yang yang mengaturnya, yaitu menurut Common Law dan
hukum Eropa Continental.
Dalam Common
Law tempat tinggal dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
a) Domisili of
origin, yaitu tempat tinggal seseorang ditentukan oleh tempat asal seseorang
sebagai tempat kelahiran ayahnya yang sah;
b)
Domicili of origin of dependence, yaitu tempat tinggal
yang ditentukan oleh tempat tinggal ayah bagi anak yang belum dewasa, tempat
tinggal ibu bagi anak yang belum sah, dan bagi istri ditentukan oleh tempat
tinggal suaminya;
c) Domicili of
choice, yaitu tempat tinggal yang ditentukan oleh pilihan seseorang yang
telah dewasa, di samping tindak tanduk sehari-hari.
Adapun menurut hukum Eropa Kontinental,
termasuk juga KUH Perdata dan NBW [BW baru] negeri Belanda, tempat tinggal dibedakan
menjadi dua mcam, yaitu:
a) Ttinggal
sesungguhnya, yaitu tempat melakukan perbuatan hukum pada umumnya, baik itu
tempat tinggal mandiri maupun tempat tinggal wajib;
b) Tempat
tinggal yang dipilih, yaitu apabila ada dua orang yang mengadakan suatu
perjanjian (perdagangan) dengan memilih tempat tinggal di kantor seorang
notaris atau kantor Kepaniteraan Pengadilan.
Mengenai tempat tinggal ini,
beberapa sarjana yang berpendapat, bahwasanya tempat tinggal itu terdiri dari:
1. Tempat
tinggal sesungguhnya, yang terdiri dari:
·
Sukarela/berdiri sendiri, yaitu tempat tinggal
seseorang yang keberadaanya tidak terikat pada pihak lain/sesuai dengan
keinginan sendiri.
·
Wajib/lanjutan, yaitu tempat tinggal yang tergantung
pada hubungan dengan pihak lain.
2.
Tempat tinggal yang dipilih, yaitu tempat
tinggal uang ditunjuk sebagai tempat tinggal oleh suatu pihak atau banyak pihak
untuk melakukan perbuatan tertentu.
3.
Rumah kematian, ini meruakan domisili
terakhir yang penting untuk mengadili misalnya tentang waris, piutang.
C.
HUKUM PERKAWINAN
1.
Arti dan syarat-syarat untuk perkawinan
Perkawinan, ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan
seseorang lelaki dan seorang perempuanuntuk waktu yang lama. Undang-undang memanang perkawinan hanya dari
hubungan keperdataan, demikian pasal 26 Burgerlijk Wetboek. Pasal tersebut
hendak menyatakan, bahwa suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang
memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
(Burgelijk Wetboek) dan syarat-syarat serta peraturan agama dikesampingkan.
Suatu asas lagi dari B.W, ialah polygami dilarang. Larangan ini termasuk
ketertiban umum, artinya bila dilanggar selalu diancam dengan pembatalan
perkawinan yang dilangsungkan itu.
Dalam Pasal 1 UU No. 1 tahun 1974
disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membetuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Unsur-unsur yang harus dipenusi dalam
pasal 1 ini ialah;
1.
Ikatan lahir dan batin;
2.
Dapat dilakukan antara pria dan wanita;
3.
Membentuk suatu keluarga (yang bahagia dan
persifat kekal)
4.
Syarat-syarat untuk dapat sah nya perkawinan terdapat dalam Pasal
6-12 UU Perkawinan,diantaranya:
1. Adanya persetujuan dari kedua mempelai (Pasal 6:1);
2.
Adanya izin dari orang tua/wali bagi yang
belum berusia 21 tahun (Pasal 6:2-6);
3.
Usia laki-laik 19 tahun dan perempuan 16
tahun (Pasal 7:1)
4.
Antara kedua calon mempelai tidak dalam
hubungan darah (Pasal 8);
5.
Tidak berada dalam ikatan perkawinan
dengan pihak lain (Pasal3:2 dan Pasal 4);
6.
Bagi suami istri yang telah bercerai,
kawin lagi, dan bercerai kedua kalinya dilarang untuk menikah lagi kecuali agama
menentukan lain (Pasal 10);
7. Tidak berada dalam waktu tunggu calon mempelai yang janda.
Tentang
hal larangan untuk kawin dapat diterangkan, bahwa seorang tidak diperbolehkan
kawin dengan saudaranya, meskipun saudara tiri; seorang tidak diperbolehkan
kawin dengan iparnya; seorang paman dilarang kawin dengan keponakan nya dan
sebagainya.
Tentang
hal izin dapat diterangkan bahwa
kedua orang tua harus memberi izin, atau ada kata sepakat antara ayah dan ibu
masing-masing pihak. Jikalau ada wali, wali ini pun harus memberikan izin, dan
kalau wali ini sendiri hendak kawin dengan anak yang dibawah pengawasannya,
harus ada izin dari wali pengawas (toeziende
voogd). Kalau kedua orang tua sudah meninggal, yang memberi izin ialah
kakek nenek, baik pihak ayah maupun pihak ibu, sedang izin wali masih pula
tetap diperlukan.
Untuk
anak-anak yang lahir diluar perkawinan, tetapi diakui oleh orang tua nya,
berlaku pokok auran yang sama dengan pemberian izin, kecuali jikalau tidak
terdapat kata sepakat antara kedua orang tua, hakim dapat diminta campur
tangan, dan kakek nenek tidak menggantikan orang tua dalam hal memberikan izin.
Untuk
anak yang sudah dewasa, tetapi belum berumur 30 tahun masih juga diperlukan
izin orang tuanya. Tetapi kalau mereka ini tidak mau memberi izinnya, anak
dapat meminta nya dengan perantara hakim. Dalam waktu tiga minggu, hakim akan
memanggil orang tua dan anak untuk didengar dalam sidang tertutup. Jikalau
orangtua tidak datang menghadap, perkawinan baru dapat dilangsungkan setelah
lewat tiga bulan.
Tetapi dalam hal ini, sebelum perkawinan
dilangsungkan, harus dilakukan terlebih dahulu:
a.
Pemberitahuan (aangfite) tentang kehendak
akan kawin kepada pedawai pencatatan sipil (Ambtenaar
Burgelijk Stand), yaitu pegawai yang nantinya akan melangsungkan
pernikahan;
b.
Pengumuman (afkondinging) oleh pegawai
tersebut, tentang akan dilangsungkan pernikahan itu.
Dalam hal perkawinan ini, dapat
menimbulkan Empat akibat hukum atas perkawinan menurut hukum perdata, yaitu;
1. Akibat hukum bagi suami-istri itu sendiri, misalnya adanya hak dan
kewajiban bagi keduanya;
2.
Akibat hukum terhadap harta kekayaan
suami-istri itu sendiri, yaitu hak atas harta benda di dalam perkawinan;
3.
Akibat hukum yang berlaku terhadap
keturunan;
4.
Akibat hukum bagi pihak ketiga.
2.
Hak dan
Kewajiban Suami-Isteri
Suami-isteri
harus setia satu sama lain, bantu membantu, berdiam bersama-sama, saling
memberikan nafkah dan bersama-sama mendidik anak. Perkawinan oleh undang-undang
dipandang sebagai suatu “perkumpulan” (echtvereniging).
Suami ditetapkan sebagai kepala atau pengurusnya, suami mengurus kekayan
isteri, menentukan tempat kediaman bersama, melakukan kekuasan orang tua dan
selanjutnya memberikan bantuan (bijstand)
kepada isteri dalam hal melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Kekuasaan seorang
suami didalam perkawinan itu dinamakan ‘maritale macht” yang berasal dari bahasa
prancis ‘mari=suami’.
Pasal 105
ayat 5 B.W, menyatakan bahwa ‘suami tidak diperbolehkan menjual atau
menggadaikan benda-benda yang tak berderang kepunyaan isteri tanpa izin dari
isteri’.
Pasal 104,
membuka kemungkinan bagi isteri untuk (sebelum melangsungkan pernikahan)
mengadakan perjanjian bahwa ia berhak untuk mengurus sendiri kekayaannya. Juga
dengan “pemisahan kekayan” (‘scheiding
van goederen’) atau dengan ‘pemisahan meja dan tempat tidur” isteri dengan
sendirinya memperoleh kembali haknya untuk mengurus kekayaan sendiri.
Jikalau
suami memberikan bantuan (bijstand),
suami-isteri itu tidak berhak bersama-sama; isteri untuk dirinya sendiri dan
suami untuk membatu isterinya. Jadi mereka bersama-sama, misalnya pergi ke
notaris atau menghaap hakim. Menurut pasal 108 bantuan itu dapat diganti dengan
suati persetujuan tertulis. Perkataan acte dalam pasal 108 tersebut, melainkan
berarti ‘perbuatan hukum”. “acte” =
“perbuatan” berasal dari bahasa Prancis.
Ketidak
cakapan seorang isteri itu, didalam hukum perjanjian dinyatakan secara tegas
(pasal 1330); seorang perempuan yang telah kawin dipersamakan dengan seorang
yang berada di bawah curatele atau seorang yang belum dewasa. Mereka ini
semuanya dinyatakan “tidak cakap” untuk membuat suatu perja njian.
Perbedaannya, seorang isteri bertindak sendiri (meskipun didampingi oleh suami
atau dikuasakan), sedangkan orang yang belum dewasa atau seorang curandus tidak
pernah tampil kemuka dan selalu di wakili oleh orang tua, wali atau kuator. Ketidak cakapan seorang isteri, hanyalah
mengenai perbuatan-perbuatan hukum yang terletak dilapangan hukum kekayaan dan
yang mungiin membawa akibat-akibat bagi kekayaan isteri itu sendiri. Karena
itu, mengakui seorang anak yang lahir diluar perkawinan atau memintakan
curatela terhadap ayahnya ia dapat lakukan sendiri dengan tak usah dibantu oleh
suami, begitu pula sebagai wali atau curatrice ata sebagai directrice suatu
N.V. ia dapat bertindak sendiri.
Mengenai
ketentuan bahwa seorang isteri harus dibantu pleh suaminya, ada beberapa
pengecualian berdasarkan anggapan untuk perbuatan-perbuatan itu isteri telah
mendapat persetujuan dari suamunya (verondestelde
machtinging). Yang dimaksudkan disini
ialah perbuatan-perbuatan isteri untuk kepentingan rumah tangga dan apabila
isteri mempunyai pekerjaan sendiri. Bantuan suami juga tidak diperlukan apabila
isteri di tuntut didepan hakim dalam perkara pidana, begitu pula apabila isteri
mengajukan gugatan terhadap suaminya untuk mendapatkan perceraian atau
pemisahan kekayaan, atau ia sendiri di gugat oleh suaminya untuk mendapat
perceraian.
Namun
peraturan tentang ketidak cakapan seorang isteri sekarang dianggap tidak
berlaku lagi oleh Mahkamah Agung. Karena pasal 108 B.W dianggap tiidak
diperlukan karena sudah adanya pasal 31 ayat 1 yang mengatakan bahwa
suami-isteri masing-masing berhak melakukan perbuatan hukum.
Akibat-akibat perkawina, yaitu;
a. Anak-anak
yang lahir dari perkawinan, adalah anak yang sah (wetting0;
b. Suami
menjadi waris dari isteri juga sebaliknya, apabila salah satu meninggal dalam
perkawinan;
c. Oleh
undang-undang dilarang jual-beli antar suami dan isteri;
d. Perjanjian
perburuhan antara suami dan isteri tak dibolehkan;
e. Pemberian
benda-benda atas nama tak diperbolehkan antar suami dan isteri;
f. Suami tak di
perbolehkan menjadi saksi di dalam suatu perkara isterinya dan sebaliknya; dan
g. Suami tak
dapat dituntut tentang beberapa kejahatan terhadap isterinya dan begitupula
sebaliknya (misalnya pencurian).
3.
Percampuran
kekayaan
Percampuran
kekayaan antar suami dan isteri (algehele
gemeenschap van goederen) dimulai
sejak terjadinya perkawinan jikalau tidak di adakan perjanjian apa-apa dan
berangsung seterusnya dan tidak dapat diubah selama perkawinan. Terkecuali
diadakan ‘perjanjian perkawinan’ yang
dimana perjanjian perkawinan ini dapat dilakukan sebelum berlangsung nya
perkawinan dan diletakan dalam suatu akte notaris. Keadaan dalam perjanjian itu
tidak dapat diubah selama perkawinan. Undang-undang menghendaki supaya keadaan
kekayaan dalam suatu perkawianan iti tetap, karen untuk melindungi kepentingan
orang ketiga.
Percampuran kekayaan, adalah mengenai seluruh aktivitas dan passiva
baik yang diubah oleh masing-masing pihak kedalam perkawinan maupun yang akan
diperoleh di kemudian hari selama perkawinan. Kekayaan bersama /gemeenschap.
Hak mengurus
kekayaan bersama berada ditangan suami, yang dalam hal ini mempumyai kekuasaan
yang sangat luas. Dijelaskan dalam pasal 124 ayat 3. Terhadap kekuasaan suami
yang sangat luas itu, kepada isteri hanya diberikan hak untuk apabila suami
melakukan pengurusan yang sangat buru (‘wanbeheer’)
isteri dapat meminta kepada hakim supaya diadakan “pemisahan kekayaan”, atau
kalau suami mengobralkan kekayaannya dapat dimintakan curatele. Isteri juga
diberikan hak untuk melepaskan haknya atas kekayaan bersama (‘afstand doen van de gemeenschap’), apabila
perkawinan dipecahkan. Yang bertujuan untuk menghindarkan diri dari penagihan
hutang-hutang gemeenschap/ hutang bersama.
Pasal 140
ayat 3, mengizinkan untuk memperjanjikan didalam perjanjian perkawinaan, bahwa
suami tak diperbolehkan menjual atau menggadaikan benda-benda atas nama
yang jatuh dalam gemeenschap dari pihak
isteri dengan tiada izin isteri. Namun suami dapat pula mencabut perizinan yang
dianggap telah ia berikan (veronderstelde
machtinging) mengenai pembelian-pembelian untuk rumah tangga dan mengenai
pekerjaan (eigen beroep) dari isteri.
Tanggung jawab terhadap hutang-hutang
Untuk
menetapkan tanggung jawab mengenai sesuatu hutang haruslah ditetapkan lebih
dahulu, apakah hutang itu bersifat prive ataukah suatu hutang untuk keperluan
bersama. Untuk suatu hutang prive harus dituntut suami atau yang membuat hutang
tersebut, dang yang harus disita pertama-tama adalah benda prive. Apabila tidak
ada benda prive atau ada tetapi tidak mencukupi, maka dapatlah disita pula
benda bersamanya. Akan tetapi jika suamu yang membuat hutang benda prive isteri
tak dapat disita, dan begitupula sebaliknya. Mengenai hutang gemeenschap,
undang-undak merumuskan bahwasanya suami selau dapat dipertanggung jawabkan
untuk hutang-hutang gemeenschap yang diperbuat oleh isterinya, tetapi isteri
tak dapat dipertanggung jawabkan untuk hutang-hutang gemeenschap yang diperbuat
suami.
Gemeenschap
itu berakhir dengan berakhirnya pula perkawinan, yaitu;
a)
Dengan matinya salah satu pihak,
b)
Degan perceraian,
c)
Dengan perkawinan baru sang isteri, setelah ia
mendapat izin hakim, yaitu apabila suami bepergian sampai sebuluh tahun lamanya
tanpa deketahui alamatnya,
d)
Diadakan “pemisahaan kekayaan’, dan
e)
Perpisahan meja dan tempat tidur.
Mengenai apabila halnya gemeenschap
itu telah dihapuskan maka pertanggung jawaban atas hutang-hutang gemeenschap,
adalah sebagai berikut;
1)
Masing-masing tetap bertanggung jawab tentang
hutang-hutang yang telah dibuatnya.
2)
Disamping itu suami masih dapat dituntut pula tentang
hutang-hutang yang telah dibuat oleh isteri.
3)
Isteri dapat dituntut untuk separuh tentang hutang-hutang
yang telah diperbuat oleh suami.
4)
Sehabis diadakan pembaian, tak dapat lagi dituntut
tentang hutang yang dinuat oleh yang lain sebelum perkawinan.
4.
Perjanjian
perkawinan (huwelijksvoorwaarden)
Perjanjian
perkawinan ini menurut undnag-undang harus diadakan sebelum perkawinan
dilagsunhkan dan harus diletakkan dalam suatu akte notaris. Mengenai bentukndan
isi perjanjian tersebut, kedua belah
pihak diberi kemerdekaan seluas-luasnya asalakan tidak bertentangan degan apa
yang dicantumkn dalam aturan undang-undang.
Suatu
perjanjia perkawinan misalnya, hanya dapat menyingkirkan suatu benda saja
(misalnya rumah) dari percampuran kekayaan, tetapi dapat juga menyingkirkan
segala percampuran. Undang-undang menyebutkan dua contoh perjanjia yang banyak
terpakai, yaitu ”perjanjian laba rugi”
dan “perjanjian percampuran penghasilan”.
Pada umumnya
orang yang masih dibawah umur (-21 tahun), tidak diperbolehkan bertindak
sendiri dan harus diwakili orang tuanya atau walinya. Tetapi dalam melakjukan
perjanjian perkawinan orang yang belum mencapai umur 21 tahun dapat melakukan
perjanjian dengan bantuan orang tua atau orang-orang yang diharuskan memberi
izinkepadanya untuk kawin.
Perjanjian
mulai berlaku antara suami-isteri, pada
saat pernikahan ditutup didepan pegawai pencatatan sipil dan mulai berlaku
terhadap pihak-pihak ketiga sejak hari pendaftarannya dikepaniteraan pengadilan
negeri setempat dimana pernikahan telah dilangsungkan.
perjanjian laba rugi, menurut undang-undang yang termasuk “laba” (“winst”) ialah segala kemajuan kekayaan yang timbul dari
benda, pekerjaan dan kerajinan masing-masing (pasal 157). Dan yang termasuk “rugi” {“verlies”) ialah semua hutang yang mengena suami-isteri bersama dan diperbuat selama
perkawinan.
5.
Perceraian
Perceraian
ialah penghapusan perkawinan dengan
putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.
Perceraian
tidak diperbolehkan oleh undang-undang
jika bercerai atas pemufakatan. Ada empat alasan sah yang harus
diberikan suami-isteri yang akan melangsungkan perceraian, yang dicantum kan
undang-undang agar perceraian tersebut
dapat dilakukan, yaitu;
a)
Zinah (overspel);
b)
Ditinggalkan dengan sengaja (kwaadwillige verlating);
c)
Penghukuman yang melebihi 5 tahun karena persalahkan
melakukan suatu kejahatan; dan
d)
Penganiayaan berat atau membahayakan jiwa (pasal 209
B.W).
Undang-ndang
perkawinan menambahkan dua alasan, yaitu;
a)
Salah satu pihak mendapat cacd badan/penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
b)
Antara suami-isteri terus-menerus terjadi
perselisihan/pertengkaran dan tidk ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga (pasal 19 PP 9/1975).
Tuntutan untuk mendapat perceraian
diajukan kepada hakim secara gugat biasa dalam perkara perdata, tetapi harus
didahului dengan meminta izin kepada kepala pengadilan negeri untuk menggugat.
Sebelum izin diberikan, hakim harus lebih dahulu mengadakan pecobaan untuk
mendamaikan kedua belah pihak (verzoeningscomparitie).
6.
Pemisahan
kekayaan
Untuk
melindungi isteri terhadap kekuasan suami yang sangat luas atas kekayaan
bersama serta kekayaan pribadi isteri, undang-undang memberikan pada isteri
suatu hak untuk meminta pada hakim supaya diadakan pemisahan kekayaan dengan
tetap berlangsungnya perkawinan.
Pemisahan
kekayaan dapat diminta oleh isteri, apabila;
a)
Suami dengan kelakuan yang nyata-nyata tidak baik,
mengorbankan kekayan bersama dan membahayakan keluarga;
b)
Suami melakukan pengurusan yang buruk terhadap
kekuasaan isteri, hingga ada kekhawatiran kekayaan ini akan menjadi habis;
c)
Suami mengobralkan kekayaan sendiri, hingga istri akan
kehilangan tangguan yang oleh undang-undang diberikan padanya atas kekayaan
tersebut karena pengurusan yang dilkukan oleh suami terhadap kekayaan
isterinya.
Gugatan untuk mendapatkan pemisahan
kekayaan harus diumumkan dahulu sebelum diperiksa dan diputuskan oleh hakim,
putusan hakim itu pun harus diumumkan.
Pemisahan
kekayaan dapat diakhiri atas persetujuan kedua belah pihak dengan meletakkan
persetujuan itu dalam suatu akte notaris, yang harus diumumkan sama seperti
yang ditentukan untuk pengumuman putusan hakim
dalam mengadakan pemisahan itu.
D.
HUKUM
KELUARGA
1.
Keturunan
Seorang anak
sah (wetting kind) ialah anak yang dianggap lahir dari perkawinaan yang sah
antara ayah dan ibunya. Kepastian seorang anak sungguh-sungguh anak ayahnya
tentunya sukar didapat.
Sehubungan
dengan itu oleh undang-undang ditetapkan suatu tenggang kandungan yang paling
lama, yaitu 300 hari dan suatu tenggang
kandungan yang paling pendek, yaitu 180 hari. Seorang anak yang lahir 300 hari
setelah perkawinan orang tuanya dihapuskan, adalah anak yang tidak sah.
Pembuktian
keturunan harus dilakukan dengan surat kelahiran yang diberikan oleh pegawai
pencatatan sipil, jika tidak mungkin didapatkan surat kelahiran, hakim dapat
memakai bukti-bukti lain asal saja keadaan yang nampak keluarr, menunjukan
adanya hubungan seperti antara anak dan orang tuanya.
Anak yang
lahir diluar perkawinan dinamakan ‘natuurlijkkind”
munurut B.W ia dapat diakui atau tidak diakui oleh
ayah ibunya dengan adanya pengakuan. Undang-undang tidak membolehkan pengakuan
terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perzinahan (“overspel”) atau yang
dilahirkan dari hubungan gelap antar dua orang yang dilarang kawin satun sama
lain.
2.
Kekuasaan
orang tua (ouderlijke macht)
seorang anak
yang sah sampai pada waktu ia mencapai usia dewasa atau kawin, berada di bawah
kekuasaan orang tuanya (ouderlijke macht)
selama kedua orangh tua itu terikat dalam hubungan perkawinan. Dengan demikian
kekuasaan orang tua mulai berlaku sejak anak dilahirkan atu sejak pengesahaan
dan berakhir pada waktu anak itu menjadi dewasa atau kawin, atau pada waktu
perkawinan orang tuanya dihapuskan.
3.
Perwalian (Voogdij)
Perwalian
(voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang dibawah umur, yang tidak berada
dibawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut
di atur oleh undang-undang.
Anak yang
berada dibawah perwalian adalah;
a)
Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut
kekuasaannya sebagai orang tuanya;
b)
Anak sah yang orang tuanya telah becerai;
c)
Anak yang lahir diluar perkawinan (natuurlijk kind).
Pada umumnya dalam tiap perwalian,
hanya ada seorang wali saja. Kecuali, apabila seorang wali-ibu (moedervoogdes) kawin lagi, dalam halmana
suaminya menjadi medevoogd.
4.
Pendewasaan
(handlichtingi)
Pendewasaan/handlichting
adalah suatu pernyataan tentang seseorang yang belum mencapai usia dewasa
sepenuhnya atau hanya untuk beberapa hal saja dipersamakan dengan seorang yang
sudah dewasa. Permohonan untuk dipersamakan sepenuhnya dengan seorang yang
sudah dewasa, dapat diajukan oleh seorang anak yang sudah mencapai umur 20
tahun kepada presiden, dengan melampikan surat kelahiran atau lain-lain bukti
yang menyatakan ia telah mencapai umur tersebut.
5.
Pengampuan (curatele)
Pengampuan
adalah keadaan dimana seseorang (curadus) karena sifat pribadinya dianggap
tidak cakap dalam lalu lintas hukum/perbuatan hukum.
Jadi dapat
dikatakan pengampuan, atas dasar keputusan hakim seseorang dianggap tidak cakap
bertidak sendri. Terdapat dalam pasal
433 KUHPER.
Kedudukan
seorang yang telah ditaruh dibawah curatele, sama seperti seorang yang belum
dewasa. Pengampuan berlaku terus sampai adanya putusan hakim yang mencabutnya,
atau sebab-sebabnya telah hilang.
6.
Orang yang
hilang
Jikalau
seseorang meninggalkan tempat tinggalnya dengan tidak memberi kuasa pada
seseorang untuk menurus kepentingan-kepentingannya, sedangkan
kepentingan-kepentingan-kepentingan itu harus diurus atau orang itu harus
diwakili, maka atas kepentingan orang yag berkepentingan ataupun atas
permintaan jaksa, hakim harus sementara memerintahkan Balai Harta Peninggalan
untuk mengurus kepentingan-kepentingan
yang bepergian itu dan dimanapun perlu mewakili orang itu, jika kekayaan
orang yang bepergian itu tidak begitu besar, maka pengurusannya cukup
diserahkan saja kepada anggota-anggota keluarga yang ditunjuk oleh hakim. Jika
sudah lewat lima tahun dari ahri ia meninggalkan tempat tinggalnya, orang yang
berkepentingan dapat meminta surat keterangan bahwa orang tersebut dianggap
meninggal kepada hakim.
KUH PERDATA
BUKU I
TENTANG
HUKUM ORANG
Buku pertama mengatur tentang orang
sebagai subyek hukum, hukum perkawinan dan hukum keluarga, termasuk waris.
KUHPerdata Buku I memuat sebagai berikut :
Bab I - Tentang menikmati dan kehilangan hak-hak kewargaan
Bab II - Tentang akta-akta catatan sipi
Bab III - Tentang tempat tinggal atau domisili
Bab IV - Tentang perkawinan
Bab V - Tentang hak dan kewajiban suami-istri
Bab VI - Tentang harta-bersama menurut undang-undang dan pengurusannya
Bab VII - Tentang perjanjian kawin
Bab VIII - Tentang gabungan harta-bersama atau perjanjian kawin pada
perkawinan kedua atau selanjutnya
Bab IX - Tentang pemisahan harta-benda
Bab X - Tentang pembubaran perkawinan
Bab XI - Tentang pisah meja dan ranjang
Bab XII - Tentang keayahan dan asal keturunan anak-anak
Bab XIII - Tentang kekeluargaan sedarah dan semenda
Bab XIV - Tentang kekuasaan orang tua
Bab XIVA - Tentang penentuan, perubaran dan pencabutan tunjangan nafkah
Bab XV - Tentang kebelumdewasaan dan perwalian
Bab XVI - Tentang pendewasaan
Bab XVII - Tentang pengampuan
Bab XVIII - Tentang ketidakhadiran
BUKU II PERIHAL BENDA (VANZAKEN)
A. PENGERTIAN BENDA
Pengertian benda
secara hukum dapat kita lihat dalam Pasal 499 KUHPerdata yang berbunyi sebagai
berikut: “Menurut paham Undang-undang
yang dinamakan kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat
dikuasai oleh hak milik”. Didalam KUHPerdata dapat ditemukan dua istilah
yaitu benda (zaak) yaitu segala
sesuatu yang dapat menjadi objek hak milik dapat diperjualbelikan, diwariskan,
dan dapat diperalihkan kepada pihak lain. dan barang (goed).
Pada umumnya
yang diartikan dengan benda baik itu berupa benda yang berwujud, bagian kekayaan,
ataupun yang berupa hak ialah segala sesuatu yang dapat dikuasai manusia dan
dapat dijadikan obyek hukum. Jadi untuk dapat menjadi obyek hukum ada syarat
yang harus dipenuhi yaitu penguasaan manusia dan mempunyai nilai ekonomi dan
karena itu dapat dijadikan sebagai obyek hukum. Selain daripada itu di dalam
KUHPerdata terdapat istilah Zaak yang tidak berarti benda tetapi dipakai untuk
arti yang lain, yaitu misalnya:
a. Pasal 1792
KUHPerdata:
Lastgeving ialah suatu perjanjian yang disitu seseorang memberikan kuasa kepada
seorang lain danorang ini menerimanya untuk melakukan suatu zaak lastgever itu
(Zaak disini berarti perbuatan hukum.
b. Pasal 1354
KUHperdata:
apabila seseorang dengan sukarela tanpa mendapat pesanan untuk itu untuk
menyelenggarakan zaak seorang lain dengan atau tanpa diketahui orang lain dan
sebagainya (Zaak disini berarti kepentingan)
c. .Pasal
1263 KUHPerdata : perutangan dengan syarat menunda ialah perutangan
yang tergantung daripada suatu kejadian yang akan datang dan tidak pasti atau
daripada suatu zaak yang sudah terjadi tetapi belum diketahui oleh para pihak
(Zaak disini mempunyai arti kenyataan hukum).
Sistem
pengaturan hukum benda yaitu tertutup artinya orang tidak dapat mengadakan hak keandaan
baru selain yang sudah ditetapkan undang-undang.
B. DASAR HUKUM
Pada masa kini,
selain diatur di Buku II BW, hukum benda juga diatur dalam;
1)
Undang Undang Pokok Agraria No.5 Tahun
1960, dimana diatur hak hak kebendaan yang berkaitan dengan bumi, air dan
kekayaan yang terkandung didalamnya. Dengan berlakunya UUPA ini maka berlakunya
pasal-pasal dalam Buku II KUHPerdata dapat dirinci sebagai berikut:
a) Pasal-pasal
yang masih berlaku penuh.
b) Pasal-pasal
yang tidak berlaku lagi, yaitu pasal-pasal yang mengatur tentang
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
c) Pasal-pasal
yang masih berlaku tetapi tidak penuh, dalam arti bahwa ketentuan-ketentuannya
tidak berlaku sepanjang mengenai bumi,air an kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dan masih berlaku sepanjang mengenai benda-benda lainnya.
2)
Undang Undang Merek No.21 Tahun 1961, yang mengatur tentang hak
atas penggunaan merek perusahaan dan merek perniagaan .
3)
Undang Undang Hak Cipta No.6 Tahun 1982,
yang mengatur tentang hak cipta sebagai benda tak berwujud, yang dapat
dijadikan obyek hak milik .
4)
Undang Undang tentang Hak Tanggungan
tahun 1996, yang mengatur tentang hakatas tanah dan bangunan diatasnya sebagai
pengganti hipotik dan crediet verband .
5)
UU No 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya
6)
UU No 42 Tahun 1999 tentang Fidusia
C. MACAM-MACAM KEBENDAAN
1) Benda
berwujud dan benda tidak berwujud
Arti penting
pembedaan ini adalah pada saat pemindah tanganan benda dimaksud, yaitu :
- Kalau
benda berwujud itu benda bergerak, pemindah
tanganannya harus secara nyata dari tangan ke tangan.
- Kalau
benda berwujud itu benda tidak bergerak, pemindah tanganannya
harus dilakukan dengan balik nama. Contohnya, jual beli rokok dan jual
beli rumah.
Penyerahan benda
tidak berwujud dalam bentuk berbagai piutang dilakukan dengan:
a)
Piutang atas nama (op naam) dengan
cara Cessie.
b)
Piutang atas tunjuk (an toonder) dengan
cara penyerahan surat dokumen yang bersangkutan dari tangan ke tangan.
c)
Piutang atas pengganti (aan
order) dengan cara endosemen serta penyerahan dokumen yang bersangkutan dari
tangan ke tangan ( Ps. 163 BWI).
2)
Benda bergerak dan benda
tidak bergerak
Benda bergerak adalah benda yang
menurut sifatnya dapat dipindahkan (Ps.509 BWI). Benda bergerak karena
ketentuan undang undang adalah hak hak yang melekat pada benda bergerak (Ps.511 BWI.
Arti penting pembedaan benda sebagai bergerak dan tidak bergerak terletak pada
:
- Penguasaannya
(bezit), dimana terhadap benda bergerak maka orang yang menguasai benda
tersebut dianggap sebagai pemiliknya (Ps.1977
BWI); azas ini tidak berlaku bagi benda tidak bergerak.
- Penyerahannya
(levering), yaitu terhadap benda bergerak harus dilakukan secara nyata,
sedangkan pada benda tidak bergerak dilakukandengan balik nama ;
- Dadaluwarsa
(verjaaring), yaitu pada benda bergerak tidak dikenal daluwarsa.sedang pada
benda tidak bergerak terdapat
kadaluwarsa, yaitu;
a)
Dalam hal ada alas hak, daluwarsanya 20
tahun;Dalam hal tidak ada alas hak, daluwarsanya 30 tahun pembebanannya
(bezwaring), dimana untuk benda bergerak dengangadai, sedangkan untuk benda
tidak bergerak dengan hipotik.
b)
Dalam hal pensitaan (beslag), dimana
revindicatoir beslah (penyitaan untuk menuntut kembali barangnya),hanya dapat
dilakukan terhadap barang barang bergerak . Penyitaan untuk melaksanakan
putusan pengadilan (executoir beslah) harus dilakukan terlebih dahulu terhadap
barang barang bergerak, dan apabila masih belum mencukupi untuk pelunasan
hutang tergugat, baru dilakukan executoir terhadap barang tidak bergerak.
3)
Benda dipakai habis dan
benda tidak dipakai habis
Pembendaan ini
penting artinya dalam hal pembatalan perjanjian. Pada perjanjian yang obyeknya
adalah benda yang dipakai habis, pembatalannya sulit untuk mengembalikan
seperti keadaan benda itu semula, oleh karena itu harus diganti dengan benda
lain yang sama / sejenis serta senilai, misalnya beras, kayu bakar, minyak
tanah dan lain sebagainya. Pada perjanjian yang obyeknya adalah benda yang
tidak dipakai habis tidaklah terlalu sulit bila perjanjian dibatalkan, karena
bendanya masih tetap ada, dan dapat diserahkan kembali, seperti pembatalan jual
beli televisi, kendaraan bermotor, perhiasan dan lain sebagainya. .
4)
Benda sudah ada dan benda akan ada
Arti penting
pembendaan ini terletak pada pembebanan sebagai jaminan hutang, atau
pada pelaksanaan perjanjian. Benda sudah ada dapat dijadikan jaminan
hutang dan pelaksanaan perjanjiannya dengan cara menyerahkan benda tersebut.
Benda akan ada tidak dapat dijadikan jaminan hutang, bahkan perjanjian
yang obyeknya benda akan ada bisa terancam batal bila pemenuhannya itu
tidak mungkin dapat dilaksanakan (Ps.1320 btr 3 BWI) .
5)
Benda dalam perdagangan dan
benda luar perdagangan
Arti penting
dari pembendaan ini terletak pada pemindah tanganan benda tersebut karena jual
beli atau karena warisan. Benda dalam perdagangan dapat diperjual belikan
dengan bebas, atau diwariskan kepada ahli waris,sedangkan benda luar
perdagangan tidak dapat diperjual belikan atau diwariskan, umpamanya tanah
wakaf, narkotika, benda benda yang melanggar ketertiban dan kesusilaan
6)
Benda dapat dibagi dan benda tidak dapat
dibagi
Letak pembendaannya
menjadi penting dalam hal pemenuhan prestasi suatu perjanjian, di mana terhadap
benda yang dapat dibagi, prestasi pemenuhan perjanjian dapat dilakukan tidak
sekaligus, dapat bertahap, misalnya perjanjian memberikan satu ton gandum dapat
dilakukan dalambeberapa kali pengiriman, yang penting jumlah keseluruhannya harus
satu ton. Lain halnya dengan benda yang tidak dapat dibagi, maka pemenuhan
prestasi tidak dapat dilakukan sebagian demi sebagian, melainkan harus secara
seutuhnya, misalnya perjanjian sewa menyewa mobil, tidak bisa sekarang
diserahkan rodanya, besok baru joknya dan lain sebagainya.
7)
Benda terdaftar dan benda
tidak terdaftar
Arti penting
pembendaannya terletak pada pembuktian kepemilikannya. Benda terdaftar
dibuktikan dengan bukti pendaftarannya, umumnya berupa sertifikat/dokumen atas
nama si pemilik, seperti tanah, kendaraan bermotor,perusahaan, hak cipta,
telpon, televisi dan lain sebagainya.. Pemerintah lebih mudah melakukan kontrol
atas benda terdaftar, baik dari segi tertib administrasi kepemilikan maupun
dari pembayaran pajaknya. Benda tidak terdaftar sulit untuk mengetahui dengan
pasti siapa pemilik yang sah atas benda itu, karena berlaku azas ‘siapa yang
menguasai benda itu dianggap sebagai pemiliknya’. Contohnya, perhiasan, alat
alat rumah tangga, hewan piaraan, pakaian dan lain sebagainya.
D. HAK KEBENDAAN
A. Asas-asas hak kebendaan;:
1. Asas
hukum pemaksa (dwingendrecht)
2. Asas
dapat dipindahtangankan
3. Asas
individualitas
4. Asas
totalitas
5. Asas
tidak dapat dipisahkan
6. Asas
prioritas
7. Asas
percampuran
8. Pengaturan
benda bergerak berbeda dengan benda tetap
9. Asas
publisitas
10. Asas
mengenai sifat perjanjian
B. Sifat atau karakter hak kebendaan
Perbedaan antara
hak kebendaan yang diatur dalam Buku II BW dengan hak perorangan yang diatur
dalam Buku III BW adalah sebagai berikut :
·
Hak kebendaan bersifat mutlak
(absolut), karena berlaku terhadap siapa saja, dan
orang lain harus menghormati hak tersebut, sedangkan hak perorangan berlaku
secara nisbi (relatief), karena hanya melibatkan orang / pihak tertentu saja,
yakni yang ada dalam suatu perjanjian saja.
·
Hak kebendaan berlangsung lama, bisa jadi selama seseorang masih hidup, atau bahkan bisa berlanjut
setelah diwariskan kepada ahli warisnya, sedangkan hukum perorangan berlangsung
relatif lebih singkat, yakni sebatas pelaksanaan perjanjian telah selesai
dilakukan.
·
Hak kebendaan terbatas pada apa yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangan yang
berlaku, tidak boleh mengarang / menciptakan sendiri hak yang llainnya,
sedangkan dalam hak perorangan, lingkungannya amat luas, apa saja dapat
dijadikan obyek perjanjian, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum. Oleh karena itu sering dikatakan hukum
kebendaan itu bersifat tertutup, sedangkan hukum perorangan bersifat terbuka.
C. Ciri-ciri Hak Kebendaan
·
Hak Mutlak / absolut mengikuti benda
dimana hak itu melekat, misalnya hak sewa tetap mengikuti benda itu berada,
siapapun yang memiliki hak diatasnya.
·
Hak yang ada terlebih dahulu (yang lebih
tua), kedudukannya lebih tinggi; misalnya sebuah rumah dibebani hipotik 1 dan
hipotik 2, maka penyelesaian hutang atas hipotik 1 harus didahulukan dari
hutang atas hipotik 2.
·
Memiliki sifat diutamakan, misalnya
suatu rumah harus dijual untuk
- Melunasi hutang, maka hasil penjualannya lebih
diutamakan untuk melunasi hipotik atas rumah itu.
- Dapat dilakukan gugatan terhadap siapapun yang
mengganggu hak yang bersangkutan. Pemindahan hak kebendaan dapat
dilakukan kepada siapapun .
D. Penggolongan hak kebendaan
Hak atas Kebendaan dibagi dalam 2
(dua) macam, yaitu :
1)
Hak Kebendaaan yang memberi
kenikmatan.
a. Bezit,
merupakan suatu keadaan dimana seseorang menguasai suatu benda , baik sendiri
maupun dengan perantaraan orang lain , seolah-olahnya benda itu miliknya
sendiri
b. Hak milik
(hak eigendom), disebutkan dalam pasal 570 BW menyatakan bahwa hak milik
adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu benda dengan sepenuhnya dan untuk
berbuat sebebas-bebasnya terhadap benda itu.
c. Hak
memungut hasil adalah hak untuk menarik hasil (memungut) hasil dari benda
orang lain , seolah-olah benda itu miliknya sendiri dengan kewajiban untuk
menjaga benda tersebut tetap dalam keadaan seperti semula .
d. Hak pakai
dan mendiami, dalam BW hak pakai dan hak mendiami ini diatur dalam buku II
title XI dari pasal 818 s.d 829 . dalam pasal 818 BW hanya disebutkan bahwa hak
pakai dan hak mendiami itu merupakan hak kebendaan yang terjadinya dan hapusnya
sama seperti hak memungut hasil (vruchtgebruik).
Dengan
berlakunya UUPA, pengganti dari hak atas tanah yang dihapus adalah :
1.
Hak Milik ; Hak Guna Usaha: Hak
Guna Bangunan ; Hak Pakai;
2.
Hak Sewa untuk bangunan: Hak
membuka tanah dan memungut hasil hutan;
3.
Hak guna air, pemeliharaan dan
penangkapan ikan;
4.
Hak guna ruang angkasa;
5.
Hak hak tanah untuk kepentingan
keagamaan dan social
2) Hak Kebendaan Yang bersifat Memberi Jaminan ;
a. Hak
gadai (pasal 1150 BW) adalah hak yang diperoleh atas suatu benda bergerak
yang diberikan kepadanya oleh debitur.
obyek :benda
bergerak dan subyek : orang cakap
b. Jaminan
fidusia
: hak jaminan atas benda bergerak baik berwujud maupun tidak dan benda tidak
bergerak dibebani hak tanggungan. Subyek : orang yang membuat perjanjian.
c. Hypotheek : hak
kebendaan yang bersifat memberikan jaminan kepada kreditur bahwa piutangnya
akan dilunasia debitur (dalam buku II title XXI pasal 1162 s.d 1232, tidak
semua berlaku )
d. Privilege (piutang
–piutang yang di istimewakan)
E. Perolehan hak kebendaan
Ada beberapa cara untuk memperoleh hak kebendaan, seperti :
- Melaui
Pengakuan Benda yang tidak diketahui siapa pemiliknya
(res nullius) kemudian didapatkan dan diakui oleh seseorang yang
mendapatkannya, dianggap sebagai pemiliknya. Contohnya, orang yang
menangkap ikan, barang siapa yang mendapat ikan itu dan kemudian mengaku
sebagai pemiliknya, dialah pemilik ikan tersebut. Demikian pula halnya
dengan berburu dihutan, menggali harta karun dan lain sebagainya.
- Melalui
Penemuan Benda yang semula milik orang lain akan tetapi
lepas dari penguasaannya, karena misalnya jatuh di perjalanan, maka barang
siapa yang menemukan barang tersebut dan ia tidak mengetahui siapa
pemiliknya, menjadi pemilik barang yang diketemukannya . Contoh ini adalah
aplikasi hak bezit.
- Melalui
Penyerahan Cara ini yang lazim, yaitu hak kebendaan
diperoleh melalui penyerahan berdasarkan alas hak (rechts titel) tertentu,
seperti jual beli, sewa menyewa, hibah warisan dan lain sebagainya. Dengan
adanya penyerahan maka titel berpindah kepada siapa benda itu diserahkan.
- Dengan
Daluwarsa Barang siapa menguasai benda bergerak yang dia
tidak ketahui pemilik benda itu sebelumnya (misalnya karena menemukannya),
hak milik atas benda itu diperoleh setelah lewat waktu 3 tahun sejak orang
tersebut menguasai benda yang bersangkutan. Untuk benda tidak bergerak,
daluwarsanya adalah :
- jika ada alas hak, 20 tahun
- jika tidak ada alas hak, 30 tahun.
5. Melalui
Pewarisan Hak
kebendaan bisa diperoleh melalui warisan berdasarkan hukum waris yang berlaku,
bisa hukum adat, hukum Islam atau hukum barat.
6. Dengan
Penciptaan Seseorang
yang menciptakan benda baru, baik dari benda yang sudah ada maupun samasekali
baru, dapat memperoleh hak milik atas benda ciptaannya itu. Contohnya orang
yang menciptakan patung dari sebatang kayu, menjadi pemilik patung itu,
demikian pula hak kebendaan tidak berwujud seperti hak paten, hak cipta dan
lain sabagainya.
7. Dengan
cara ikutan / turunan Seseorang yang membeli seekor sapi yang
sedang bunting maka anak sapi yang dilahirkan dari induknya itu menjadi
miliknya juga. Demikian pula orang yang membeli sebidang tanah, kemudian tumbuh
pohon durian, maka pohon durian itu termasuk milik orang yang membeli tanah
tersebut.
F. Penghapusan hak kebendaan
Hak kebendaan dapat hapus / lenyap karena hal hal :
1. Bendanya Lenyap / musnah Karena
musnahnya sesuatu benda, maka hak atas benda tersebut ikut lenyap, misalnya hak
sewa atas sebuah rumah yang habis/musnah ketimbun longsoran tanah gunung,
menjadi musnah juga. Atau, hak gadai atas sebuah sepeda motor, ikut habis
apabila barang tersebut musnah karena kebakara;
- Karena dipindah-tangankan Hak milik,
hak memungut hasil atau hak pakai menjadi hapus bila benda yang
bersangkutan dipindah tangankan kepada orang lain;
- Karena Pelepasan Hak Dalam hal
ini pada umumnya pelepasan yang bersangkutan dilakukan secara sengaja oleh
yang memiliki hak tersebut, seperti radio yang rusak dibuang ketempat
sampah. Dalam hal ini maka halk kepemilikan menjadi hapus dan bisa menjadi
hak milik orang lain yang menemukan radio tersebut;
- Karena Kadaluwarsa Daluwarsa
untuk barang tidak bergerak pada umumnya 30 tahun (karena ada alas hak),
sedangkan untuk benda bergerak 3 tahun;
- Karena Pencabutan Hak Penguasa
publik dapat mencabut hak kepemilikan seseorang atas benda tertentu,
dengan memenuhi syarat :
- Harus didasarkan suatu undang undang
- Dilakukan untuk kepentingan umum (dengan ganti
rugi yang layak)
BUKU III PERIHAL PERIKATAN
Hukum perikatan diatur dalam Buku III
BW dengan judul van Verbintenissen (tentang perikatan) yang terdiri dari
18 Bab (title) ditambah dengan title VIII A dengan sistematik sebagai berikut :
BAB I (Pasal 1233 s.d 1312) tentang
perikatan-perikatan pada umumnya;
BAB II (Pasal 1313 s.d 1352) tentang
perikatan-perikatan yang timbul dari perjanjian;
BAB III (Pasal 1352 s.d 1380) tentang
perikatan-perikatan yang timbul karena undang-undang;
BAB V (Pasal 1381 s.d 1456) tentang hapusnya
perikatan-perikatan;
AB VI s.d XVIII ditambah BAB VII A (Pasal 1457 s.d
1864) tentang perjanjian-perjanjian khusus.
A. PENGERTIAN PERIKATAN
“Perikatan” (verbintenis)
mempunyai arti yang lebih luar dari perkataan “Perjanjian”. Sedab dalam
buku tiga diatur juga perihal hubungan hukum yang samasekali tidak bersumber
pada suatu persetujuan atau perjanjian,
yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melangar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal
perikatan yang timbul dari pengurus kepentingan orang lain yang tidak
berdasarkan persetujuan (zaakwaar).
Adapun yang dimaksud “perikatan”
dalam buku III B.W adalah “suatu hubungan
hukum (mengenai kekayaanharta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada
yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang
lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu”.
Menurut para ahli;
Prof. Subekti
“Perikatan adalah aturan yang mengatur hubungan hukum
antara dua pihak, dimana pihak yang satu mempunyai hak menuntut suatu prestasi
(Kreditur) dari pihak lainnya yang wajib memenuhi tuntutan tersebut (Debitur)”.
J. Satrio, SH.
“Perikatan adalah hubungan Hukum antara dua pihak,
dimana satu pihak ada hak dan di lain pihak ada kewajiban”.
Prof. DR. Mariam Darus Badrulzaman,
SH
“Perikatan adalah hubungan yang terjadi diantara dua
orang atau lebih, yang terletak didalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak
yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu”.
Dr. Herlien Budiono, SH mengatakan
”Sebenarnya yang dimaksud “dua orang atau lebih adalah
dua pihak atau lebih” dalam praktek kenotariatan lazim, penandatanganan Akta
dapat dilakukan oleh seorang penghadap, keadaaan demikian belum tentu berarti
bahwa perjanjian tersebut tidak memiliki unsur “dua orang (pihak) atau lebih”.
Misalnya : Mewakili
berdasarkan kuasa untuk diri sendiri, juga bertindak dalam kedudukan pihak
lain. Sama halnya dengan pendirian perseroan atau persekutuan perdata (1618 KUH
Perdata).
Dan Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan :
“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
B. SUMBER PERIKATAN
Mengenai sumber-sumber perikatan,
oleh undang-undang diterangkan, bahwa suatu perikatan dapat lahir dari suatu
persetujuan (perjanjian) atau dari undang-undang.
Sumber Perikatan diatur dalam Pasal
1233 KUH Perdata :
- Adanya
Undang-Undang; dan
- Adanya
Perjanjian
C. UNSUR-UNSUR PERIKATAN
Dari rumus
di atas kita lihat bahwa unsur-unsur perikatan ada 4 (empat) yaitu :
1.
Hubungan hukum
Hubungan hukum ialah hubungan yang
terhadapnya hukum melekatkan “hak” pada 1 (satu) pihak dan melekatkan
“kewajiban” pada pihak lainnya.
Apabila 1 (satu) pihak tidak
mengindahkan ataupun melanggar hubungan tadi, lalu hukum memaksakan supaya
hubungan tersebut dipenuhi atau pun dipulihkan kembali.
Misalnya : A berjanji menjual sepeda
kepada B. Ini adalah hubungan hukum. Akibat dari janji itu, A wajib menyerahkan
sepeda miliknya kepada B dan berhak menuntut harganya, sedangkan B wajib
menyerahkan harga sepeda itu dan berhak untuk menuntut penyerahan sepeda. Apabila
salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, maka hukum “memaksakan” agar
kewajiban tadi dipenuhi. Seterusnya, kita melihat pula bahwa tidak semua
hubungan hukum dapat disebutkan perikatan. Suatu janji untuk bersama-sama pergi
piknik, tidak melahirkan perikatan, sebab janji tadi tidak mempunyai arti
hukum. Janji demikian termasuk dalam lapangan moral, di mana tidak dipenuhinya
prestasi akan menimbulkan “reaksi” dari dan oleh anggota-anggota masyarakat
lainnya. Jadi, pelaksanaannya bersifat otonom dan sosiologis. Untuk menilai
suatu hubungan hukum perikatan atau bukan, maka hukum mempunyai ukuran-ukuran
(kriteria) tertentu.
2.
Kekayaan
Yang dimaksudkan dengan kriteria
perikatan itu adalah ukuran-ukuran yang dipergunakan terhadap sesuatu hubungan
hukum sehingga hubungan hukum itu dapat disebutkan suatu perikatan. Di dalam
perkembangan sejarah, apa yang dipakai sebagai kriteria itu tidak tetap. Dahulu
yang menjadi kriteria ialah hubungan hukum itu dapat dinilai dengan uang atau
tidak. Apabila hubungan hukum itu dapat dinilai dengan uang, maka hubungan
hukum tersebut merupakan suatu perikatan.
Kriteria itu semakin lama sukar
untuk dipertahankan, karena di dalam masyarakat terdapat juga hubungan hukum
yang tidak dapat dinilai dengan uang. Namun kalau terhadapnya tidak diberikan
akibat hukum, rasa keadilan tidak akan dipenuhi. Dan ini bertentangan dengan
salah satu tujuan dari pada hukum yaitu mencapai keadilan. Oleh karena itu,
sekarang kriteria di atas tidak lagi dipertahankan sebagai kriteria, maka
ditentukan bahwa sekalipun suatu hubungan hukum itu tidak dapat dinilai dengan
uang, tetapi kalau masyarakat atau rasa keadilan menghendaki agar suatu
hubungan itu diberi akibat hukum, maka hukum pun akan melekatkan akibat hukum
pada hubungan tadi sebagai suatu perikatan.
3.
Pihak-pihak
Apabila hubungan hukum tadi dijajaki
lebih jauh lagi maka hubungan hukum itu harus terjadi antara 2 (dua) orang atau
lebih. Pihak yang berhak atas prestasi, pihak yang aktif adalah kreditur atau
yang berpiutang dan pihak yang wajib memenuhi prestasi, pihak yang pasif adalah
debitur atau yang berutang. Mereka ini yang disebut subjek perikatan.
Seorang debitur harus selamanya
diketahui, oleh karena seseorang tentu tidak dapat menagih dari seorang yang
tidak dikenal. Lain halnya dengan kreditur boleh merupakan seseorang yagn tidak
diketahui.
Di dalam perikatan pihak-pihak
kreditur dan debitur itu dapat diganti. Penggantian debitur harus diketahui
atau persetujuan kreditur, sedangkan penggantian kreditur dapat terjadi secara
sepihak. Bahkan untuk hal-hal tertentu, pada saat suatu perikatan lahir antara
pihak-pihak, secara apriori disetujui hakikat penggantian kreditur itu.
Pada setiap perikatan
sekurang-kurangnya harus 1 (satu) orang kreditur dan sekurang-kurangnya 1
(satu) orang debitur. Hal ini tidak menutup kemungkinan dalam suatu perikatan
itu terdapat beberapa orang kreditur dan beberapa orang debitur. Seorang
kreditur dapat dilukiskan sebagaimana yang diuraikan di bawah ini :
- Kreditur itu tidak perlu dikenal, artinya
penggantian kreditur dapat terjadi secara sepihak, tanpa bantuan debitur,
bahkan dalam lalu-lintas perdagangan yang tertentu penggantian itu telah
disetujui terjadi sejak semula. Apabila dalam suatu perikatan kreditur itu
ditentukan atau dikenal, maka kreditur yang seperti ini disebutkan
kreditur yang memiliki gugatan atas nama (vordering op naam).
- Penggantian kedudukan kreditur atau peralihan hak
atas prestasi terjadi dengan melakukan suatu formalitas tertentu (vorm
van rechthandeling) misalnya dengan suatu akta, misalnya akta cessie.
Penggantian kedudukan kreditur itu dapat pula dilakukan dengan bentuk yang
lebih mudah, tanpa dengan membuat akta cessie. Untuk itu kreditur harus
membuat suatu pengakuan utang (schuldbekentenis). Pengakuan utang
ini dapat berupa pengakuan utang atas tunjuk “aan order” atau atas
bawah “aan toonder”. Peralihan dari pengakuan utang atas tunjuk
dilakukan dengan penyerahan dari tangan ketangan dan di bagian belakang
dari surat itu diperbuat keterangan tentang penyerahan (endorsement)
dan tanda tangan dari pihak yang menyerahkan. Peralihan dari pengakuan
utang atas bawa terjadi dengan syarat-syarat yang lebih ringan dari pada endorsement.
Peralihan ini terjadi dengan penyerahan surat semata-mata, misalnya cheque.
Apabila cara-cara peralihan hak kreditur yang tumbuh di dalam masyarakat
sekarang kita perhatikan dengan seksama, maka ada tendens yang menunjukkan
bahwa peralihan pengakuan utang atas bawa, juga memerlukan tanda tangan di
belakang dari surat itu. Kita menemukan cek-cek yang di belakangnya
tercantum tanda tangan kreditur yang mengalihkan, dengan tujuan agar
pertanggungjawaban pemegang cek-cek sebelumnya itu dapat dimintakan
apabila di kemudian hari si pemegang cek terakhir menemukan bahwa cek itu
tadi tidak memiliki dana (kosong).
Seorang kreditur mungkin pula
mengalihkan haknya atas prestasi kepada kreditur baru, hak mana adalah
merupakan hak-hak pribadi yang kualitatif (kwalitatieve persoonlijke recht).
Misalnya : A menjual sebuah mobil kepada B mobil mana telah diasuransikan
kepada perusahaan asuransi. Dengan terjadinya peralihan hak milik dari A kepada
B, maka B sekaligus pada saat yang sama B mengambil alih juga hak asuransi yang
telah melekat pada mobil tersebut. Perikatan yang demikian dinamakan perikatan
kualitatif dan hak yang terjadi dari perikatan demikian dinamakan hak
kualitatif. Penggantian kreditur dapat pula terjadi dengan subrogasi. Seorang
debitur dilukiskan sebagai berikut :
- Dalam suatu perikatan sekurang-kurangnya harus
ada seorang debitur.
- Seorang debitur biasanya harus dikenal, karena
seorang kreditur tidak dapat menagih seorang debitur yang tidak dikenal.
Dengan demikian maka penggantian kedudukan debitur hanya dapat terjadi
apabila kreditur telah memberikan persetujuan. Misalnya pengambilalihan
utang (schuldoverneming).
- Seorang debitur dapat terjadi karena perikatan
kualitatif, sehingga kewajiban memenuhi prestasi dari debitur dinamakan
kewajiban kualitatif, misalnya seorang pemilik baru dari sebuah rumah yang
oleh pemilik sebelumnya diikatkan dalam suatu perjanjian sewa-menyewa,
terikat untuk meneruskan perjanjian sewa-menyewa itu.
Menurut Asser”s (Handleiding tot
de beoefening van het Ned Burgerlijkrecht cetakan tahun 1967), maka sejak
saat suatu perikatan dilakukan, pihak kreditur dapat memberikan persetujuan
untuk adanya penggantian debitur, misalnya di dalam suatu perjanjian jual beli
dapat dijanjikan seseorang itu membeli untuk dirinya sendiri dan untuk
pembeli-pembeli yang berikutnya (koop voor zich of voor nader to noemen
meester). Apabila di dalam jual beli ini debitur (pembeli) belum melunaskan
seluruh harga beli, maka dalam hal benda itu dialihkan kepada pembeli baru,
maka kewajiban untuk membayar tersebut dengan sendirinya beralih kepada pembeli
baru itu. Kedudukan debitur dapat berganti atau beralih dengan subrogasi.
Kualifikasi istilah prestasi didalam
bahasa Hukum di Indonesia belum ada. Untuk menuangkan pengertian yang
terkandung dalam istilah tadi ke dalam bahasa itu memerlukan kalimat panjang
yang kurang praktis kedengarannya. Menurut hemat penulis pemakaian istilah
prestasi di dalam lingkungan bahasa hukum di Indonesia tidaklah salah, oleh
karena pada umumnya istilah tersebut lazim dipergunakan. Berdasarkan pemikiran
yang demikian penulis di dalam bahasa Indonesia dapat langsung mempergunakannya
sebagai bahasa milik sendiri.
Apabila 2 (dua) orang mengadakan
perjanjian ataupun apabila undang-undang dengan terjadinya suatu peristiwa
menciptakan suatu perikatan, jelaslah bahwa maksud dari kedua orang tersebut
maupun dari pembentuk undang-undang untuk mengikat kedua orang itu memenuhi
kewajiban. Untuk memenuhi sesuatu disebut dengan prestasi.
4.
Prestasi (Objek Hukum)
Pasal 1234 :
“Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu,
untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.
Menurut Pasal 1234 KUHPerdata
prestasi itu dibedakan atas :
- Memberikan sesuatu.
- Berbuat sesuatu.
- Tidak berbuat sesuatu.
Ke dalam perikatan untuk memberikan
sesuatu termasuk pemberian sejumlah uang, member benda untuk dipakai (menyewa),
penyerahan hak milik atas benda tetap dan bergerak. Perikatan untuk melakukan sesuatu
misalnya membangun rumah.
Perikatan untuk tidak melakukan
sesuatu misalnya A membuat perjanjian dengan B ketika menjual apoteknya, untuk
tidak menjalankan usaha apotek dalam daerah yang sama.
D. PERIHAL PERIKATAN DALAM BW
Pasal 1313 BW
Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Pasal 1352 BW
Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari
undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet alleen) atau
dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang (uit de wet ten gevolge
van’s mensen toedoen).
Pasal 1353 BW
Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang
sebagai akibat perbuatan orang, terbit dari perbuatan halal atau dari perbuatan
melawan hukum (onrechmatige daad).
Pasal 1365 BW
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian
kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian
itu, mengganti kerugian tersebut.
Pasal 1380 BW
Tuntutan dalam perkara penghinaan gugur dengan lewatnya
waktu satu tahun, terhitung mulai hari dilakukannya perbuatan dan diketahuinya
perbuatan itu oleh si penggugat.
Pasal 1359 BW
Tiap-tiap pembayaran memperkirakan adanya suatu utang,
apa yang telah dibayarkan dengan tidak diwajibkan, dapat dituntut kembali.
Terhadap perikatan-perikatan bebas, yang secara sukarela telah dipenuhi, tak
dapat dilakukan penuntutan kembali.
Pasal 1354 BW
Jika seseorang dengan sukarela, tanpa mendapat
perintah untuk itu mengurus urusan orang lain, maka ia berkewajiban untuk
meneruskan menyelesaikan urusan tersebut hingga orang yang diwakili
kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu. Pihak yang kepentingannya
diwakili diwajibkan memenuhi perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh si wakil
itu atas namanya dan mengganti semua pengeluaran yang sudah dilakukan oleh si
wakil tadi.
Perikatan lahir dari undang-undang
sebagai akibat perbuatan orang yang melawan hukum diatur dalam Pasal 1365
KUHPerdata, undang-undang menetapkan kewajiban orang itu untuk member ganti
rugi. Dengan meletakkan kewajiban member ganti rugi antara orang yang melakukan
perbuatan yang melawan hukum kepada orang yang menderita kerugian karena
perbuatan itu, lahirlah suatu perikatan di luar kemauan kedua orang tersebut.
Perikatan yang bersumber dari
undang-undang semata-mata adalah perikatan yang dengan terjadinya
peristiwa-peristiwa tertentu, ditetapkan melahirkan suatu hubungan hukum
(perikatan) diantara pihak-pihak yang bersangkutan, terlepas dari kemauan
pihak-pihak tersebut.
Misalnya :
·
Lampau waktu (verjaring), adalah peristiwa-peristiwa dengan
mana pembentuk undang-undang menetapkan adanya suatu perikatan antara
orang-orang yang tertentu. Dengan lampaunya waktu seseorang mungkin terlepas
haknya atas sesuatu atau mungkin mendapatkan haknya atas sesuatu.
·
Kematian. Dengan meninggalnya seseorang, maka perikatan yang
pernah mengikat orang tersebut beralih kepada ahli warisnya.
·
Kelahiran. Dengan kelahiran anak maka timbul perikatan antara
ayah dan anak, dimana si ayah wajib memelihara anak tersebut. Pasal 321 KUH
Perdata “Tiap-tiap anak wajib member nafkah kepada orang tuanya dan para
keluarga sedarahnya dalam garis ke atas, apabila mereka dalam keadaan miskin”.
Perikatan yang bersumber dari
undang-undang sebagai akibat perbuatan orang maksudnya ialah bahwa dengan
dilakukannya serangkaian tingkah laku seseorang, maka undang-undang melekatkan
akibat hukum berupa perikatan terhadap orang tersebut. Tingkah laku seseorang
tadi mungkin merupakan perbuatan yang menurut hukum (dibolehkan undang-undang)
atau mungkin pula merupakan perbuatan yang tidak dibolehkan undang-undang
(melawan hukum).
Perikatan yang lahir dari
undang-undang sebagai akibat perbuatan orang yang menurut hukum misalnya
mengurus kepentingan orang lain (Zaakwaarneming), dimana sebagai akibatnya,
undang-undang menetapkan beberapa hak dan kewajiban, yang harus mereka
perhatikan seperti hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian. Disebut oleh
pasal 1354 KUH Perdata “Jika seseorang dengan suka rela, tanpa mendapat
perintah untuk itu, mengurus urusan orang lain, maka ia berkewajiban untuk
meneruskan menyelesaikan urusan tersebut hingga orang yang diwakili
kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu. Pihak yang kepentingannya
diwakili diwajibkan memenuhi perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh si wakil
itu atas namanya, dan mengganti semua pengeluaran yang sudah dilakukan oleh si
wakil tadi”.
Perikatan lahir dari undang-undang
sebagai akibat perbuatan orang yang melawan hukum diatur dalam pasal 1365 KUH
Perdata, Undang-undang menetapkan kewajiban orang itu untuk member ganti rugi.
Dengan meletakkan kewajiban memberi
ganti rugi antara orang yang melakukan perbuatan yang melawan hukum kepada
orang yang menderita kerugian karena perbuatan itu, lahirlah suatu perikatan di
luar kemauan kedua orang tersebut.
Perikatan yang lahir karena
perjanjian
v Harus
memenuhi unsur-unsur sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH
Perdata :
1.
Adanya kesepakatan
Tidak karena (1321 KUH Perdata) :
·
Kekhilafan (atas orang, barang, maupun tujuan
perjanjian)
·
Penipuan
·
Paksaan
·
Harus diperkenankan, artinya tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1335 dan 1337 KUH
Perdata)
·
Harus tertentu atau dapat ditentukan, artinya harus
terang dan jelas (Pasal 1320 ayat (3) dan 1333 KUH Perdata)
·
Harus mungkin dilakukan, artinya mungkin dilaksanakan
menurut kemampuan manusia.
2.
Cakap (Pasal 1330 KUH Perdata).
3.
Suatu hal tertentu (Pasal 1333 KUH Perdata)
4.
Sebab/causa yang halal.
E. MACAM-MACAM PERIKATAN
Bentuk perikatan yang paling
sederhana, ialah suatu perikatan yang masing-masing pihak hanya ada satu orang
dan satu prestasi yang seketika juga dapat ditagih pembayarannya. Disamping
bentuk yang paling sederhana itu, terdapat pula macam-macam perikatan lainnya.
v Menurut Ilmu
Pengetahuan Hukum Perdata Perikatan dapat dibedakan atas beberapa macam :
a) Menurut isi
dari pada prestasinya,
a.Perikatan positif dan negative;
b.Perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan
c.Perikatan alternative
d.Perikatan fakultatif
e.Perikatan generic dan specipik
f.Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat
dibagi.
b) Menurut
Subjeknya :
a.Perikatan tanggung menanngung
b.Perikatan pokok dan tambahan.
c) Menurut
mulai berlakunya dan berakhirnya.
a.Perikatan bersyarat.
b.Perikatan dengan ketepatan waktu.
v Menurut KUH
Perdata Perikatan dibedakan beberapa macam sebagai berikut :
a) Perikatan
bersyarat, adalah suatu perikatan yang
digantungkan pada suatu kejadian dikemudian hari, yang masih belum tentu akan
terjadi atau tidak terjadi.
b) Perikatan
dengan ketepatan waktu, adalah suatu hal
yang pasti akan datang, messkipun mungkin belum dapat ditentukan kapan
datangnya.
c) Perikatan
manasuka (alternatife).
d) Perikatan
tanggung menanggung, adalah suatu
perikatan yang dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang
berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya.
e) Perikatan
yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi
f) Perikatan
dengan ancaman hukuman, di pergunakan
agar mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah saja melalaikan
kewajibannya, dalam praktek banyak dipakai perjanjian dimana si berhutang
dikenakan suatu huukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya.
Berikut penjelasan macam-macam
perikatan baik berdasarkan ilmu hukum maupun menurut KUH Perdata tersebut
dibawah ini :
a.
Perikatan positif dan negative
Perikatan positif adalah perikatan
yang prestasinya memberi sesuatu dan berbuat sesuat.
Perikatan negative adalah perikatan
yang prestasinya tidak berbuat sesuatu.
Perikatan
memberi sesuatu.
Pasal 1235 KUH Perdata :
“ Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu
adalah termaktub kewajiban siberutang untuk menyerahkan kebendaan yang
bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai
pada saat penyerahan .”
Melihat isi dari ketentuan tersebut
disimpulkan bahwa perikatan memberikan sesuatu merupakan perikatan untuk
menyerahkan (leveren) dan mearawat benda (prestasi), sampai pada saat saat
penyerahan dilakukan.
Dalam hal ini kewajiban untuk
menyerahkan adalah merupakan kewajiban pokok sedangkan kewajiban merawat
merupkan kewajiban prepatoir yang maksudnya bahwa hal-hal yang harus dilakukan
oleh debitur menjelang penyerahan dari benda yang diperjanjikan.
Istilah bapak rumah yang baik selain
yang tersebut, juga disebut dalam Pasal 105 ayat 4 KUH Perdata disebutkan bahwa
seorang suami harus mengurus harta kekayaan istri sebagai bapak rumah
yang baik.
Dalam Pasal 1256 KUH Perdata
disebutkan bahwa seorang yang mengurus kepentingan orang lain dengan suka rela
(Zaakwaarnemer) dalam melakukan pengurusan tersebut, melakukan tugasnya sebagai
seorang bapak rumah yang baik. Dalam hal ini maksudnya adalah agar terhadap
benda yang diperjanjikan berada dalam pengusaan debitur yang belum diserahkan
kepada kreditur dijaga dan dipelihara atau dirawat secara pantas dan patut
sesuai dengan ukuran yang wajar berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan agar
tidakmenimbulkan kerugian bagi mereka yang menerimanya.
Sehubungan dengan itu apabila
debitur tidak memenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 1235 KUH Perdata, maka
debitur berkewajiban memberikan ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 1236
KUH Perdata menyebutkan : “Siberutang adalah wajib memberikan ganti rugi biaya,
rugi dan bunga kepada siberpiutang, apabila ia telah membawa dirinya dalam
keadaan tak mampu untuk menyerahkan kebendaannya, atau telah tidak merawatnya
sepatutnya guna menyelamatkannya.
a. Perikatan
untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu
1.Kewajiban memberi ganti rugi.
Pasal
1239 KUH Perdata.
“ Tiap-tiap perikatan untuk berbuat
sesuatu,atau tidak berbuat sesuatu, apabila siberutang tidak memenuhi
kewajibannya, mendapatkan penyelesaian dalam kewajiban memberikan penggantian
biaya, rugi dan bunga”
Untuk itu apabila berbuat sesuatu
tidak dilaksanakan, maka berpiutang berhak menuntut penghapusan segala
sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan, lebih jelasnya
disebutkan dalam :
Pasal 1240
KUH Perdata.
“Dalam pada itu berpiutang adalah berhak menuntut akan
penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan,dan
bolehlah ia minta supaya dikuasakan oleh hakiml untuk menyuruh menghapuskan
segala sesuatu yang telah dibuat tadi diatas siberutang dengan tak mengurangi
hak menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alas an untuk itu”
2.Eksekusi riel (Parate Eksekusi)
Pasal 1241
KUH Perdata menyebutkan :
“Apabila perikatan tidak dilaksanakannya,maka si
berpiutang boleh juga dikuasakan supaya ia sendirilah mengusahakan
pelaksanaannya atas biaya siberutang”.
Yang dimaksud dengan riel eksekusi
ialah bahwa kreditur dapat mewujudkan sendiri prestasi yang dijanjikan dengan
biaya dari debitur berdasarkan kuasa yang diberikan Hakim.Dalam undang-undang tidak mengatur untuk
memberikan sesuatu boleh atau tidak mengadakan eksekusi riel.
b. Perikatan`perikatan
sepintas selalu dan berkelanjutan.
Perikatan sepintas lalu adalah
perikatan yang pemenuhan prestasinya cukup hanya dilakukan dengan satu
perbuatan saja dan dalam waktu yang singkat tujuan perikatan telah tercapai.
Sedangkan perikatan berkelanjutan adalah perikatan yang prestasinya
berkelanjutan untuk beberapa waktu,misalnya perikatan yang timbul dari
perjanjian sewa menyewa,perjanjian perburuhan (perjanjian kerja).
c. Perikatan
alternatife (membolehkan memilih).
Perikatan alternative adalah suatu
perikatan, dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan siberhutang
diserahkan yang mana ia akan lakukan, misalnya ia boleh memilih apakah ia akan
memberikan kuda atau Mobilnya atau uang satu juta rupiah.
Pasal 1272
“ Dalam perikatan-perikatan mana suka yang berutang
dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam
perikataan, tetapi ia tidak dapat memaksa siberpiutang untuk menerima sebagian
dari barang yang satu dan sebagian dari barang yang lainnya”.
d. Perjanjian
fakultatif.
Perikatan fakultatif adalah
perikatan yang hanya mempunyai satu objek prestasi, dimana debitur
mempunyai hak untuk mengganti dengan prestasi yang lain,bila mana debitur tidak
mungkin memenuhi prestasi yang telah ditentukan semula. Misalnya debitur
diwajibkan untuk menyerahkan beras, bila mana tidak mungkin menyerahkan beras
diganti dengan sejumlah uang.
e. Perikatan
generik dan spesifik.
Perikatan generic adalah perikatan
dimana objeknya hanya ditentukan jenis dan jumlah barang yang harus diserahkan
debitur kepada kreditur, misalnya penyerahan beras sebanyak 10 ton sedangkan
perikatan spesifik adalah perikatan dimana objeknya ditentukan secara rinci
sehingga tampak ciri –ciri khususnya. Misalnya, deb itur diwajibkan menyerahkan
beras sebanyak 10 ton dari Cianjur kulitet ekspor nomor satu.
f. Perikatan
yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi.
Perikatan yang dapat dibagi adalah
perikatan yang prestasinya dapat dibagi.Misalnya Perikatan untuk menyerahkan 10
ton beras, karena sifatnya beras yang menjadi objek perikatan dapat dibagi.
Akan tetapi perikatan untuk menyerahkan seekor kuda adalah perikatan yang tidak
dapat dibagi.
Perikatan
yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi.
Pasal 1296 :
“Suatu perikatan dapat dibagi-bagi atau tidak dapat
dibagi-bagi sekadar perikatan tersebut mengenai suatu barang yang penyerahannya,
atau suatu perbuatan yang pelaksanaannya dapat dibagi-bagi atau tidak dapat
dibagi-bagi, baik secara nyata-nyata maupun secara perhiutngan.”
Perikatan
yang tidak dapat dibagi karena maksud pihak-pihak.
Pasal 1297:
“Suatu perikatan adalah tak dapat dibagi-bagi meskipun
barang atau perbuatan yang dimasudkan karena sifatnya dapat dibagi-bagi. Jika
barang atau perbuatan tadi menurut maksudnya perikatan tidak boleh diserahkan
atau dilaksanakan sebagian demi sebagian”.
Tanggung
menanggung dan yang tidak dapat dibagi.
Pasal 1298:
“ Bahwasanya suatu perikatan adalah suatu perikatan
tanggung menanggung belum berarti bahwa perikatan itu suatu perbuatan yang
tidak dapat dibagi-bagi”.
Dalam suatu perikatan tanggung
menanggung tidak selalu berarti tidak dapat dibagi, hal ini dapat dilihat dari
percampuran utang karena warisan yang menghapuskan bagian utang debitur yang
menjadi tanggung jawabnya.
Pelaksanaan
perikatan yang dapat dibagi.
Pasal 1299
“Suatu perikatan yang dapat dibagi-bagi harus
dilaksanakan antara siberutang dan siberpiutang seolah-olah perikatan itu tidak
dapat dibagi-bagi, hal dapatnya dibagi-bagi hanyalah berlaku terhadap ahli
waris-ahli waris kedua belah pihak, yang tidak dapat menagih piutangnya atau
tidak wajib membayar utangnya selainnya untuk bagian masing-masing sebagai ahli
waris atau orang-orang yang mewakili siberpiutang maupun siberutang”.
Perikatan dapat dibagi diantara para
ahli waris menurut bagian masing-masing dan apabila salah satu dari mereka
dituntut maka tanggung jawabnya berdasarkan bagian dalam warisan yang berutang.
g. Perikatan
tanggung menanggung (tanggung renteng).
Perikatan tanggung menanggung
(tanggung renteng) adalah perikatan dimana debitur dan/atau kreditur terdiri
dari beberapa orang. Jika debiturnya beberapa orang, maka tiap-tiap debitur
debitur dapat dituntut untuk memenuhi seluruh prestasi. (Pasal 1749, 1836 KUH
Perdata dan Pasal 18 KUH Dagang).
h. Perikatan
pokok dan tambahan.
Perikatan pokok adalah perikatan
antara debitur dan kreditur yang berdiri sendiri tanpa bergantung kepada adanya
perikatan yang lain, Misalnya perjanjian pinjaman uang, sedangkan perikatan
tambahan adalah perikatan antara debitur dan kreditur yang diadakan sebagai
perikatan tambahan dari perikatan pokok.Misalnya perjanjian gadai, fidusia, hak
tanggungngan, perikatan tambahan ini tidak berdiri sendiri melainkan bergantung
kepada perikatan pokok, sehingga apabila perikatan pokok berakhir, maka
perikatan tambahan ikut berakhir.
i.
Perikatan bersyarat.
Perikatan bersyarat adalah perikatan
yang lahir maupun berakhir (batal) tergantung pada suatu peristiwa yang belum
dan tidak tentu akan terjadi. Apabila suatu perikatan yang lahirnya tergantung
kepada suatu peristiwa dinamakan perikatan dengan syarat tangguh. Misalnya A
berjanji akan memberikan buku-bukunya kepada B jika telah lulus ujian.
Sedangkan apabila suatu perikatan yang sudah ada yang berakhirnya digantungkan
kepada peristiwa itu dinamakan perikatan dengan syarat batal. Misalnya :
Perjanjian sewa menyewa Rumah antara A dan B yang sekarang sudah ada dijanjikan
akan berakhir kalau A dipindahkan ke lain kota.
Pasal 1253:
“ Suatu perikatan adalah bersyarat manakala ia
digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan dating dan masih belum tentu
akan terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa
semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak
terjadinya peristiwa tersebut”.
·
Syarat Tangguh.
Pasal 1263:
“ Suatu
perikatan dengan suatu syarat tangguh adalah suatu perikatan yang bergantung
pada suatu peristiwa yang masih akan dating dan yang masih belum tentu akan
terjadi, atau yang bergantung pada suatu hal yang sudah terjadi tetapi tidak
diketahui oleh kedua belah pihak.
Dalam hal yang pertama perikatan
tidak dapat dilaksanakan sebelum,peristiwa telah terjadi dalam hal yang kedua
perikatan mulai berlaku sejak hari ia dilahirkan”.
·
Syarat batal.
Pasal 1265:
“ Suatu syarat batal adalah syarat yang apabila
dipenuhi, menghentikan perikatan, dan membawa segala sesuatu kembali pada
keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan.
Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan,
hanyalah mewajibkan siberpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya,
apabila peristiwa yang dimaksudkan terjadi”.
j.
Perikatan dengan ketepatan waktu.
Perikatan dengan ketepatan waktu
adalah perikatan yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai pada suatu waktu
ditentukan yang pasti akan tiba, meskipun mungkin belum dapat dipastikan kapan
waktu yang dimaksudkan akan tiba. Misalnya A berjanji akan memberikan semua
buku-bukunya kepada si B tanggal 1 januari tahun depan. Perikatan dengan
ketepatan waktu yang tidak dapat ditentukan adalah perjanjian asuransi
kematian, karena kematian tidak dapat ditentukan kapan kematian orang itu akan
tiba.
Pasal 1270
“Suatu ketepatan waktu selalu dianggap dibuat untuk
kepentingan siberutang, kecuali jika sifat perikatan sendiri, atau dari
keadaan, ternyata bahwa ketepatan waktu itu telah dibuat untuk kepentingan
siberpiutang”.
k. Perikatan
dengan ancaman hukuman.
Perikatan dengan ancaman hkuman
adalah perikatan dimana ditentukan bahwa debitur akan dikenakan suatu hukuman
apabila ia tidak melaksanakan perikatan. Penetapan hukuman ini sebetulnya
sebagai ganti kerugian yang diderita kreditur karena debitur tidak
melaksanakan kewajibannya.
Pengertian
ancaman hukuman.
Pasal 1304
“Ancaman hukuman adalah suatu ketentuan sedemikian
rupa dengan mana seorang untuk jaminan pelaksanaan suatu perikatan itu tidak
dipenuhi”.
Maksud
ancaman hukuman tersebut adalah :
- Untuk
memastikan agar perikatan itu benar-benar terpenuhi.
- Untuk
menetapkan jumlah ganti rugi tertentu apabila terjadi wanprestasi dan
untuk menghindari pertengkataran tentang hal itu.
Pasal 1307
“Penetapan hukuman adalah dimaksudkan sebagai gantinya
penggantian kerugian, yang diderita oleh siberpiutang karena tidak dipenuhinya
perikatan pokok”.
F.
MENGENAI SCHULD dan HAFTUNG
Setiap debitur mempunyai kewajiban
menyerahkan prestasi kepada kreditur. Karena itu debitur mempunyai kewajiban
untuk membayar utang. Dalam istilah asing kewajiban itu disebut Schuld.
Di samping Schuld debitur juga mempunyai kewajiban yang lain yaitu Haftung.
Maksudnya ialah bahwa debitur itu berkewajiban untuk membiarkan harta
kekayaannya diambil oleh kreditur sebanyak utang debitur, guna pelunasan utang
tadi, apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya membayar utang tersebut.
Setiap kreditur mempunyai piutang
terhadap debitur. Untuk itu kreditur mempunyai hak menagih piutang tersebut. Di
dalam ilmu pengetahuan Hukum Perdata, di samping hak menagih (vorderingsrecht).
Apabila debitur tidak memenuhi kewajiban membayar utangnya, maka kreditur
mempunyai hak menagih kekayaan debitur, sebesar piutangnya pada debitur itu (verhaalsrecht).
Menurut para pakar dan
Yurisprudensi, Schuld dan Haftung itu dapat dibedakan, tetapi
pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan. Asas pokok dari Haftung ini
terdapat dalam Pasal 1131 KUHPerdata.
Para ahli Hukum Perdata pada umumnya
sependapat bahwa sumber perikatan sebagaimana yang diatur oleh Pasal 1233
KUHPerdata itu, masih banyak lagi sumber dari perikatan yaitu Ilmu Pengetahuan
Hukum Perdata. Hukum yang tidak tertulis dan keputusan Hakim (Yurisprudensi).
Dari sumber-sumber yang disebutkan
oleh undang-undang tersebut di atas, yang paling penting adalah perjanjian.
Melalui perjanjian itu pihak-pihak mempunyai kebebasan untuk mengadakan segala
jenis perikatan, dengan batasan yaitu tidak dilarang oleh undang-undang,
berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Dengan adanya kebebasan
mengadakan perjanjian (partij otonomie, contractvrijheid) maka
subjek-subjek perikatan tidak hanya terikat untuk mengadakan
perikatan-perikatan yang namanya ditentukan oleh undang-undang (benoemde
overeenkomsten) yaitu sebagaimana yang tercantum di dalam Bab V sampai
dengan Bab XVIII KUH Perdata Buku III, tetapi berhak untuk mengadakan perjanjian-perjanjian
yang namanya tidak ditentukan oleh undang-undang, dengan istilah lain disebut
juga perjanjian khusus (onbenoemde overeenkomsten).
Menurut para ahli Hukum Perdata,
maka andaikata pun undang-undang tidak menentukan “perjanjian” itu sebagai
sumber perikatan, kodrat perjanjian dan kebutuhan masyarakat sendiri
menghendaki agar setiap orang memenuhi perjanjian. Baiklah dalam hal ini kita
merenungkan ajaran Hugo De Groot yang mengemukakan bahwa :
“Asas Hukum Alam menentukan janji itu mengikat” (pacta
sunt servanda).
Hanya saja, oleh karena hukum itu menghendaki
kepastian maka perlu ada keseragaman tentang ukuran dari perjanjian.
Undang-undang lalu mengatur dan menentukan syarat-syarat bagi perjanjian dengan
mana dapat diadakan suatu perikatan.
G.
PERIHAL HAPUSNYA PERIKATAN
Undang-undang menyebutkan sepuluh
macam cara hapusnya perikatan, yaitu;
a.
Karena pembayaran;
b.
Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanaan
barang yang hendak dibayar itu disuatu tempat;
c.
Pembaharuan hutang;
d.
Koompensasi atau perhitungan hutang timbal balik;
e.
Percampuran hutang;
f.
Pembebasan hutang;
g.
Hapusnya barang yang dimaksudkan dalam perjanjian;
h.
Pembatalan perjanjian;
i.
Akibat berlakunya syarat pembatalan; dan
j.
Lewat waktu.
Perlu kita ketahui bahwa dengan
adanya asas kebebasan untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiba umum, maka kita
merdeka untuk menciptakan suatu perjanjian apa saja yang tidak disebbutkan
dalam Buku III.
BUKU IV TENTANG BUKTI DAN DALUWARSA
(VAN BEWIJS
EN VERJARING)
BAB I
PEMBUKTIAN PADA UMUMNYA
1865. Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak,
atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah
suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang
dikemukakan itu.
1866. Alat pembuktian meliputi:
bukti tertulis;
bukti saksi;
persangkaan;
pengakuan;
sumpah.
Semuanya tunduk pada aturan-aturan yang tercantum
dalam bab-bab berikut.
BAB II
PEMBUKTIAN DENGAN TULISAN
1867. Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan
tulisan otentik atau dengan tulisan di bawah tangan.
1868. Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat
dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum
yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.
1869. Suatu akta yang tidak dapat diperlakukan sebagai
akta otentik, baik karena tidak berwenang atau tidak cakapnya pejabat umum yang
bersangkutan maupun karena cacat dalam bentuknya, mempunyai kekuatan sebagai
tulisan di bawah tangan bila ditandatangani oleh para pihak.
1870. Bagi para pihak yang berkepentingan beserta para
ahli warisnya ataupun bagi orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu
akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di
dalamnya.
1871. Akan tetapi suatu akta otentik tidak memberikan
bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya sebagai penuturan
belaka, kecuali bila yang dituturkan itu mempunyai hubungan langsung dengan
pokok isi akta.
Jika apa yang termuat dalam akta itu hanya merupakan
suatu penuturan belaka yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan pokok isi
akta, maka hal itu hanya dapat digunakan sebagai permulaan pembuktian dengan
tulisan.
1872. Jika suatu akta otentik, dalam bentuk apa pun,
diduga palsu, maka pelaksanaannya dapat ditangguhkan menurut ketentuan-ketentuan
Reglemen Acara Perdata.
1873. Persetujuan lebih lanjut dalam suatu akta
tersendiri, yang bertentangan dengan akta asli hanya memberikan bukti di antara
pihak yang turut serta dan para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapatkan
hak dari mereka, dan tidak dapat berlaku terhadap pihak ketiga.
1874. Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan
adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah
tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang
pejabat umum.
Dengan penandatanganan sebuah tulisan di bawah tangan
disamakan pembubuhan suatu cap jempol dengan suatu pernyataan yang bertanggal
dari seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang yang
menyatakan bahwa pembubuh cap jempol itu dikenal olehnya atau telah
diperkenalkan kepadanya, bahwa si akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan
bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan pada tulisan tersebut di hadapan
pejabat yang bersangkutan.
Pegawai ini harus membuktikan tulisan tersebut.
Dengan undang-undang dapat diadakan aturan-aturan
lebih lanjut tentang pernyataan dan pembukuan termaksud.
1874 a. Jika pihak yang berkepentingan menghendaki, di
luar hal termaksud dalam alinea kedua pasal yang lalu, pada tulisan-tulisan di
bawah tangan yang ditandatangani, dapat juga diberi suatu pernyataan dari
seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang, yang
menyatakan bahwa si penanda tangan tersebut dikenalnya atau telah diperkenalkan
kepadanya, bahwa isi akta telah dijelaskan kepada si penanda tangan, dan bahwa
setelah itu penandatanganan dilakukan di hadapan pejabat tersebut.
Dalam hal ini berlaku ketentuan alinea ketiga dan keempat
dan pasal yang lalu.
1875. Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui
kebenarannya oleh orang yang dihadapkan kepadanya atau secara hukum dianggap
telah dibenarkan olehnya, menimbulkan bukti lengkap seperti suatu akta otentik
bagi orang-orang yang menandatanganinya, ahli warisnya serta orang-orang yang
mendapat hak dari mereka; ketentuan Pasal 1871 berlaku terhadap tulisan itu.
1876. Barangsiapa dihadapi dengan suatu tulisan di
bawah tangan oleh orang yang mengajukan tuntutan terhadapnya, wajib mengakui
atau memungkiri tanda tangannya secara tegas, tetapi bagi para ahli warisnya
atau orang yang mendapat hak darinya, cukuplah mereka menerangkan bahwa mereka
tidak mengakui tulisan atau tanda tangan itu sebagai tulisan atau tanda tangan
orang yang mereka wakili.
1877. Jika seseorang memungkiri tulisan atau tanda
tangannya, ataupun jika para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak
daripadanya tidak mengakuinya, maka Hakim harus memerintahkan supaya kebenaran
tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka Pengadilan.
1878. Perikatan utang sepihak di bawah tangan untuk
membayar sejumlah uang tunai atau memberikan barang yang dapat dinilai dengan
suatu harga tertentu, harus ditulis seluruhnya dengan tangan si penanda tangan
sendiri; setidak-tidaknya, selain tanda tangan, haruslah ditulis dengan tangan
si penanda tangan sendiri suatu tanda setuju yang menyebut jumlah uang atau banyaknya
barang yang terutang.
Jika hal ini tidak diindahkan, maka bila perikatan
dipungkiri, akta yang ditandatangani itu hanya dapat diterima sebagai suatu
permulaan pembuktian dengan tulisan.
Ketentuan-ketentuan pasal ini tidak berlaku terhadap
surat-surat andil dalam suatu utang obligasi, terhadap perikatan-perikatan
utang yang dibuat oleh debitur dalam menjalankan perusahaannya, dan terhadap
akta-akta di bawah tangan yang dibubuhi keterangan sebagaimana termaksud dalam
Pasal 1874 alinea kedua dan Pasal 1874 a.
1879. Jika jumlah yang disebutkan dalam akta berbeda
dari jumlah yang dinyatakan dalam tanda setuju, maka perikatan itu dianggap
telah dibuat untuk jumlah yang paling kecil, walaupun akta beserta tanda setuju
itu ditulis sendiri dengan tangan orang yang mengingatkan diri, kecuali bila
dapat dibuktikan, dalam bagian mana dari keduanya telah terjadi kekeliruan.
1880. Akta di bawah tangan, sejauh tidak dibubuhi
pernyataan sebagaimana termaksud dalam pasal 1874 alinea kedua dan dalam Pasal
1874 a, tidak mempunyai kekuatan terhadap pihak ketiga kecuali sejak hari
dibubuhi pernyataan oleh seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang
ditunjuk oleh undang-undang dan dibukukan menurut aturan undang-undang atau
sejak hari meninggalnya si penanda tangan atau salah seorang penanda tangan;
atau sejak hari dibuktikannya adanya akta di bawah tangan itu dari akta-akta
yang dibuat oleh pejabat umum; atau sejak hari diakuinya akta di bawah tangan
itu secara tertulis oleh pihak ketiga yang dihadapi akta itu.
1881. Daftar dan surat-surat urusan rumah tangga tidak
memberikan bukti untuk keuntungan pembuatnya; daftar dan surat itu merupakan
bukti terhadap pembuatnya:
1. dalam hal surat itu menyebutkan dengan tegas suatu pembayaran
yang telah diterima;
2. bila surat-surat itu dengan tegas menyebutkan bahwa
catatan yang telah dibuat adalah untuk memperbaiki suatu kekurangan dalam suatu
alas hak untuk kepentingan orang yang disebutkan dalam perikatan.
Dalam segala hal lainnya, Hakim akan memperhatikannya
sepanjang hal itu dianggap perlu.
1882. Dihapus dengan S. 1827-146
1883. Selama di tangan seorang kreditur,
catatan-catatan yang dibubuhkan pada suatu tanda alas hak harus dipercayai,
walaupun catatan-catatan itu tidak ditandatangani dan tidak diberi tanggal,
bila apa yang tertulis itu merupakan suatu pembebasan terhadap debitur.
Demikian pula catatan-catatan yang oleh seorang
kreditur dibubuhkan pada salinan suatu tanda alas hak atau suatu tanda
pembayaran, asalkan salinan atau tanda pembayaran ini masih di tangan kreditur.
1884. Atas biaya sendiri, pemilik suatu tanda alas hak
dapat mengajukan permintaan agar tanda alas hak itu diperbarui bila karena
lamanya atau suatu alasan lain tulisannya tidak dapat dibaca lagi.
1885. Jika suatu tanda alas hak menjadi kepunyaan
bersama beberapa orang, maka masing-masing berhak menuntut supaya tanda alas
hak itu disimpan di tempat netral, dan berhak menyuluh membuat suatu salinan
atau ikhtisar atas biayanya.
1886. Pada setiap tingkat perkara, masing-masing pihak
dapat meminta kepada Hakim, supaya pihak lawannya diperintahkan menyerahkan
surat-surat kepunyaan kedua belah pihak yang menyangkut hal yang sedang
dipersengketakan dan berada di tangan pihak lawan.
1887. Tongkat-tongkat berkelar yang sesuai dengan
pasangannya, jika digunakan di antara orang-orang yang biasa menggunakannya
untuk membuktikan penyerahan atau penerimaan barang dalam jual beli secara
kecil-kecilan.
1888. Kekuatan pembuktian dengan suatu tulisan
terletak pada akta aslinya. Bila akta yang asli ada, maka salinan serta kutipan
hanyalah dapat dipercaya sepanjang salinan serta kutipan itu sesuai dengan
aslinya yang senantiasa dapat diperintahkan untuk ditunjukkan.
1889. Bila tanda alas hak yang asli yang sudah tidak
ada lagi, maka salinannya memberikan bukti, dengan ketentuan-ketentuan sebagai
berikut:
1. salinan pertama (gross) memberikan bukti yang sama
dengan akta asli; demikian pula halnya salinan yang dibuat atas perintah Hakim
di hadapan kedua belah pihak atau setelah kedua pihak ini dipanggil secara sah
sebagaimana juga yang salinan dibuat di hadapan kedua belah pihak dengan
persetujuan mereka;
2. salinan yang dibuat sesudah pengeluaran salinan
pertama tanpa perantaraan Hakim atau tanpa persetujuan kedua belah pihak entah
oleh Notaris yang di hadapannya akta itu dibuat, atau oleh seorang penggantinya
ataupun oleh pegawai yang karena jabatannya menyimpan akta asli (minut) dan
berwenang untuk memberikan salinan-salinan, dapat diterima Hakim sebagai bukti
sempurna bila akta asli telah hilang;
3. bila salinan yang dibuat menurut akta asli itu
tidak dibuat oleh Notaris yang dihadapannya akta itu telah dibuat, atau oleh
seorang penggantinya, atau oleh pegawai umum yang karena jabatannya menyimpan
akta asli, maka salinan itu sama sekali tidak dapat dipakai sebagai bukti,
melainkan hanya sebagai bukti permulaan tertulis;
4. salinan otentik dari salinan otentik atau dari akta
di bawah tangan, menurut keadaan, dapat memberikan suatu bukti permulaan
tertulis.
1890. Penyalinan suatu akta dalam daftar umum hanya
dapat memberikan bukti permulaan tertulis.
1891. Akta pengakuan membebaskan seseorang dari
kewajiban untuk menunjukkan tanda alas hak yang asli, asal dari akta itu cukup
jelas isi alas hak tersebut.
1892. Suatu akta yang menetapkan atau menguatkan suatu
perikatan yang terhadapnya dapat diajukan tuntutan untuk pembatalan atau
penghapusan berdasarkan undang-undang, hanya mempunyai kekuatan hukum bila akta
itu memuat isi pokok perikatan tersebut, alasan-alasan yang menyebabkan dapat
dituntut pembatalannya, dan maksud untuk memperbaiki cacat-cacat yang sedianya
dapat menjadi dasar tuntutan itu.
Jika tidak ada akta penetapan atau penguatan, maka
cukuplah perikatan itu dilaksanakan secara sukarela, setelah saat perikatan itu
sedianya dapat ditetapkan atau dikuatkan secara sah.
Pembenaran, penguatan atau pelaksanaan suatu perikatan
secara sukarela dalam bentuk daripada saat yang diharuskan oleh undang-undang,
dianggap sebagai suatu pelepasan upaya pembuktian serta tangkisan-tangkisan
(eksepsi) yang sedianya dapat diajukan terhadap akta itu; namun hal itu tidak mengurangi
hak-hak pihak ketiga.
1893. Seorang pemberi hibah tidak dapat menghapuskan
suatu cacat-cacat bentuk penghibah itu dengan membuat suatu akta pembenaran;
penghibahan itu, agar sah, harus diulangi dalam bentuk yang ditentuakan oleh
undang-undang.
1894. Pembenaran, penguatan atau pelaksanaan secara
sukarela suatu penghibahan oleh ahli waris atau oleh mereka yang mendapatkan
hak dari pemberi hibah setelah pemberi hibah ini meninggal, menghapuskan hak
mereka untuk mengajukan tuntutan berdasarkan cacat dari bentuk penghibahan itu.
BAB III
PEMBUKTIAN DENGAN SAKSI-SAKSI
1895. Pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan
dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang.
1896-1901. Dihapus dengan S. 1938-276.
1902. Dalam hal undang-undang memerintahkan pembuktian
dengan tulisan, diperkenankan pembuktian dengan saksi, bila ada suatu bukti
permulaan tertulis, kecuali jika tiap pembuktian tidak diperkenankan selain
dengan tulisan.
Yang dinamakan bukti permulaan tertulis ialah segala
akta tertulis yang berasal dari orang yang terhadapnya suatu tuntutan diajukan
atau dari orang yang diwakili olehnya, dan yang kiranya membenarkan adanya
peristiwa hukum yang diajukan oleh seseorang sebagai dasar tuntutan itu.
1903. Dihapus dengan S. 1938- 276.
1904. Dalam pembuktian dengan saksi-saksi, harus
diindahkan ketentuan-ketentuan berikut.
1905. Keterangan seorang saksi saja tanpa alat
pembuktian lain, dalam Pengadilan tidak boleh dipercaya.
1906. Jika kesaksian-kesaksian berbagai orang mengenai
berbagai peristiwa terlepas satu sama lain, dan masing-masing berdiri sendiri,
namun menguatkan suatu peristiwa tertentu karena mempunyai kesesuaian dan
hubungan satu sama lain, maka Hakim, menurut keadaan, bebas untuk memberikan
kekuatan pembuktian kepada kesaksian-kesaksian yang berdiri sendiri itu.
1907. Tiap kesaksian harus disertai keterangan tentang
bagaimana saksi mengetahui kesaksiannya.
Pendapat maupun dugaan khusus, yang diperoleh dengan
memakai pikiran, bukanlah suatu kesaksian.
1908. Dalam mempertimbangkan suatu kesaksian, Hakim
harus memberikan perhatian khusus; pada kesesuaian kesaksian-kesaksian satu
sama lain; pada persamaan antara kesaksian-kesaksian dan apa yang diketahui
dari sumber lain tentang pokok perkara; pada alasan-alasan yang kiranya telah
mendorong para saksi untuk menerangkan duduknya perkara secara begini atau secara
begitu; pada peri kehidupan, kesusilaan dan kedudukan para saksi; dan umumnya,
ada apa saja yang mungkin ada pengaruhnya terhadap dapat tidaknya para saksi
itu dipercaya.
1909. Semua orang yang cakap untuk menjadi saksi,
wajib memberikan kesaksian di muka Hakim.
Namun dapatlah meminta dibebaskan dari kewajiban
memberikan kesaksian;
1.siapa saja yang mempunyai pertalian keluarga sedarah
dalam garis ke samping derajat kedua atau keluarga semenda dengan salah satu
pihak:
2. siapa saja yang mempunyai pertalian darah dalam
garis lurus tak terbatas dan dalam garis ke samping dalam derajat kedua dengan
suami atau isteri salah satu pihak;
3. siapa saja yang karena kedudukannya, pekerjaannya
atau jabatannya diwajibkan undang-undang untuk merahasiakan sesuatu, namun
hanya mengenai hal-hal yang dipercayakan kepadanya karena kedudukan, pekerjaan
dan jabatannya itu.
1910. Anggota keluarga sedarah dan semenda salah satu
pihak dalam garis lurus, diangap tidak cakap untuk menjadi saksi; begitu pula
suami atau isterinya, sekalipun setelah perceraian.
Namun demikian anggota keluarga sedarah dan semenda
cakap untuk menjadi saksi:
1. dalam perkara mengenai kedudukan keperdataan salah
satu pihak;
2. dalam perkara mengenai nafkah yang harus dibayar
menurut Buku Kesatu, termasuk biaya pemeliharaan dan pendidikan seorang anak
belum dewasa;
3. dalam suatu pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang
dapat menyebabkan pembasan atau pemecatan dari kekuasaan orangtua atau perwalian;
4. dalam perkara mengenai suatu perjanjian kerja.
Dalam perkara-perkara ini, mereka yang disebutkan
dalam Pasal 1909 nomor 1 dan 2, tidak berhak untuk minta dibebaskan dari kewajiban
memberikan kesaksian.
1911. Tiap saksi wajib bersumpah menurut agamanya,
atau berjanji akan menerangkan apa yang sebenarnya.
1912. Orang yang belum genap lima belas tahun, orang
yang berada di bawah pengampuan karena dungu, gila atau mata gelap, atau orang
yang atas perintah Hakim telah dimasukkan dalam tahanan selama perkara
diperiksa Pengadilan tidak dapat diterima sebagai saksi.
Hakim boleh mendengar anak yang belum dewasa atau
orang yang berada di bawah pengampuan yang kadang-kadang dapat berpikir saat
itu tanpa suatu penyumpahan, tetapi keterangan mereka hanya dapat dianggap
sebagai penjelasan.
Juga Hakim tidak boleh mempercayai apa yang menurut
orang tak cakap itu telah didengarnya, dilihatnya. dihadirinya dan dialaminya,
biarpun itu semua disertai keterangan tentang bagaimana ia mengetahuinya; Hakim
hanya boleh menggunakannya untuk mengetahui dan mendapatkan petunjuk-petunjuk
ke arah peristiwa-peristiwa yang dapat dibuktikan lebih lanjut dengan upaya
pembuktian biasa.
1913. Dihapus dengan S. 1925 - 625.
1914. Dihapus dengan S. 1926 - 570.
BAB IV
PERSANGKAAN
1915. Persangkaan ialah kesimpulan yang oleh undang-undang
atau oleh Hakim ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu
peristiwa yang tidak diketahui umum.
Ada dua persangkaan yaitu persangkaan yang berdasarkan
undang-undang dan persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang.
1916. Persangkaan yang berdasarkan undang-undang ialah
persangkaan yang dihubungkan dengan perbuatan tertentu atau peristiwa tertentu
berdasarkan ketentuan undang-undang.
Persangkaan semacam itu antara lain adalah;
1.perbuatan yang dinyatakan batal oleh undang-undang,
karena perbuatan itu semata-mata berdasarkan dari sifat dan wujudnya, dianggap
telah dilakukan untuk menghindari suatu ketentuan undang-undang;
2.pernyataan undang-undang yang menyimpulkan adanya
hak milik atau pembebasan utang dari keadaan tertentu;
3.kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada
suatu putusan Hakim yang memperoleh kekuatan hukum yang pasti;
4 kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada
pengakuan atau kepada sumpah salah satu pihak.
1917. Kekuatan suatu putusan Hakim yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang pasti hanya mengenai pokok perkara yang
bersangkutan.
Untuk dapat menggunakan kekuatan itu, soal yang
dituntut harus sama; tuntutan harus didasarkan pada alasan yang sama; dan harus
diajukan oleh pihak yang sama dan terhadap pihak-pihak yang sama dalam hubungan
yang sama pula.
1918. Suatu putusan Hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang pasti, yang menyatakan hukuman kepada seseorang yang karena
suatu kejahatan atau pelanggaran dalam suatu perkara perdata, dapat diterima
sebagai suatu bukti tentang perbuatan yang telah dilakukan, kecuali jika dapat
dibuktikan sebaliknya.
1919. Jika seseorang telah dibebaskan dari tuduhan
melakukan kejahatan atau pelanggaran terhadapnya, maka pembebasan tersebut
tidak dapat diajukan sebagai perkara perdata ke Pengadilan untuk menangkis
tuntutan ganti rugi.
1920. Putusan Hakim mengenai kedudukan hukum
seseorang, yang dijatuhkan terhadap orang yang menurut undang-undang berwenang
untuk membantah tuntutan itu, berlaku terhadap siapa pun.
1921. Suatu persangkaan menurut undang-undang,
membebaskan orang yang diuntungkan persangkaan itu dari segala pembuktian lebih
lanjut.
Terhadap suatu persangkaan menurut undang-undang,
tidak boleh diadakan pembuktian, bila berdasarkan persangkaan itu undang-undang
menyatakan batalnya perbuatan-perbuatan tertentu atau menolak diajukannya suatu
gugatan ke muka Pengadilan, kecuali bila undang-undang memperbolehkan pembuktin
sebaliknya, tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan mengenai sumpah di hadapan Hakim.
1922. Persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang
sendiri diserahkan kepada pertimbangan dan kewaspadaan Hakim, yang dalam hal
ini tidak boleh memperhatikan persangkaan-persangkaan yang lain.
Persangkaan-persangkaan yang demikian hanya boleh diperhatikan, bila
undang-undang mengizinkan pembuktian dengan saksi-saksi, begitu pula bila
terhadap suatu perbuatan atau suatu akta diajukan suatu bantahan dengan
alasan-alasan adanya itikad buruk atau penipuan.
BAB V
PENGAKUAN
1923. Pengakuan yang dikemukakan terhadap suatu pihak,
ada yang diberikan dalam sidang Pengadilan dan ada yang diberikan di luar
sidang Pengadilan.
1924. Suatu pengakuan tidak boleh dipisah-pisahkan
sehingga merugikan orang yang memberikannya.
Akan tetapi Hakim berwenang untuk memisah-misahkan
pengakuan itu, bila pengakuan itu diberikan oleh debitur dengan mengemukakan
peristiwa-peristiwa yang ternyata palsu untuk membebaskan dirinya.
1925. Pengakuan yang diberikan di hadapan Hakim,
merupakan suatu bukti yang sempurna terhadap orang yang telah memberikannya,
baik sendiri maupun dengan perantaraan seseorang yang diberi kuasa khusus untuk
itu.
1926. Suatu pengakuan yang diberikan dihadapan Hakim
tidak dapat dicabut kecuali bila dibuktikan bahwa pengakuan itu diberikan
akibat suatu kekeliruan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Dengan alasan terselubung yang didasarkan atas
kekeliruan-kekeliruan dalam menerapkan hukum, pengakuan tidak dapat dicabut.
1927. Suatu pengakuan lisan yang diberikan di luar
sidang pengadilan tidak dapat digunakan untuk pembuktian, kecuali dalam hal
pembuktian dengan saksi-saksi diizinkan.
1928. Dalam hal yang disebut pada penutup pasal yang
lalu, Hakimlah yang menentukan kekuatan mana yang akan diberikan kepada suatu
pengakuan lisan yang dikemukakan di luar sidang pengadilan.
BAB VI
SUMPAH DIHADAPAN HAKIM
1929. Ada dua macam sumpah dihadapan Hakim:
1º. sumpah yang diperintahkan ileh pihak yang satu
kepada pihak yang lain untuk pemutusan suatu perkara; sumpah itu disebut sumpah
pemutus;
2º. sumpah yang diperintahkan oleh Hakim karena jabatan
kepada salah satu pihak.
1930. Sumpah pemutus daapat diperintahkan dalam
persengketaan apa pun juga, kecuali dalam hal kedua belah pihak tidak
mengadakan suatu perdamaian atau dalam hal pengakuan mereka tidak boleh
diperhatikan.
Sumpah pemutus dapat diperintahkan pada setiap
tingkatan perkara, bahkan dalam hal tidak ada upaya pembuktian apa pun untuk
membuktikan tuntutan atau tangkisan yang memerlukan pengambilan sumpah itu.
1931. Sumpah itu hanya dapat diperintahkan untuk suatu
perbuatan yang telah dilakukan sendiri oleh orang yang menggantungkan perkara
pada sumpah itu.
1932. Barang siapa diperintahkan mengangkat sumpah
tetapi enggan mengangkatnya dan enggan mengembalikannya, dan barang siapa
memerintahkan pengangkatan sumpah dan enggan mengangkatnya setelah sum pah itu
dikembalikan kepadanya, harus dikalahkan dalam tuntutan atau tangkisannya.
1933. bila perbuatan yang harus dikuatkan dengan
sumpah itu bukan perbuatan kedua belah pihak, melainkan hanya perbuatan pihak
yang menggantungkan pemutusan perkara pada sumpah itu, maka sumpah tidak dapat
dikembalikan.
1934. Tiada sumpah yang dapat diperintahkan,
dikembalikan atau diterima, selain oleh pihak yang berperkara sendiri atau oleh
orang yang diberi kuasa khusus untuk itu.
1935. Barang siapa telah memerintahkan atua
mengembalikan sumpah, tidak dapat mengembalikan perbuatannya itu, jika pihak
lawan sudah mengatakannya bersedia mengangkatnya.
1936. Bila sumpah pemutus telah diangkatnya, entah
oleh pihak yang diperintahkan mengangkat sumpah itu, atau oleh pihak yang
kepadanya dikembalikan sumpah itu, maka pihak lawan tidak boleh membuktikan
kepalsuan sumpah itu.
1937. Sumpah tidak memberikan bukti selain untuk
keuntungan atau untuk kerugian orang yang telah memerintahkan atau
mengembalikannya, serta para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak
dari mereka.
1938. Namun demikian, dalam suatu perikatan
tanggung-menanggung, seorang debitur yang diperintahkan bersumpah oleh salah
seorang kreditur dan mengangkat sumpahnya, hanya dibebaskan untuk jumlah yang
tidak lebih daripada begian kreditur tersebut. Sumpah yang diangkat oleh
debitur utama, membebaskan para penanggung utang.
1939. Sumpah yang diangkat oleh salah seorang debitur
utama menguntungkan orang-orang yang turut berutang, sedangkan sumpah yang
diangkat oleh penanggung utang menguntungkan debitur utama, jika dalam kedua
hal tersebut sumpah itu telah diperintahkan atau dikembalikan, tetapi hanya
mengenai utang itu sendiri, dan bukan mengenai pokok perikatan tanggung-menanggung
atau penanggungnya.
1940. Hakim, karena jabatannya, dapat memerintahkan
salah satu pihak yang berperkara untuk mengangkat sumpah, supaya dengan sumpah
itu dapat diputuskan perkara itu atau dapat ditentukan jumlah uang yang dikabulkan.
1941. Ia dapat berbuat demikian, hanya dalam dua hal:
1º. jika tuntutan maupun tangkisan itu tidak terbukti
dengan sempurna;
2º. jika tuntutan maupun tangkisan itu tidak sama
sekali tak dapat dibuktikan.
1942. Sumpah untuk menetapkan harga barang yang
dituntut tidak dapat diperintahkan oleh Hakim kepada penggugat, kecuali bila
harga itu tidak dapat ditentukan dengan cara apapun juga selain dengan sumpah.
Bahkan dalam hal yang demikian Hakim harus menetapkan
sampai sejauhmana penggugat dapat dipercaya berdasarkan sumpahnya.
1943. Sumpah yang diperintahkan Hakim kepada salah
satu pihak yang berperkara, tak dapat dikembalikan oleh pihak ini kepada pihak
lawannya.
1944. Sumpah harus diangkat dihadapan Hakim yang
memeriksa perkaranya. Jika ada suatu halangan yang sah yang menyebabkan hal ini
tidak dapat dilaksanakan, maka majelis Pengadilan dapat mengusahakan salah
seorang Hakim anggotanya agar pergi kerumah atau tempat kediaman orang yang
harus mengangkat sumpah untuk mengambil sumpahnya.
Jika dalam hal demikian itu rumah atau tempat
kediaman itu terlalu jauh atau terletak diluar daerah hukum majelis Pengadilan
itu, maka majelis ini dapat memerintahkan pengambilan sumpah kepada Hakim atau
kepada pemerintah daerah yang didaerah hukumnya terletak rumah atau tempat
orang yang diwajibkan mengangkat sumpah.
1945. Jika sumpah harus diangkat sendiri.
Jika ada alasan-alasan penting, Hakim boleh
mengijinkan pihak yang berperkara untuk mengangkat sumpahnya dengan perantara
seseorang yang diberikan kuasa khusus untuk itu dengan suatu akta otentik.
dalam hal demikian, surat kuasa itu harus memuat
sumpah yang harus diucapkan itu secara lengkap dan tepat.
Tidak sumpah yang boleh diangkat tanpa kehadiran pihak
lawan atau sebelum pihak lawan ini dipanggil secara sah.
BAB VII
LEWAT WAKTU
BAGIAN I
Lewat Waktu pada Umumnya
1946. Lewat waktu ialah suatu sarana hukum untuk
memperoleh sesuatu atau suatu alasan untuk dibebaskan dari suatu perikatan
dengan lewatnya waktu tertentu dan dengan terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan
dalam undang-undang.
1947. Seseorang tidak boleh melepaskan lewat waktu
sebelum tiba waktunya tetapi boleh melepaskan suatu lewat waktu yang telah
diperolehnya.
1948. Pelepasan lewat waktu dapat dilakukan secara
tegas atau secara diam-diam. Pelepasan secara diam-diam disimpulkan dari suatu
perbuatan yang menimbulkan dugaan bahwa seseorang tidak hendak menggunakan
suatu hak yang telah diperolehnya.
1949. Barangsiapa tidak diperbolehkan
memindahtangankan sesuatu, juga tidak boleh melepaskan lewat waktu
diperolehnya.
1950. Hakim, karena jabatannya, tidak boleh mempergunakan
lewat waktu.
1951. Pada setiap tingkat pemeriksaan perkara, dapat
diajukan adanya lewat waktu, bahkan pada tingkat banding pun.
1952. Kreditur atau orang lain yang berkepentingan
dapat melawan pelepasan lewat waktu yang dilakukan oleh debitur yang secara
curang bermaksud mengurangi hak kreditur atau orang yang lain tersebut.
1953. Seseorang tidak dapat menggunakan lewat waktu
untuk memperoleh hak milik atas barang-barang yang tidak beredar dalam
perdagangan.
1954. Pemerintah yang mewakili negara, Kepala
Pemerintahan Daerah yang bertindak dalam jabatannya, dan lembaga-lembaga umum,
tunduk pada lewat waktu sama seperti orang perseorangan, dan dapat
menggunakannya dengan cara yang sama.
1955. Untuk memperoleh hak milik atas sesuatu dengan
upaya lewat waktu, seseorang harus bertindak sebagai pemilik sesuai itu dengan
menguasainya secara terus-menerus dan tidak terputus- putus, secara terbuka di
hadapan umum dan secara tegas.
1956. Perbuatan memaksa, perbuatan sewenang-wenang
atau perbuatan membiarkan begitu saja, tidaklah menimbulkan suatu besit yang
dapat membuahkan lewat waktu.
1957. Seseorang yang sekarang menguasai suatu barang,
yang membuktikan bahwa ia menguasai sejak dulu, dianggap juga telah
menguasainya selama selang waktu antara dulu dan sekarang, tanpa mengurangi pembuktian
hal yang sebaliknya.
1958. Untuk memenuhi waktu yang diperlukan untuk lewat
waktu, dapatlah seseorang menambah waktu selama ia berkuasa dengan waktu selama
berkuasanya orang yang lebih dahulu berkuasa dari siapa ia telah memperoleh
barangnya, tak peduli bagaimana ia menggantikan orang itu, baik dengan alas hak
umum maupun dengan alas hak khusus, baik dengan cuma-cuma maupun atas beban.
1959. Orang yang menguasai suatu barang untuk orang
lain, begitu pula ahli warisnya, sekali-kali tidak dapat memperoleh sesuatu
dengan jalan lewat waktu, berapa lama pun waktu yang telah lewat.
Demikian pula seorang penyewa, seorang penyimpan,
seorang penikmat hasil, dan semua orang lain yang memegang suatu barang
berdasarkan suatu persetujuan dengan pemiliknya, tak dapat memperoleh barang
itu
1960. Mereka yang disebutkan dalam pasal yang lalu
dapat memperoleh hak milik dengan jalan lewat waktu, jika alas hak besit mereka
telah berganti, baik karena suatu sebab yang berasal dari pihak ketiga, maupun
karena pembantahan yang mereka lakukan terhadap hak milik.
1961. Mereka yang telah menerima suatu barang, yang
diserahkan dengan alas hak yang dapat memindahkan hak milik oleh penyewa,
penyimpan dan orang-orang lain yang menguasai barang itu berdasarkan suatu
persetujuan dengan pemiliknya, dapat memperoleh barang tersebut dengan jalan
lewat waktu.
1962. Lewat waktu dihitung menurut hari, bukan menurut
jam.
Lewat waktu itu diperoleh bila hari terakhir dari
jangka waktu yang diperlukan telah lewat.
BAGIAN 2
Lewat Waktu Sebagai Suatu Sarana Hukum untuk
Memperoleh Sesuatu
1963. Seseorang yang dengan itikad baik memperoleh
suatu barang tak bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yang tidak
harus dibayar atas tunjuk dengan suatu besit selama dua puluh tahun, memperoleh
hak milik atasnya dengan jalan lewat waktu.
Seseorang yang dengan itikad baik menguasai sesuatu
selama tiga puluh tahun memperoleh hak milik tanpa dapat dipaksa untuk
menunjukkan alas haknya.
1964. Suatu tanda alas hak yang batal karena suatu
cacat dalam bentuknya tidak dapat digunakan sebagai dasar suatu lewat waktu
selama dua puluh tahun.
1965. Itikad baik harus selalu dianggap ada, dan
barangsiapa mengajukan tuntutan atas dasar itikad buruk, wajib membuktikannya.
1966. Cukuplah bila pada waktu memperoleh sesuatu itu
itikad baik itu sudah ada.
BAGIAN 3
Lewat Waktu Sebagai Suatu Alasan untuk Dibebaskan dari
Suatu Kewajiban
1967. Semua tuntuan hukum, baik yang bersifat
kebendaan maupun yang bersifat perorangan, hapus karena lewat waktu dengan
lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan orang yang menunjuk adanya lewat
waktu itu, tidak usah menunjukkan suatu alas hak, dan terhadapnya tak dapat diajukan
suatu tangkisan yang didasarkan pada itikad buruk.
1968. Tuntutan para ahli dan pengajar dalam bidang
kebudayaan dan ilmu pengetahuan, untuk pelajaran yang mereka berikan dalam
tiap-tiap bulan atau waktu yang lebih pendek;
tuntutan para penguasa rumah penginapan dan rumah
makan, untuk pemberian penginapan serta makanan;
tuntutan para buruh yang upahnya harus dibayar dalam
bentuk uang tiap-tiap kali setelah lewat waktu yang kurang dari satu triwulan,
untuk mendapat pembayaran upah mereka serta jumlah kenaikan upah itu menurut
Pasal 1602q;
semua tuntutan ini lewat waktu dengan lewatnya waktu
satu tahun.
1969. Tuntutan para dokter dan ahli obat-obatan, untuk
kunjungan dalam memberikan pelayanan kesehatan, perawatan dan pemberian
obat-obatan;
tuntutan para juru sita, untuk upah mereka dalam
memberitahukan akta-akta dan melaksanakan tugas yang diperintahkan kepada
mereka;
tuntutan para pengelola sekolah berasrama, untuk uang
makan dan pengajaran bagi muridnya, begitu pula tuntutan pengajar-pengajar lainnya
untuk pengajaran yang mereka berikan;
tuntutan pada buruh, kecuali mereka yang dimaksudkan
dalam Pasal 1968, unuk pembayaran upah mereka serta jumlah kenaikan upah itu
menurut Pasal 1602 q;
semuanya lewat waktu dengan lewatnya waktu dua ahun.
1970. Tuntutan para advokat untuk pembayaran jasa
mereka dan tuntutan para pengacara untuk pembayaran persekot dan upah mereka,
hapus karena lewat waktu dengan lewatnya waktu dengan lewatnya waktu dua tahun,
terhitung sejak hari diputusnya perkara, hari tercapainya perdamaian antara
pihak-pihak yang berperkara, atau hari dicabutnya kuasa pengacara itu.
Dalam hal perkara yang tidak selesai, tak dapatlah
mereka menuntut pembayaran persekot dan jasa yang telah ditunggak lebih dari
sepuluh tahun.
Tuntutan para Notaris untuk pembayaran persekot dan
upah mereka, lewat waktu juga dengan lewatnya waktu dua tahun, terhitung sejak
hari dibuatnya akta yang bersangkutan.
1971. Tuntutan para tukang kayu, tukang batu dan
tukang lain untuk pembayaran bahan-bahan yang mereka berikan dan upah-upah
mereka;
tuntutan para pengusaha toko untuk pembayaran
barang-barang yang telah mereka serahkan, sekedar tuntutan ini mengenai
pekerjaan dan penyerahan yang tidak mengenai pekerjaan tetap debitur;
semua itu lewat waktu dengan lewatnya waktu lima
tahun.
1972. Lewat waktu yang disebutkan dalam keempat pasal
yang lalu terjadi, meskipun seseorang terus melakukan penyerahan, memberikan jasa
dan menjalankan pekerjaannya
Lewat waktu itu hanya berhenti berjalan, bila dibuat
suatu pengakuan utang tertulis, atau bila lewat waktu dicegah menurut Pasal
1979 dan 1980.
1973. Namun demikian, orang yang kepadanya diajukan
lewat waktu yang disebut dalam Pasal 1968, 1969, 1970 dan 1971, dapat menuntut
supaya mereka yang menggunakan lewat waktu itu bersumpah bahwa utang mereka
benar-benar telah dibayar.
Kepada para janda dan para ahli waris, atau jika
mereka yang disebut terakhir ini belum dewasa, kepada para wali mereka, dapat
diperintahkan sumpah untuk menerangkan bahwa mereka tidak tahu tentang adanya
utang yang demikian.
1974. Para Hakim dan Pengacara tidak bertanggung jawab
atas penyerahan surat-surat setelah lewat waktu lima tahun sesudah pemutusan
perkara.
Para juru sita dibebaskan dari pertanggungjawaban
tentang hak itu setelah lewat waktu dua tahun, terhitung sejak pelaksanaan
kuasa atau pemberitahuan akta-akta ditugaskan kepada mereka.
1975. Bunga atas bunga abadi atau bunga cagak hidup;
bunga atas tunjangan tahunan untuk pemeliharaan;
harga sewa rumah dan tanah;
bunga atas utang pinjaman, dan pada umumnya segala
sesuatu yang harus dibayar tiap tahun atau tiap waktu tertentu yang lebih
pendek;
semua itu lewat waktu setelah lewatnya waktu lima
tahun.
1976. Lewat waktu yang diatur dalam Pasal 1968 dan
seterusnya dalam bab ini, berlaku bagi anak-anak yang belum dewasa dan
orang-orang yang berada di bawah pengampuan; hal ini tidak mengurangi tuntutan
mereka akan ganti rugi terhadap para ahli waris atau para pengampu mereka.
1977. Barangsiapa menguasai barang bergerak yang tidak
berupa bunga atau piutang yang tidak harus di bayar atas tunjuk, dianggap
sebagai pemiliknya sepenuhnya.
Walaupun demikian, barangsiapa kehilangan atau
kecurian suatu barang, dalam jangka waktu tiga tahun, terhitung sejak hari
barang itu hilang atau dicuri itu dikembalikan pemegangnya, tanpa mengurangi
hak orang yang disebut terakhir ini untuk minta ganti rugi kepada orang yang
menyerahkan barang itu kepadanya, pula tanpa mengurangi ketentuan Pasal 582.
BAGIAN 4
Sebab-sebab yang Mencegah Lewat Waktu
1978. Lewat waktu dicegah bila pemanfaatan barang itu
dirampas selama lebih dari satu tahun dari tangan orang yang menguasainya, baik
oleh pemiliknya semula maupun oleh pihak ketiga.
1979. Lewat waktu itu dicegah pula oleh suatu
peringatan, suatu gugatan, dan tiap perbuatan-perbuatan berupa tuntutan hukum,
masing-masing dengan pemberitahuan dalam bentuk yang telah ditentukan,
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dalam hal itu atas nama pihak yang
berhak, dan disampaikan kepada orang yang berhak dicegah memperoleh lewat waktu
itu.
1980. Gugatan di muka Hakim yang tidak berkuasa, juga
mencegah lewat waktu.
1981. Namun lewat waktu tidak dicegah, bila peringatan
atau gugatan dicabut atau dinyatakan batal, entah karena penggugat menggugurkan
tuntutannya, entah karena tuntutan itu dinyatakan gugur akibat lewat waktunya.
1982. Pengakuan akan hak seseorang yang terhadapnya
lewat waktu berjalan, yang diberikan dengan kata-kata atau dengan perbuatan
oleh orang yang menguasainya atau dibitur, juga mencegah lewat waktu.
1983. Pemberitahuan menurut Pasal 1979 kepada salah
seorang debitur dalam perikatan tanggung-menanggung, atau pengakuan orang
tersebut, mencegah lewat waktu terhadap para debitur lain, bahkan pula terhadap
para ahli waris mereka.
Pemberitahuan kepada ahli waris salah seorang debitur
dalam perikatan tanggung- menanggung, atau pengakuan ahli waris tersebut,
tidaklah mencegah lewat waktu terhadap para ahli waris debitur lainnya, bahkan
juga dalam hal suatu utang hipotek, kecuali untuk bagian ahli waris tersebut.
Dengan pemberitahuan atau pengakuan itu maka lewat
waktu terhadap para debitur lain tidak dicegah lebih lanjut, kecuali untuk
bagian ahli waris tersebut.
Untuk mencegah lewat waktu seluruh utang terhadap para
debitur lainnya, perlu ada sesuatu pemberitahuan kepada semua ahli waris atau
suatu pengakuan dari semua ahli waris itu.
1984. Pemberitahuan yang dilakukan kepada debitur
utama atau pengakuan yang diberikan oleh debitur utama mencegah lewat waktu
terhadap penanggung utang.
1985. Pencegahan lewat waktu yang dilakukan oleh salah
seorang kreditur dalam suatu perikatan tanggung-menanggung berlaku bagi semua
kreditur lainnya.
BAGIAN 5
Sebab-sebab yang Menangguhkan Lewat Waktu
1986. Lewat waktu berlaku terhadap siapa saja, kecuali
terhadap mereka yang dikecualikan oleh undang-undang.
1987. Lewat waktu tidak dapat mulai berlaku atau
berlangsung terhadap anak-anak yang belum dewasa dan orang-orang yang ada di
bawah pengampuan, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang.
1988. Lewat waktu tidak dapat terjadi di antara suami
istri.
1989. Lewat waktu tidak berlaku terhadap seorang istri
selama ia berada dalam status perkawinan:
1. bila tuntutan istri tidak dapat diteruskan, kecuali
setelah ia memilih akan menerima persatuan atau akan melepaskannya
2. bila suami, karena menjual barang milik pribadi
istri tanpa persetujuannya, harus menanggung penjualan itu, dan tuntutan istri
harus ditujukan kepada suami.
1990. Lewat waktu tidak berjalan:
terhadap piutang yang bersyarat, selama syarat ini
tidak dipenuhi;
dalam hal suatu perkara untuk menanggung suatu
penjualan, selama belum ada putusan untuk menyerahkan barang yang bersangkutan
kepada orang lain;
terhadap suatu piutang yang baru dapat ditagih pada
hari yang telah ditentukan, selama hari itu belum tiba.
1991. Terhadap seorang ahli waris yang telah menerima
suatu warisan dengan hak istimewa untuk membuat pendaftaran harta peninggalan,
tidak dapat dikenakan lewat waktu mengenai piutang-piutangnya terhadap harta
peninggalan.
Lewat waktu berlaku terhadap suatu warisan yang tak
terurus, meskipun tidak ada pengampu warisan itu.
1992. Lewat waktu itu berlaku selama ahli waris masih
mengadakan perundingan mengenai warisannya.
KETENTUAN PENUTUP
1993. Lewat waktu yang sudah mulai berjalan sebelum
Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini diundangkan, harus diatur menurut
undang-undang yang pada saat itu berlaku di Indonesia.
Namun lewat waktu demikian yang menurut
perundang-undangan lama masih membutuhkan waktu selama lebih dari tiga puluh
tahun, terhitung sejak Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini diundangkan, akan
terpenuhi dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Rangkuman Materi Hukum Perdata
Semester II Fakultas Hukum Untirta (Dosen: Ibu Anne Gunawati)
Syahrani,Riduan.2006. Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung:PT.Alumni..
Darus,Mariam Badrulzaman.2001. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung:PT.Citra Aditiya Bakti.
Subekti.2003. Pokok-pokok
Hukum Perdata.Jakarta:PT.Intermasa.
Anonym.2012.https://cszoel.wordpress.com/2012/06/01/hukum-perikatan-diatur-dalam-buku-iii-bw.html.
Diakses pada 21 juli 2013.
Anonym.2013.http://ilmuhukumuin-suka.blogspot.co.id/2013/05/pengertian-hukum-perdata.html.
Diakses pada