Senin, 23 April 2018

PRO KONTRA PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA OLEH DPRD


MOSI: GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DIPILIH OLEH
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD)
Oleh: Restu Gusti Monitasari
PRO
Pancasila merupakan staatfundamental norm Negara Republik Indonesia maka sudah        sepatutnya pandangan hidup bangsa didasarkan pada sila-sila yang termachtub didalam Pancasila itu sendiri. Sila ke empat Pancasila mengatakan bahwa “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” yang mana sila tersebut mengandung salah satu  unsur mengenai teori perwakilan, dan  negara Indonesia ini sendiri mencerminkan bentuk perwakilan kedalam bentuk lembaga negara yang ada di pusat yaitu DPR, DPD dan MPR juga di daerah yaitu DPRD, yang mana keseluruhnya merupakan representative rakyat yang semata-mata bergerak untuk kepentingan rakyat dengan tugas dan wewenang masing-masing sesuai amanat konstitusi.
Mengenai pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota atau lebih mudahnya disebut sebagai kepala daerah, sejatinya secara yuridis hal ini telah diatur didalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Apabila kita amati secara seksama, terdapat kerancuan implementasi untuk memaknai frasa “dipilih secara demokratis’, apakah demokratis yang dimaksud merupakan pemilihan secara langsung? Atau tidak langsung melalui wakil rakyat? Karena apabila kita kerucutkan kepada teori demokrasi, makna demokratis menurut badan Bahasa Republik Indonesia yaitu, Demokratis berarti hal yang bersifat demokrasi atau negara yang bersifat demokrasi. Sedangkan demokrasi itu sendiri dimaknai sebagai bentuk atau system pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah melalui perantara wakilnya. Artinya terdapat dua pembagian system demokrasi ini, yaitu demokrasi langsung yang pemilihannya dilakukan oleh rakyat, dan demokrasi tidak langsung yang pemilihannya dilakukan oleh wakil rakyat hal ini slaras dengan yang dikatakan oleh Carol C. Gould seorang Philosophy and political sciene the cuny graduate. Namun yang perlu digaris bawahi ialah baik pemilihan langsung oleh rakyat maupun tidak langsung yaitu melalui wakil rakyat, keduanya merupakan pengejawantahan dari makna demokratis itu sendiri, yang artinya apabila pemilihan dilakukan secarara tidak langsung yaitu melalui wakil rakyat yang dalam pemilihan kepala daerah ini dilakukan oleh DPRD tidaklah menciderai makna dalam pengimplementasian frasa “demokratis” sesuai yang diamanatkan oleh konstitusi.
Pemilihan kepala daerah oleh DPRD ini sejatinya telah dilaksanakan pada awal reformasi yang merupakan akhir dari keruntuhan orde baru yang dilegitimasi kedalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, dengan mekanisme pencalonan dari fraksi-fraksi di DPRD dan di pilih oleh anggota DPRD. Yang mana apabila kita kaji dalam kurun waktu sebelum tahun 2004 maka ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan untuk menganibi secara seksama pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
v  Dari sudut asas Utilitarianisme/utilitas atau asas kebermanfaatan
Teori ini diusulkan oleh David Hume (seorang Filsuf Skotlandia), yang secara utuh dirumuskan oleh Jeremy Bentham (seorang Filsuf empirisme dalam bidang moral dan politik sekaligus pendiri utilitarianisme inggris) yang selanjutnya dikembangkang secara lebih luas oleh James Mil (Filsuf empiris inggris), yang man melalui teori ini dapat kita lihat kebermanfaatan yang didapat apabila kepala daerah dipilih oleh DPRD, diantaranya yaitu:
1)      Efisiensi Anggaran
Karena apa bila kita lihat kondisi saat ini yang mana pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung sangat memboroskan anggaran khususnya anggaran daerah, bahkan bagi daerah yang kemampuan fiskal nya rendah, karena anggaran harus dikeluarkan urusan persiapan dan pelaksanaan pemilihan yang mana didalam hal ini terdapat beberapa pihak yaitu KPUD, BAWASLU provinsi, kabupaten, dan kota, dan biaya pengamanan negara. Hal tersebut lah yang menyebabkan besarnya anggaran yang dikeluarkan meskipun dengan dalih pemilihan secara langsung kini dilakukan secara serentak untuk mengefisiensikan anggaran, karena nyatanya terbukti dari data KPU yang mencatat di tahun 2015 anggaran yang dikeluarkan sebesar 7,1 Triliun Rupiah untuk pemilihan kepalah daerah secara langsung di 269 daerah yang terdiri dari atas 9 provinsi, 30 kota, dan 230 kabubaten. Di tahun 2017 anggaran yang dikeluarkan sebesar 4,2 Triliun Rupiah untuk pemilihan kepala darah secara langsung di 101 daerah yang terdiri atas 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten. Dan di 2018 ini menurut keterangan Arief Budiman selaku komisioner KPU pemilihan kepala daerah akan digelar di 171 daerah dengan rincian 17 daerah pilgub, 39 daerah pemilihan walikota, dan 115 pemilihan bupati, dengan perkiraan anggaran mencapai 20 Trilliun.
Dari rincian anggara tersebut, jelas bahwa hal tersebut sangat lah memakan banyak anggaran negara. Yang apabila kita lihat permasalahan yang ada didalam negara Indonesia ini, jelas tentu anggaran besar tersebut dapat dialokasikan untuk mengatasi permasalah yang ada, seperti hal nya untuk mengatasi masalah kemiskinan penduduk di Indonesia, karena menurut data sensed BPS pada bulan September 2017 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 26,58 juta jiwa dari kurang lebih 262 juta jiwa penduduk Indonesia atau 10,12%, dengan rincian kurun waktu maret 2017 sampai September 2017 jumlah penduduk miskin didaerah perkotaan sebesar 7,26% dan di daerah pedesaan sebesar 13,47%. Belum lagi mengenai hutang negara yang naik menjadi 9,1% yang menurut data Bank Indonesia pada akhir November 2017 tercatat sebesar 347,3 Miliar Dollar AS atau setara dengan Rp.4.636,455 Trilliun dengan Kurs Rp.13.350 perdollar AS.
Yang mana apabila pemilihan kepala daerah dilakukan secara tidak langsung sudah pasti tidak akan memakan besar anggaran karena tidak adanya pihakpihak yang dilibatkan seperti dalam pemilihan langsung yang menyebabkan membengkaknya anggaran negara, kemudian kecilnya biaya politik dikeluarkan yang baik oleh individu maupun korporasi apabila pemilihan kepala daerah dilakukan secara tidak langsung berbeda dengan dilakukan secara langsung karena menurut Rahmat Hollyson Mz dan Sri Sundari tahun 2015 biaya politik yang dikelurkan dalam pemilihan secara langsung itu meliputi, (1) biaya pembelian “perahu” yaitu proses rekrutmen untuk memilih anggotanya dalam rangka untuk menduduki jabatan-jabatan public dan administrasi. (2) biaya survey dan konsultan politik, (3) biaya kampanye terbuka dan tertutup. (4) biaya operasional tim survey.
2)      Meminimalisir konflik hasil pemilihan kepal daerah
Karena apabila kita lihat pemilihan kepala daerah secara langsung, Berdasarkan catatan Kesbagppol Depdagri dari 486 pemilihan kepala daerah yang digelar di tahun 2005 sampai 2008 hampir separuhnya bermasalah. Di tahun 2010 ada 224 daerah yang menyelenggarakan pemilihan kepala daerah, dan sebanyak 73% diwarnai dengan gugatan. Kemudian di tahun 2017 terdapat 49 perkara yang masuk ke Mahkamah Konstitusi dengan masa pembukaan pendaftaran sengketa pilkada sejan 22 februari 2017.
3)      Meminilisir tingkat kerusuhan
Apabila berkaca pada pemilihan kepala daerah secara langsung, menurut data yang disampaikan oleh direktur jendral otonomi daerah yang berasal dari data kementerian dalam negeri, mulai tahun 2005 sampai awal 2013 jumlah korban tewas mencapai 59 orang akibat kerusuhan di lokasi pemilihan kepala daerah secara langsung. Hal ini erbeda dengan masa sebelum tahun 2004 yang mana pemilihan di lakukan oleh DPRD tidak ada kerusuhan yang menyebabkan korban tewas.
4)      Mengatasi maslah korupsi
Menurut Abustan (2013), Indonesia di tahun 2009 masuk kedalam 10 negara terkorup di dunia, diperjelas melalui data Indonesia Corruption Watch (ICW) bahwa semenjak pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung tercatat di tahun 2005 sampai 2017 jumlah korupsi diindonesia selalu meningkat, apabila dirinci, sector keuangan daerah menjadi penyumbang potensi kerugian negara terbesar diakibatkan kasus korupsi yang terjadi dalam semester pertama di tahun 2010 sekitar Rp. 596,23 Miliar dan total kerugian Rp. 1,2 Trilliun kerugian negara akibat korupsi. Temuan ICW tampaknya parallel dengan data kemendagri sampai bulan desember 2014 tercatat 343 orang yang merupakan gubernur, bupati, dan walikota yang tersandung masalah hukum baikdi kejaksaan, polisi, maupun KPK berkaitan dengan masalah anggaran pengelolaan keuangan daerah yang bersumber pada penyusunan anggaran, pajak dan retribusi.
setelah dikaji dengan hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) indikasi korupsi yang terjadi diakibatkan karena pembiayan pemilihan kepala daerah dan biaya kampanye yang jauh lebih besar dibanding harta kas (uang tunai, tabungan dan deposito) dan total harta yang mereka cantumkan dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara. Hal ini lah yang menyebabkan kepala daerah terpilih merasa memiliki tanggung jawab pribadi maupun corporasi untuk mengembalikan modal biaya politik yang telah di keluarkan saat masa pencalonan, dengan cara melakukan tindakan korupsi anggaran daerah. Hal ini sesuai dengan penjelasan data hasil kajian  KPK, bahwa atas pendanaan pemilihan kepala daerah di tahun 2015 menunjukan sebanyak 51,4% responden kajian KPK yang merupakan bekas calon kepala daerah mengeluarkan dana kampanye melebihi hart akas, bahkan 16,1% mengeluarkan dana kampanye melebihi harta kekayaan yang dilaporkan, ternyata dana yang didapat kan ialah dari adanya donator kampanye, yang mana donator kampanye ini memiliki  tujuan tersendiri kepada calon kepala daerah yang nantinya akn menjabat (mengharapkan balasan) dan diketahui dari data yang sama ternyata 56,3% responden mengatakan tahu bahwa “donator kampanye” mengharapkan balasan saat calon kepala daerah telah terpilih. Dan ditemui fakta bahwa 75,8% responden akan mengabulkan permohonan donator. Dan 65,7% donator menghendaki kemudahan perizinan usaha dari calon kepala daerah ataupun anggaran daerah. Jelas hal ini lah yang menyebabkan banyaknya korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah dengan system pemilihan secara langsung, karena setiap calon kepala daerah memiliki tanggung jawab atas upaya yang teah dilakukan selama masa pencalonan, dan tanggung jawab tersebut bukan murni kepada rakyat melainkan tanggung jawab kepada pihak yang telah membantunya dalam pencalonan sehingga kepala daerah tersebut telah terpilih hal utama yang ia lakukan ialah melakukan pengembalian modal untuk keuntungan pribadi maupun corporasi.
Fenomena kepala daerah yang melakukan korupsi bukan hanya sebatas asumsi semata, melainkan sebuah fakta yang telah hidup dan berkembang di negara Indonesia ini. Dapat  kita lihat dari data ICW terkait daftar kepala daerah yang telah melakukan korupsi semenjak pemilihan dilakukan secara langsung, dari sekian banyak nama kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi, penulis hanya akan menyebutkan beberapa nama saja, pertama, kasus Eep Hidayat (Bupati Subang) terpidana kasus korupsi biaya pemungutan pajak bumi dan bangunan senilai Rp. 14 Milliar (tahun 2005 sampai 2008). Kedua, Mochtar Muhammad seorang walikota terpidana kasus suap kepengurusan hak guna usaha perkebunan kelapa sawit PT. Hardaya inti Plantations atau PT. Cipta Cakra Murdaya tahun 2011. Dan ketiga, Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang terjerat kasus korupsi alat kesehatan tahun 2012 sebesar Rp. 3,8 Milliar.
Fakta-fakta yang terungkap mengenai kepala daerah yang dipilih secara langsung, telah memberika kesimpulan bahwa semua itu telah bertentangan dengan tujuan di adakannya pemilihan kepala daerah secara langsung. Maka atas hal tersebut lah sudah seharusnya pemilihan kepala daerah dilakukan secara tidak langsung yaitu melalui DPRD selain tidak menciderai demokrasi, tetapi juga dapat memberikan kebermanfaatan mulai dari  efisiensi waktu, efisiensi anggaran, dan efektifitas pelaksanaan. Selaras dengan pemikiran Prof. Mahfud MD yang menyatakan bahwa “secara substansi akan lebih baik pemilihan kepala daerah di kembalikan kepada DPRD sebab pemilihan kepala daerah secara langsung lebih banyak mudaratnya (ketidak bermanfaatannya) dibanding manfaatnya”.


KONTRA
kedaulayan rakyat adalah kekuasaan yang dijalani oleh rakyat atas nama rakyat di atas dasar permusyawaratan”—Mohammad Hatta (wakil presiden Republik Indonesia yang pertama)
Dari penggalan kalimat itulah kita dapat memahami, bahwa makna kedaulatan rakyat yang diamanatkan oleh konstitusi yaitu pada pasal 1 ayat (2) UUD NRI tahun 1945 ialah rakyat yang memegang penuh kendali kekuasaan, sehingga terbentuklah rekontruksi demokrasi baik pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung oleh rakyat, sebagai bentuk pengejawantahan dari kedaulatan rakyat itu sendiri.
Secara historis, Sebelum amandemen UUD 1945, Kepala daerah tidak dipilih oleh rakyat maupun DPRD melainkan ditunjuk dan dilantik oleh Presiden. Baru setelah amandemen, pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis. Pasal 1 (2) UUD NRI 1945 “Kedaulatan Berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan UUD”
Kedaulatan berada di tangan rakyat, sudah sepantasnya rakyatlah yang memilih secara langsung siapa yang akan memimpin mereka. Rakyat merupakan satu kesatuan individu melalui perjanjian masyarakat.
Era reformasi yang ditandai runtuhnya orde baru merubah tatanan politik dan demokrasi yang ada di Indonesia. Hasil dari reformasi tersebut diantaranya adalah sistem pemilihan kepala daerah, seperti Gubernur selaku kepala daerah provinsi, bupati kepala daerah kabupaten dan walikota selaku kepala daerah kota.
John Locke menyatakan terbetuknya suatu negara didasarkan pada asas pactum unionis dan pactum subjectionis. Perjanjian tersebut menentukan bahwa individu memberikan mandate kepada negara atau pemerintah.
Namun dengan adanya reformasi dan perubahan system ketatanegaraan nyatanya masih belum menyelesaikan terkait system pemilihan kepala daerah karena setelah reformasi dengan lahirnya UU no 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang bertujuan untuk menjalankan asas demokrasi tidaklah berjalan dnegan tuntas karena UU tersebut memberikan kewenangan pemilihan kepala daerah kepada DPRD melalui sitematika pencalonan dari fraksi-fraksi dan dipilih oleh anggota DORD yang artinya tidak ada pernah masyarakat secara langsung dalam hal ini. Padahal telah kita ketahui bersama bahwa hakekatnya kepala daerah adalah seseorang yang secara wilayah akan memimpin dan menjalankan urusan-urusan rakyat diwilayah tersebut. Artinya kepala daerah baik, Gubernu, Bupati maupun Walikota, akan lebih dekat secara emosional dengan rakyat di daerah yang ia pimpin. Maka sudah jelas dan sepantasnya kepala daerah di pimpin oleh orang yang dipilih langsung oleh rakyat sebagai bentuk kehendak rakyat.
Apabila pemilihan gubernur, bupati, walikota dilakukan oleh dprd maka akan menjadi suatu kemunduran demokrasi. Bahkan menurut Freedom House (2006) setelah reformasi yaitu pada tahun 1999, Indonesia merupakan negara setengah demokrasi, hal ini didasarkan atas pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh DPRD. Namun sejah tahun 2005 dengan adanya UU no 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah sebagai dasar dilaksanakannnya pemilihan kepala daerah oleh rakyat, maka Indonesia dianggap telah sepenuhnya menjadi negara demokrasi.
Secara Yuridis semua menjelaskan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung memiliki nilai legitimasi yang tinggi terbukti dengan adanya, pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan UUD”, pasal 18 aya (4) yang menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis” dan frasa “demokratis” ini dimaknai dengan pemilihan secara langsung karena berdasarkan ayat (7) pada pasal ini dinyatakan bahwa “susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang” yang mana hal ini berlaku pula pada tata cara pemilihan kepala daerah dan menurut UU yang mengaturnya yaitu UU tentang pemerintah daerah mulai dari UU No 32 tahun 2004, UU no 23 tahun 2014, Perpu Nomor 2 tahun 2014, UU NO 2 tahun 2015, dan UU No 9 tahun 2015 ditambah pula dengan UU tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan walikota mulai dari Oerou No 1 tahun 2015, UU no 1 tahun 2015 dan UU no 8 tahun 2015, yang kesemua memberikan ketentuan bahwa kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Artinya sudah sepantasnya pemaknaan makna demokratis dalam UUD NRI 1945 ialah demokratis yang dilakukan secara langsung oleh rakyat, tidak sebatas landasan yuridis namun juga sosiologis dana aspek lain, selaras dengan pemikiran J.J Rousseeu yang menyatakan bahwa “Demokrasi tadak langsung atau demokrasi perwakilan pada hakikatnya bukanlah demokrasi, karena pada hakikatnya hanya memuaskan keinginan segelintir orang (Will of the few) ketimbang keinginan rakyat sebagai kehendak bersama dalam sebuah bangsa”.
Mengenai ricuh dan kisruh pemilihan kepala daerah sejatinya tidak hanya dalam pemilihan kepala daerah secara langsung tetapi keadaan ini juga banyak terjadi dalam pemilihan kepala daerah oleh DPRD terbukti dari fakta yang dilansir oleh data Litbang Kompas (2000). Diantaranya:
1.         Pada 31 Januari 2000
Ruang rapat pemilihan Bupati digedung DPRD lampung Selatan di rusak oleh pihak yang tidak puas karena calon yang mereka dukung yaitu Dasuki-Munafsir tidak meraih suara terbanyak. Rapat pemilihan bubar dan tidak ada pengesahan hasil penghitungan suara yang memenangkan Dzir-Pratiknyo.
2.         Pada 28 Agustus 2000
Di jembrana-Bali massa menyerbu kantor sekretariat DPC PDI-P dan merusak isinya, menjemur 12 anggota DPRD dan fraksi PDI-P  selama 2 Jam dan menuntut mereka mundur dari DPRD, massa mengamuk karena bupati yang terpilih yaitu Gede Winasa-Ketut Suania, bukan yang mereka dukung. Bentrokan terjadi antara massa dengan apparat, akibatnya seorang pemdukung PDI-P tewas tertembak dan 5 aparat luka-luka.
            Dan masih banyak kasus lainnya selama masa pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD.
            Melihat dari ukuran kualitas, Pratikno (2005) membagi kualitas pada 3 ukuean, yaitu pertama,  Kualitas Administratif proses electoral, yakni bagaimana jadwal ditepati dan bagaimana kesiapan regulasi, anggaran serta daftar pemilih. Kedua, Kualitas Politis proses electoral, uakni bagaimana kemandirian dan legitimasi penyelenggaraan dapat dijamin dan minimnya intensitas konflik. Ketiga, kualitas Produk Pilkada, yakni bagaimana pilkada bisa hasilkal pemimpin yang baik dan berkuaitas, dan dalam hal ini pemilihan kepala daerah secara langsung telah melahirkan menghasilkan pemimpin yang berkualitas seperti walikota bandung, walikota solo, walikota Surabaya, gubernur jawa tengah.
            Dari semua hal tersebut dapat kita simpulkan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung memiliki keuntungan yaitu:
1.      Kepala daerah terpilih merepresentasikan rakyat dan keterwakilan secara langsung dari rakyat
2.      Kepala daerah terpilih memiliki legitimasi tinggi karena merupakan hasil dari proses demokrasi yang melibatkan rakyat secara langsung.
3.      Pilkada langsung telah menghasilkan pemimpin seperti walikota bandung, walikota solo, walikota Surabaya, gubernur jawa tengah. Hal ini hanya contoh kecil dari berbagai wilayah yang ada di Indonesia sebagai hasil dari pilkada langsung
Sedangkan pemilihan kepala daerah yang apabila dilakukan oleh DPRD meiliki Kerugian yaitu;
1.      Legitimasi kepala daerah lemah karena tidak melibatkan rakyat secara langsung
2.      Sulit menghasilkan pemimpin daerah yang terbaik di wilayahnya karena dprd cenderung hanya pada tokoh-tokoh yang dikenal dprd saja
3.      Memperbesar terjadinya politik transaksional
4.      Membuat legislative lebih superior terhadap eksekutif. Karena legislatiflah yang memilih kepala daerah
5.      Dapat terjadinya dinasti politik legislative dan eksekutif. Dan kepala daerah dipilih oleh elit-elit partai yang berada di kepengurusan pusat.  
Sehingga yang perlu dilakukan saat ini diantaranya ialah memperkuat dan menjaga kenetralan KPUD, Bawaslu provonsi kabupaten dan kota, dan penguatan Funfsi Parpol dalam meberikan pendidikan politik kepada masyarakat sehingga dapat terselenggaranya pemilihan kepala daerah secara langsung sesuai tujuan utama demokratis yaitu menghasilkanpemimpin sesuai kehendak rakyat tanpa menimbulkan banyak konflik. Dan dalam hal menghidari penumpukan kasus Pemilu maka pelanggaran pemilu harus ditangani oleh masing-masing institusi yang berwenang, yakni untuk pelanggaran pidana ditangani oleh penegak hokum terkait kepolisian kejaksaan dan lainnya, sedangkan untuk pelanggaran administrative barulah ditangani o;eh KPUD dan lembaga pengawas pemilu ditiadakan sehingga kahirnya apabila terdapat urgensi barulah sengketa dapat dibawa ke Mahkamah Kostitusi hal ini semata-mata untuk menghindari penumpukan kasus juga menghemat anggaran dengan hanya mengaktifkan KPUD dalam tingkat pertama ini.



Keterangan:
·         Mosi adalah Topik Permasalahan yang dibahas
·         PRO adalah argumentasi ilmiah mengenai ungkapan Setuju terhadap Mosi
·         KONTRA adalah argumentasi ilmiah mengenai ungkapan tidak setuju terhadap mosi
·         Setiap Mosi yang dijadikan pembahasan didapat atas dasar konflik yang sedang berkembang di masyarakat
·         Argumentasi pro dan kontra berasal dari kajian ilmiah berdasarkan pandangan historys, filosofis, sosiologis, yuridis normative dan empiric yang diperkuat dengan data-data baik dari media informasi berupa berita, jurnal dan lainnya.
·         Tuisan ini asli dan murni tulisan sendiri atas hasil analisa melalui metode komaratif data, buku dan link sebagai referensi.

Rabu, 18 April 2018

Hukum Perdata


HUKUM PERDATA
Oleh: Restu Gusti Monitasari
A.    ISTILAH DAN PENGERTIAN HUKUM
Istilah Hukum
·         LAW, Dalam bahasa Amerika dan Inggris;
·         RECHT, Dalam bahasa Belanda dan Jerman;
·         DROIT, dalam bahasa Prancis;
·         DIRRITO, Dalam bahasa Italia;
·         SYARI’AH, Dalam bahasa kawasan Timur Tebngah.
Pengertian Hukum menurut para Ahli Hukum
·         Menurut Aritoteles
Aristoteles mengatakan bahwa hukum hanyalah sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat tetapi juga hakim bagi masyarakat. Dimana undang-undanglah yang mengawasi hakim dalam melaksanakan tugasnya untuk menghukum orang-orang yang bersalah atau para pelanggar hukum.
·         Menurut Plato
Hukum adalah seperangkat peraturan yang tersusun dengan baik dan teratur dan bersifat mengikat hakim dan masyarakat.
·         Menurut Immanuel kant
Hukum adalah segala keseluruhan syarat dimana seseorang memiliki kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikandiri dengan kehendak bebas dari orang lain dan menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan.
·         Menurut S.M Amin
Hukum adalah sekumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi. Dan bertujuan untuk mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara.
·         Menurut Drs. E. Utrecht, S.H
Hukum adalah suatu himpunan peraturan  yang didalamnya berisi tentang perintah dan larangan, yang mengatur tata tertib kehidupan dalam bermasyarakat dan harus ditaati oleh setiap individu dalam masyarakat karena pelanggaran terhadap pedoman hidup itu bisa menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah suatu negara atau lembaga.
·         Menurut Soerso
Hukum adalah sebuah himpunan peraturan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata tertib kehidupan bermasyarakat yang memiliki ciri perintah dan larangan yang sifatnya memaksa dengan menjatuhkan sanksi-sanksi hukuman bagi pelanggarnya.
            Itulah pengertian hukum menurut beberapa ahli hukum, dan pengertian hukum menurut saya sendiri ialah, Hukum adalah suatu aturan-aturan atau batasan-batasan yang hidup dan berkembang dalam suatu masyarakat yang memiliki tujuan untuk mencapai keadilan, kepastian dan segala hal yang dapat menciptakan kesejahteraan, yang dimana hukum ini bersifat mencegah, mengikat, dan memaksa, juga memiliki sanksi bagi siapapun yang melanggarnya.

B.     ISTILAH DAN PENGERTIAN HUKUM PERDATA
Diatas telah dijelaskan betul mengenai pengertian hukum, dan sekarang saatnya kita mengetahui istilah dan pengertian hukum perdata, namun Sebelum membahas istilah dan pengertian hukum perdata, alangkah lebih baiknya kita mengetahui terlebih dahulu apa itu Perdata. Dalam arti luas, perdata sering disebut juga hukum dang (WvK/wet boek van koophandel). Dalam arti sempit perdata hanya disama artikan dengan KUHPER saja.
Istilah hukum perdata pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno sebagai terjemahan dari burgerlijkrecht pada masa penduduka jepang. Di samping istilah itu, sinonim hukum perdata adalah civielrecht dan privatrecht. Istilah hukum perdata sering juga disebut sebagai hukum sipil dan hukum privat, dan juga ada yang tertulis dan tidak tertulis.hukum perdata tertulis yang dimaksud ialah hukum perdata yang termuat dalam kitab Undang-undang hukum perdata (Burgerlijke Wetboek) maupun peraturan perundang-undangan yang lainnya. Sedangkan hukum perdata tidak tertulis yang dimaksud ialah hukum adat yang merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Kitab Undang-undang hukum perdata (KUHPER) ini berlaku bagi warga negara indonesia keturunan Eropa, Timur asing Tionghoa, dari Timur asing bukan tionghoan (seperti orang Arab, India, dan Pakistan) kecuali hukum keluarga dan hukum waris, dimana kedua bidang hukum terakhir ini mereka tunduk pada hukum adat mereka masing-masing. Dalam hukum adat merupakan hukum perdata yang berlaku bagi warga negara Indonesia asli.
Para ahli memberikan pengertian hukum perdata, seperti berikut:
 Van Dunne mengartikan hukum perdata, khususnya pada abad ke -19 adalah:
“suatu peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang sangat ecensial bagi kebebasan individu, seperti orang dan keluarganya, hak milik dan perikatan. Sedangkan hukum public memberikan jaminan yang minimal bagi kehidupan pribadi”
Vollmar, dia mengartikan hukum perdata adalah:
“aturan-aturan atau  norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengna kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas”
Prof. R. Subekti, SH, menurut beliau hukum perdata adalah “segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan seseorang”
Prof. Dr. Ny. Sri Soedewi Masjchoen sofwan, mengartikan “hukum perdata sebagai hukum yang mengatur kepentingan antar warga negara perseorangan yang satu dengan warga negara perseorangan yang lain”.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengertian hukum perdata yang dipaparkan para ahli di atas, kajian utamnya pada pengaturan tentang perlindungan antara orang yang satu degan orang lain, akan tetapi di dalam ilmu hukum subyek hukum bukan hanya orang tetapi badan hukum juga termasuk subyek hukum, jadi untuk pengertian yang lebih sempurna yaitu keseluruhan kaidah-kaidah hukum(baik tertulis maupun tidak tertulis) yang mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan kemasyarakatan dan menitik beratkan kepada kepentingan perseorangan.
Ø  Di dalam hukum perdata terdapat 2 kaidah, yaitu:
1.      Kaidah tertulis
Kaidah hukum perdata tertulis adalah kaidah-kaidah hukum perdata yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi.
2.      Kaidah tidak tertulis
Kaidah hukum perdata tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum perdata yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam praktek kehidupan masyarakat (kebiasaan)
Ø  Subjek hukum dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
1.      Manusia
Manusia sama dengan orang karena manusia mempunyai hak-hak subjektif dan kewenangan hukum.
2.      Badan hukum
Badan hukum adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu, harta kekayaan, serta hak dan kewajiban.
Ø  Subtansi yang diatur dalam hukum perdata antara lain:
1.      Hubungan keluarga
Dalam hubungan keluarga akan menimbulkan hukum tentang orang dan hukum keluarga.
2.      Pergaulan masyarakat
Dalam hubungan pergaulan masyarakat akan menimbulakan hukum harta kekayaan, hukum perikatan, dan hukum waris.
Ø  Dari berbagai paparan tentang hukum perdata di atas, dapat di temukan unsur-unsurnya yaitu:
1.      Adanya kaidah hukum
2.      Mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan yang lain.
3.      Bidang hukum yang diatur dalam hukum perdata meliputi hukum orang, hukum keluarga, hukum benda, hukum waris, hukum perikatan, serta hukum pembuktia dan kadaluarsa.


C.    SEJARAH HUKUM PERDATA
Hukum Perdata berasal dari Hukum Perdata Prancis, sebelum dikodifikasikan pada tanggal 21 maret 1804 dengan nama code civil des francis, sebelum di akuinya hukum perdata Prancis tersebut tidak ada kesatuan hukumnya, sehingga terbagi atas 2  bagian wilayah hukum Prancis, yaitu :
1)      Wilayah Utara dan Tengah, wilayah ini merupakan daerah hukum lokal yang berlaku hukum kebebasan Prancis kuno yang berasal dari germania.
2)      Wilayah selatan, wilayah ini merupakan daerah hukum Romawi, dan hukum yang diakui disana yaitu Hukum Syenes yang dikumpulkan secara sistematis dalam suatu kitab Undang-Undang Tahun 1800 yang disebut carpus juris civiles oleh kaisar Justinianus pada tanggal 12-8-1800 dan oleh pemerintah Napoleon dibentuklah panitia pengkodifikasian Undang-Undang ini.
Pada tanggal 21 maret 1804 barulah di undang-undangkan dengan nama Code Civil Des Francis. Tahun 1807 diadakan kodifikasi Hukum Dagang dan Hukum Perdata. Pada tahun 1813 pendudukan Perancis di Belanda berakhir dan belanda merdeka. Tahun 1814 Belanda mengadakan kodifikasi yang diketuai oleh Mr.J.M Kempur yang bersumber dari Code Napoleon dan hukum Belanda kuno.
Pada awal kemerdekaan negeri Belanda 1814 Sistem Pemerintahannya menganut Sistem Disentralisasi yang terdiri atas Propinsi-propinsi yang berdaulat dan mempunyai  peraturan sendiri, sehingga belum ada peraturan yang berlaku secara umum sehingga kepastian hukum tidak terpenuhi. Pada tahun itu pula dibentuk panitia yang di ketuai oleh Mr. JM Kempur (Guru Besar Bidang Hukum) membuat sendiri yang memuat Hukuman Belanda Kuno, meliputi: Hukam Romawi, Hukam German, Hukum Kanonik Gereja, dan disetujui oleh Raja yang dikenal dengan Rancangan 1816.
Berdasarkan SK Raja semua Undang-Undang Wetboek dinyatakan mulai berlaku tanggal 1 Oktober 1838. Pada tahun 1838 kodifikasi ini disahkan oleh Raja dengan nama BW = Burgerlyk Wetboek dan WVK = Wetboek Van Koophandel (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang).

D.    KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA
Hukum perdata di indonesia, ber-bhinneka, yaitu beraneka warna.
Pertama, ia berlainan untuk segala golongan warga negara;
a.       Untuk golongan bangsa indonesia asli, berlaku “hukum adat”, yaitu hukum yang sejak dahulu telah berlaku dikalangan rakyat, yang sebagian besar masih belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, mengenai segala soal dalam kehidupan masyarakat.
b.      Untuk golongan warga negara bukan asli yang berasal Tionghoa dan Eropah berlaku Kitab undang-undang hukum perdata (Burgelijk  wetboek) dan Kitab undang-undang hukum dagang (wetboek  van  Koophandel), dengan pengerti pengertian, bahwa bagi golongan Tionghoa mengenai Burgelijk Wetboek tersebut ada sedikit penyimpangan yaitu bagian 2 dan 3 dari Titel IV buku I (mengenai cara yang mendahului pernikahan dan mengenai “penahanan” pernikahan0 tidak berlaku lagi bagi mereka, sedangkan untuk mereka ada pula “Burgelijk Stand” tersendiri. Selanjutnya ada pula suatu peraturan perihal pengangkatan anak (adopsi), karena hal ini tidak terkenal di dalam Burgelijk Wetboek.
Akhirnya untuk golongan warga negara bukan asli yang bukan  berasal Tionghoa atau Eropah (yaitu: Arab, India dan lain-lain) berlaku sebagian dari Burgerlijk Wetboek, yaitu pada pokoknya hanya bagian-bagian yang mengenai hukum kekayaan harta benda (vermogensrecht), jadi tidak yang mengenai hukum kepribadian dan kekeluargaan (personen en familierechti) maupun yang mengenai hukum waris. Mengenai bagian-bagian hukum yang belakangan ini, berlaku hukum mereka sendiri dari negara asalnya.
Hukum yang berlaku bagi golongan bangsa Indonesia sendiripun ber-bhineka lagi, yaitu berbeda-beda dari daerah ke daerah.
Untuk mengerti keadaan Hukum Perdaa di indonesia sekarangi ini, perlulah kita sekedar mengetahui tentang riwayat politik Pemerintah Hindia-Belanda dahulu terhadap hukum di Indonesia.
Pedoman politik bagi pemerintah Hindia-Belanda terhadap hukum di Indonesia dituliskan dalam pasal 131 “Indische staatsregeling” (sebelum itu pasal 75 regeringsreglement), yang dalam pokoknya, sebagai berikut.
1.      Hukum Perdata dan dagang (begitu pula Hukum Pidana beserta hukum acara Perdata dan Pidana) harus diletakkan dalam kitab-kitab undang-undang, yaitu dikodifisir.
2.      Untuk golongan bangsa Eropa dianut (dicontoh) perundang-undangan yang berlaku di Negeri Belanda (asas konkordansi).
3.      Untuk golongan bangsa Indonesia aslin dan Timur Asing (Tionghoa, Arab dan sebagainya),  jika ternyata “kebutuhan kemasyarakatan” mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropah dinyatakan berlaku bagi mereka, naik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru bersama, untuk selainnya harus di indahkan aturan-aturan yang berlaku dikalangan mereka, dan boleh diadakan penyimpangan jika diminta oleh kepentingan umum atau kebutuhan kemasyarakatan mereka (ayat 2).
4.      Orang Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan dibawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropah, diperbolehkan “menundukkan diri” (”onderwerpen”) pada hukum yang berlaku untuknbangsa Eropah. Penundukkan ini boleh dilakukan baik secara umum maupun secara hanya mengenai suatu perbuatan tertentu saja (ayat 4).
5.      Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis didalam undang-undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu “hukum adat” (ayat 6).
Berdasarkan pedoman-pedoman yang telah disebutkan di atas, di zaman Hindia-Belanda telah ada beberapa peraturan undang-undang Eropah yang telah ‘dinyatakan berlaku” untuk bangsa Indonesia asli, seperti pasal 1601-1603 lama dari B.W., yaitu perihal perjanjian kerja atau perburuhan (Staatsblad 1879 No.256), pasal 1788-1791 B.W. perihal hutang-hutang dari perjudian (Staatsblad 1907 No. 306) dan beberapa pasal dari kitab undang-undang hukum dagang, yaitu sebagian bear dari hukum laut (Staatsblad 1933 No. 49).
Selanjutnya ada beberapa peraturan yang secara khusus dibuat untuk bangsa indonesia, seperti : Ordonasi Perkawinan bangsa indoonesua kristen (Staatsblad 1933 no.74),  ordonasi tentang maskapai andil indonesia/I.M.A. Staatsblaad 193 no.59 Jo. No. 717). Akhirnya, ada pula peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua golongan warga negara, misalnya undang-undang Hak Pengarang (Auteurswet tahun 1912) dan lain-lain.
Kemungkinan untuk menundukan diri pada Eropa telah diatur leboih lanjut dalam Staatsblaad 1917 no.12, dan peraturan tersebut mengenai empat macam penundukan, yaitu;
a.       Penundukan pada seluruh hukum perdata eropa;
b.      Penundukan pada sebagian hukum perdata Eropa, yang dimaksudkan hanya pada hukum kekayaan harta benda saja (varmogensrecht), seperti yang telah dinyatakan berlaku bagi golongan timur asing bukan Tionghoa;
c.       Penundukan mengenai suatu perbuatan hukum tertentu;
d.      Penundukan secara ‘diam-diam’, menurut pasal 29.
Riwayat perundang-undangan dalam lapangan hukum perdata untuk golongan Timur Asing , sebagai berikut;
            Mula-mula dengan peraturan yang termuat di dalam staatsblad 1855 no.79 hukum perdata Eropa (B.W dan W.v.K) dengan kekecualian hukum kekeluargaan untuk semua orang Timur Asing. Kemudian dalam tahun 1917, mulailah diadakan pembedaan antara golongan Tionghoa dan bukan Tionghoa, karena untuk golongan Tionghoa dianggapnya hukum Eropa yang sudah diperlakukan terhadap mereka itu dapat diperluas lagi.
            Untuk golongan Tionghoa diadaakan suatu peraturan tersendiri mengenai Hukum Perdata mereka, yaitu peraturan yang diletakkan dalam Staatsblad tahun 1917 No. 129 (berlaku untuk seluruh wilayah indonesia sejak tanggal 1 september 1925).
            Bagi golongan Timur asing lain-lainnya (Arab, India dan sebagainya) kemudian juga diadakan suatu peraturan terdiri, dalam Ordonansi yang termuat dalam Staatsblad tahun 1924 No. 556 (mulai berlaku sejak tanggal 1 maret 1925). Pada tahun 1926 salam B.W dimasukkan suatu peraturan baru megenai perjanjian perburuhan (arbeidscontract), peraturan baru tidak dinyatakan berlaku lagi, lain golongan selainnya golongan eropa, sehingga bangsa Indonesia dan Timur Asing masih tetap tunduk dibawah peraturan yang lama yaitu pasal-pasal 1601 sampai dengan 1603 B.W.
            Oleh karena Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tidak mengenal adanya golongan-golongan warga negara, adanya hukum yang berlainan untuk berbagai golongan itu dianggap janggal. Indonesia sedang berusaha untuk membentuk suatu kodifikasi hukum nasional . sementara belum tercapai, B.W dan W.v.K masih berlaku, tetapi dengan ketentuan bahwa hakim (pengadilan) dapat  menganggap suatu pasal tidak berlaku lagi jika dianggapnya bertentangan dengan keadaan jaman kemerdekaan sekarang ini. Dikatakan bahwa B.W dan W.v.K tidak lagi dikatakan sebagai “wetboek” tetapi suatu “rechtsboek”.

E.     KEDUDUKAN B.W PADA WAKTU SEKARANG
·         Secara Yuridis formil kedudukan B.W tetap sebagai Undang-undang karena B.W tidak pernah dicabut dari kedudukannya sebagai Undang-undang.
·         Secara Yuridis materil, B.W bukan lagi KUHPERDATA yang bulat dan utuh seperti keadaan semula saat di Undangkan. Sebab ada beberapa bagian B.W yang sudah tidak berlaku lagi.

F.     SISTEMATIK HUKUM PERDATA
B.W berlaku secara Umum dan di Kodifikasikan;
v  Hukum perdata menurut ilmu pengetahuan terbagi menjadi empat, yaitu;
1.      Tentang hukum perorangan atau badan pribadi (personenrecht)
2.      Tentang hukum keluarga (familyerecht)
3.      Tentang hukum kekayaan (vermogenrecht)
4.      Tentang hukum waris (erfrecht)
Hukum perorangan atau badan pribadi, memuat peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subyek dalam huku, peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang memperngaruhi kecakapak-kecakapan itu.
Hukum keluarga, mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu: perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antar suami dan isteri, hubungan antar orang tua dan anak, perwalian dan curatele.
Hukum kekayaan, mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Jika kita mengatakan tentang kekayaan seorang, yang dimaksudkan ialah jumlah segala hak dan kewajiban orang itu, dinilai dengan uang. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang demikian itu, biasanya dapat dipindahkan kepada orang lain. Hak-hak kekayaan, terbagi lagi atas hak-hak yang berlaku terhadap tiap orang dan karenanya dinamakan  hak mutlak dan hak-hak yang hanya berlaku terhadap seseorang atau suatu pihak yang tertentu saja dan karenanya dinamakan hak perseorangan. Hak mutlak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan, hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat, misalnya hak seorang pengarang atas karangannya, hak seorang atas suatu pendapat dalam lapangan ilmu pengetahuan atau hak seorang pedagang untuk memakai sebuah merk, dinamakan hak mutlak saja.
Hukum waris, mengatur hal ikhwal tentang benda atau kekayaan seorang jikalau ia meninggal. Juga dapat dikatakan, hukum waris itu mengatur akibat-akibat hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang. Berhubungan sengan sifatnya yang setengah-setengah ini, hukum waris lazimnya ditempatkan tersendiri.
v  Hukum perdata menurut Undang-undang tebagi menjadi;
1.      Buku I, perihal ‘Orang’ (van personen), memuat hukum tentang diri seseorang dan hukum keluarga.
2.      Buku II, perihal ‘Benda’ (van zaken), memuat hukum perbendaan serta hukum waris.
3.      Buku II, perihal ‘Perikatan’ (van verbintenissen), memuat hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak yang tertentu.
4.      Buku IV, perihal ‘pembuktian dan lewat waktu (daluwarsa)’ (van bewijs en verjaring), memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.

BUKU I PERIHAL ORANG (VANPERSONEN)
Buku I tentang Orang,  mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
A.    PENGERTIAN ORANG
Dalam hukum, perkataan orang (persoon) berarti pembawa hak atau subyek di dalam hukum.  Hukum orang dapat diartikan dalam arti luas dan arti sempit.
v  Hukum tentang orang dalam arti luas :
 Hukum orang adalah hukum yang memuat tentang peraturan-peraturan tentang diri manusia sebagi subyek dalam hukum, peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.
v  Hukum tentang orang dalam arti sempit :
Hukum yang mengatur tentang orang sebagai subjek hukum.
Dari pengertian di atas merujuk hukum orang dari aspek ruang lingkupnya, yang meliputi peraturan tentang manusia, subjek hukum, kecakapan hukum, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

B.     ASPEK – ASPEK HUKUM PERORANGAN

        Hukum Perorangan adalah yang memuat kaidah-kaidah hukum yang mengatur :
1.   Subjek Hukum;
2.   Cakap Hukum dan Wewenang;
3.   Pencatatan Sipil;
4.   Tempat Kediaman.
        Orang (pribadi) dalam hukum disebut sebagai subjek hukum, subjek hukum artinya setiap pendukung hak dan kewajiban.
1)   Subjek Hukum
  Didalam buku I KUH Perdata yang disebut subjek hukum ialah hanya orang yang disebut pribadi kodrat tidak termasuk badan hukum yang disebut dengan pribadi hukum. namun dalam perkembangan selanjutnya badan hukum tidak dimasukkan menjadi subjek hukum yang diatur dalam kitab undang-undang hukum dagang, sehingga subjek hukum itu meliputi :
a. Orang disebut pribadi kodrati
b.  Badan hukum disebut pribadi hukum
          Orang sebagai subjek hukum mulai sejak lahir hingga meninggal dunia. Namun ada pengecualian yaitu sebagai perluasan yang diatur dalam pasal 2 KUHperdata yang mengatakan : “bayi yang masih berada dalam kandungan ibunya dianggap telah dilahirkan hidup apabila ada kepentingan bayi itu yang menghendaki”. Jadi walaupun anak itu belum lahir dapat dianggap sebagai subjek hukum. terhadap asas ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.    Anak telah dibenihkan pada saat timbul kepentingan anak.
b.    Anak dilahirkan hidup pada saat dilahirkan walaupun sekejap dan meninggal.
c.     Ada kepentingan anak yang menghendaki bahwa anak dianggap telah lahir.
      Badan hukum adalah subyek hukum dalam arti yuridis, sebagai gejala dalam hidup bermasyarakat, sebagai badan ciptaan manusia berdasarkan hukum, mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia pribadi.Secara prinspil badan hukum berbeda dengan Manusia pribadi. Perbedaan tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut:
              a. Manusia pribadi adalah mahluk hidup cipataan Tuhan kehendak,mempunyai akal, perasaan, kehendak, dan dapat mati.Sedangkan badan hukum adalah badan ciptaan manusia pribadi berdasarkan hukum, dapat dibudarkan oleh pembentukannya.
              b. Manusia pribadi mempunyai kelamin, sehingga ia dapat kawin,dapat beranak. Sedangkan, badan hukum tidak.
         c. Manusia pribadi dapat menjadi ahli waris, sedangkan badan hukum tidak.
Klasifikasi badan hukum
Badan hukum dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu :
a.       Badan hukum publik (kenegaraan), yaitu badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah, diberi wewenang menurut hukum publik, misalnya departemen, Pemerintahan, propinsi, lembaga-lembaga negara seperti MPR, DPR, Mahkamah Agung R.I. dan sebagainya.
b.      Badan hukum privat (keperadatan), yaitu badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah atau swasta,diberi wewenang menurut hukum perdata. Badan hukum keperadatan ini mempunyai bermacam ragam tujuan keperadatan.
Menurut ketentuan pasal 1653 KUHPerdata ada tiga macam klasifikasi badan hukum berdasarkan eksistensinya, yaitu :
a.       Badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah (penguasa), seperti badan-badan pemerintahan,perusahaan-perusahaan negara.
b.      Badan hukum yang diakui oleh pemerintah (penguasa), seperti perseroan terbatas,koperasi.
c.        Badan hukum yang diperbolehkan atau untuk suatu tujuan tertentu yang bersifat ideal, seperti yayasan (pendidikan, sosial, keagamaan, dan lain-lain).
Syarat-syarat pembentukan badan hukum
Dalam hukum perdata tidak ada ketentuan yang mengatur tentang syarat-syarat material pembentukan badan hukum. Yang ada adalah syarat formal, yaitu harus dengan akta notaris. Karena tidak ada ketentun demikian, maka menurut Prof. Meyers (1948) doktrin ilmu hukum menetapkan syarat-syarat itu adalah :
a.       Ada harta kekayaan sendiri
b.      Ada tujuan tertentu
c.       Ada kepentingan sendiri
d.      Ada organisasi yang teratur
2)      Cakap Hukum dan Kewenangan
Menurut hukum manusia pribadi (natuudlijk person) mempunyai hak dan kewajiban, akan tetapi tidak selalu cakap hukum (rechtsbekwaam) untuk melakukan perbuatan hukum. Tidak cakap melakukan perbuatan hukum berdasarkan Pasal 1330 KUH perdata tentang orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yaitu :
1.      Orang-orang yang belum dewasa (belum mencapai usia 21 tahun).
2.      Orang ditaruh dibawah pengampuan (curatele) yang terjadi karena  gangguan jiwa pemabuk atau pemboros.
3.      Kurang cerdas.
4.      Sakit ingatan.
5.      Orang wanita dalam perkawinan yang berstatus sebagai istri.
6.      Badan Hukum ( Rechts Person )
3)      Catatan Sipil
Catatan sipil adalah suatu lembaga yang bertujuan mengadakan pendaftaran, pencatatan, serta pembukuan yang selengkap-lengkapnyadan sejelas-jelasnya serta memberi memberi kepastian hukum yang sebesar-besarnya atas peristiwa kelahiran, pengakuan, perkawinan, dan kematian. Jadi dari pengertian diatas terdapat 4 registrasi catatan sipil, yaitu:
a.       Kelahiran
b.      Pengakuan
c.       Perkawinan
d.      Pernikahan
        Sedangkan berdasarkan pasal 4 KUH Perdata terdapat enam jenis registrasi catatan sipil, yaitu:
a.       kelahiran;
b.      pemberitahuan kawin;
c.       izin kawin;
d.      perkawinan;
e.       perceraian; dan
f.       kematian.
Jenis-jenis Catatan Sipil
 Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 54 Tahun 1983 tentang
Organisasi dan Tata Kerja kantor Catatan Sipil Kabupaten / Kota Madya, ada lima jenis akta catatan sipil, yaitu:
1.      Akta Kelahiran adalah akta yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, yang berkaitan dengan adanya kelahiran. Akta ini bermanfaat untuk memudahkan pembuktian dalam hal kewarisan, persyaratan untuk diterima di lembaga pendidikan dan persyaratan bagi seseorang untuk masuk sebagai pegawai negeri.
2.      Akta Perkawinan adalah akta yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenan, yang berkaitan dengan adanya perkawinan. Pejabat yang berwenang mengeluarkan akta perkawinan meliputi:
1)      Kepala KUA bagi yang beragama Islam.
2)      Kepala Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama non Islam.
3.      Akta Perceraian adalah akta yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang setelah adanya putusan pengadilan. Pejabat yang berwenang untuk menerbitkan akta perceraian bagi yang beragama Islam adalah panitera pengadilan agama atas nama ketua pengadilan, dan bagi orang non-Islam adalah kantor Catatan Sipil.
4.      Akta Pengakuan dan Pengesahan Anak adalah akta yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang, yang berkaitan dengan pengakuan dan pengesahan terhadap anak luar kawin.
5.      Akta Kematian: akta yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang, yang berkaitan dengan meninggalnya seseorang.
Dari keterangan di atas, bahwa catatan sipil sangat berguna dan memberikan manfaat basar bagi kita, baik sebagai penentuan status, alat bukti yang kuat dan sempurna, dan lain-lain.
4)       Tempat Kediaman (Domisili)
Setiap orang maupun badan hukum menurut hukum, harus mempunyai tempat tinggal yang  jelas keberadaannya yang dapat dicari, tempat tersebut yang disebut domisili.
Dalam pengetian yuridis, tempat tinggal (domisili) adalah tempat seseorang harus dianggap selalu hadir dalam hubungannya dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban, juga pada suatu waktu ia benar-benar tidak dapat hadir ditempat tersebut.
Tempat tinggal sangat diperlukan untuk beberapa hal, misalnya: di mana seseorang harus kawin, dimana seseorang harus dipanggil dan ditarik di muka hakim. Pengadilan mana yang berkuasa terhadap seseorang dan sebagainya. Biasanya orang mempunyai tempat tinggal di tempat kediaman pokok. Tetapi bagi orang yang tidak mempunyai tempat kediaman tertentu, tempat tinggalnya dianggap berada di tempat ia benar-benar berada.
Sebagai contoh, seorang warga Inggris, bertempat tinggal di Negara A, dan melangsungkan pernikahan dengan warga negara Inggris lain yang bertempat tinggal di negara B. Karena mereka berkewarganegaraan yang sama sebetulnya tidak menimbulkan permasalahan karena kewarganegaraan. Tapi karena tempat tinggal mereka berbeda timbul permasalah. Karena misalnya untuk orang Inggris itu ada ketentuan dalam HPI Inggris, kalau sudah bertempat tinggal di suatu negara, ia dianggap oleh HPI Inggris tunduk pada hukum perkawinan dari negeri tempat tinggalnya yang baru.
Macam-macam Tempat Tinggal (Domisili)
Domisili dapat dibedakan menurut sistem hukum yang yang mengaturnya, yaitu menurut Common Law dan hukum Eropa Continental.
Dalam Common Law tempat tinggal dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
a)      Domisili of origin, yaitu tempat tinggal seseorang ditentukan oleh tempat asal seseorang sebagai tempat kelahiran ayahnya yang sah;
b)      Domicili of origin of dependence, yaitu tempat tinggal yang ditentukan oleh tempat tinggal ayah bagi anak yang belum dewasa, tempat tinggal ibu bagi anak yang belum sah, dan bagi istri ditentukan oleh tempat tinggal suaminya;
c)      Domicili of choice, yaitu tempat tinggal yang ditentukan oleh pilihan seseorang yang telah dewasa, di samping tindak tanduk sehari-hari.
      Adapun menurut hukum Eropa Kontinental, termasuk juga KUH Perdata dan NBW [BW baru] negeri Belanda, tempat tinggal dibedakan menjadi dua mcam, yaitu:
a)      Ttinggal sesungguhnya, yaitu tempat melakukan perbuatan hukum pada umumnya, baik itu tempat tinggal mandiri maupun tempat tinggal wajib;
b)      Tempat tinggal yang dipilih, yaitu apabila ada dua orang yang mengadakan suatu perjanjian (perdagangan) dengan memilih tempat tinggal di kantor seorang notaris atau kantor Kepaniteraan Pengadilan.
Mengenai tempat tinggal ini, beberapa sarjana yang berpendapat, bahwasanya tempat tinggal itu terdiri dari:
1.      Tempat tinggal sesungguhnya, yang terdiri dari:
·         Sukarela/berdiri sendiri, yaitu tempat tinggal seseorang yang keberadaanya tidak terikat pada pihak lain/sesuai dengan keinginan sendiri.
·         Wajib/lanjutan, yaitu tempat tinggal yang tergantung pada hubungan dengan pihak lain.
2.      Tempat tinggal yang dipilih, yaitu tempat tinggal uang ditunjuk sebagai tempat tinggal oleh suatu pihak atau banyak pihak untuk melakukan perbuatan tertentu.
3.      Rumah kematian, ini meruakan domisili terakhir yang penting untuk mengadili misalnya tentang waris, piutang.

C.    HUKUM PERKAWINAN

1.      Arti dan syarat-syarat untuk perkawinan
Perkawinan, ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seseorang lelaki dan seorang perempuanuntuk waktu yang lama.  Undang-undang memanang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan, demikian pasal 26 Burgerlijk Wetboek. Pasal tersebut hendak menyatakan, bahwa suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Burgelijk Wetboek) dan syarat-syarat serta peraturan agama dikesampingkan. Suatu asas lagi dari B.W, ialah polygami dilarang. Larangan ini termasuk ketertiban umum, artinya bila dilanggar selalu diancam dengan pembatalan perkawinan yang dilangsungkan itu.
Dalam Pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membetuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Unsur-unsur yang harus dipenusi dalam pasal 1 ini ialah;
1.      Ikatan lahir dan batin;
2.      Dapat dilakukan antara pria dan wanita;
3.      Membentuk suatu keluarga (yang bahagia dan persifat kekal)
4.       
Syarat-syarat untuk dapat sah nya perkawinan terdapat dalam Pasal 6-12 UU Perkawinan,diantaranya:
1.      Adanya persetujuan dari kedua mempelai (Pasal 6:1);
2.      Adanya izin dari orang tua/wali bagi yang belum berusia 21 tahun (Pasal 6:2-6);
3.      Usia laki-laik 19 tahun dan perempuan 16 tahun (Pasal 7:1)
4.      Antara kedua calon mempelai tidak dalam hubungan darah (Pasal 8);
5.      Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain (Pasal3:2 dan Pasal 4);
6.      Bagi suami istri yang telah bercerai, kawin lagi, dan bercerai kedua kalinya dilarang untuk menikah lagi kecuali agama menentukan lain (Pasal 10);
7.      Tidak berada dalam waktu tunggu calon mempelai yang janda.
            Tentang hal larangan untuk kawin dapat diterangkan, bahwa seorang tidak diperbolehkan kawin dengan saudaranya, meskipun saudara tiri; seorang tidak diperbolehkan kawin dengan iparnya; seorang paman dilarang kawin dengan keponakan nya dan sebagainya.
            Tentang hal izin dapat diterangkan bahwa kedua orang tua harus memberi izin, atau ada kata sepakat antara ayah dan ibu masing-masing pihak. Jikalau ada wali, wali ini pun harus memberikan izin, dan kalau wali ini sendiri hendak kawin dengan anak yang dibawah pengawasannya, harus ada izin dari wali pengawas (toeziende voogd). Kalau kedua orang tua sudah meninggal, yang memberi izin ialah kakek nenek, baik pihak ayah maupun pihak ibu, sedang izin wali masih pula tetap diperlukan.
            Untuk anak-anak yang lahir diluar perkawinan, tetapi diakui oleh orang tua nya, berlaku pokok auran yang sama dengan pemberian izin, kecuali jikalau tidak terdapat kata sepakat antara kedua orang tua, hakim dapat diminta campur tangan, dan kakek nenek tidak menggantikan orang tua dalam hal memberikan izin.
            Untuk anak yang sudah dewasa, tetapi belum berumur 30 tahun masih juga diperlukan izin orang tuanya. Tetapi kalau mereka ini tidak mau memberi izinnya, anak dapat meminta nya dengan perantara hakim. Dalam waktu tiga minggu, hakim akan memanggil orang tua dan anak untuk didengar dalam sidang tertutup. Jikalau orangtua tidak datang menghadap, perkawinan baru dapat dilangsungkan setelah lewat tiga bulan.
Tetapi dalam hal ini, sebelum perkawinan dilangsungkan, harus dilakukan terlebih dahulu:
a.       Pemberitahuan (aangfite) tentang kehendak akan kawin kepada pedawai pencatatan sipil (Ambtenaar Burgelijk Stand), yaitu pegawai yang nantinya akan melangsungkan pernikahan;
b.      Pengumuman (afkondinging) oleh pegawai tersebut, tentang akan dilangsungkan pernikahan itu.
Dalam hal perkawinan ini, dapat menimbulkan Empat akibat hukum atas perkawinan menurut hukum perdata, yaitu;
1.      Akibat hukum bagi suami-istri itu sendiri, misalnya adanya hak dan kewajiban bagi keduanya;
2.      Akibat hukum terhadap harta kekayaan suami-istri itu sendiri, yaitu hak atas harta benda di dalam perkawinan;
3.      Akibat hukum yang berlaku terhadap keturunan;
4.       Akibat hukum bagi pihak ketiga.
2.      Hak dan Kewajiban Suami-Isteri
Suami-isteri harus setia satu sama lain, bantu membantu, berdiam bersama-sama, saling memberikan nafkah dan bersama-sama mendidik anak. Perkawinan oleh undang-undang dipandang sebagai suatu “perkumpulan” (echtvereniging). Suami ditetapkan sebagai kepala atau pengurusnya, suami mengurus kekayan isteri, menentukan tempat kediaman bersama, melakukan kekuasan orang tua dan selanjutnya memberikan bantuan (bijstand) kepada isteri dalam hal melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Kekuasaan seorang suami didalam perkawinan itu dinamakan ‘maritale macht yang berasal dari bahasa prancis ‘mari=suami’.
Pasal 105 ayat 5 B.W, menyatakan bahwa ‘suami tidak diperbolehkan menjual atau menggadaikan benda-benda yang tak berderang kepunyaan isteri tanpa izin dari isteri’.
Pasal 104, membuka kemungkinan bagi isteri untuk (sebelum melangsungkan pernikahan) mengadakan perjanjian bahwa ia berhak untuk mengurus sendiri kekayaannya. Juga dengan “pemisahan kekayan” (‘scheiding van goederen’) atau dengan ‘pemisahan meja dan tempat tidur” isteri dengan sendirinya memperoleh kembali haknya untuk mengurus kekayaan sendiri.
Jikalau suami memberikan bantuan (bijstand), suami-isteri itu tidak berhak bersama-sama; isteri untuk dirinya sendiri dan suami untuk membatu isterinya. Jadi mereka bersama-sama, misalnya pergi ke notaris atau menghaap hakim. Menurut pasal 108 bantuan itu dapat diganti dengan suati persetujuan tertulis. Perkataan acte dalam pasal 108 tersebut, melainkan berarti ‘perbuatan hukum”.  “acte” = “perbuatan” berasal dari bahasa Prancis.
Ketidak cakapan seorang isteri itu, didalam hukum perjanjian dinyatakan secara tegas (pasal 1330); seorang perempuan yang telah kawin dipersamakan dengan seorang yang berada di bawah curatele atau seorang yang belum dewasa. Mereka ini semuanya dinyatakan “tidak cakap” untuk membuat suatu perja njian. Perbedaannya, seorang isteri bertindak sendiri (meskipun didampingi oleh suami atau dikuasakan), sedangkan orang yang belum dewasa atau seorang curandus tidak pernah tampil kemuka dan selalu di wakili oleh orang tua, wali atau kuator.  Ketidak cakapan seorang isteri, hanyalah mengenai perbuatan-perbuatan hukum yang terletak dilapangan hukum kekayaan dan yang mungiin membawa akibat-akibat bagi kekayaan isteri itu sendiri. Karena itu, mengakui seorang anak yang lahir diluar perkawinan atau memintakan curatela terhadap ayahnya ia dapat lakukan sendiri dengan tak usah dibantu oleh suami, begitu pula sebagai wali atau curatrice ata sebagai directrice suatu N.V. ia dapat bertindak sendiri.
Mengenai ketentuan bahwa seorang isteri harus dibantu pleh suaminya, ada beberapa pengecualian berdasarkan anggapan untuk perbuatan-perbuatan itu isteri telah mendapat persetujuan dari suamunya (verondestelde  machtinging). Yang dimaksudkan disini ialah perbuatan-perbuatan isteri untuk kepentingan rumah tangga dan apabila isteri mempunyai pekerjaan sendiri. Bantuan suami juga tidak diperlukan apabila isteri di tuntut didepan hakim dalam perkara pidana, begitu pula apabila isteri mengajukan gugatan terhadap suaminya untuk mendapatkan perceraian atau pemisahan kekayaan, atau ia sendiri di gugat oleh suaminya untuk mendapat perceraian.
Namun peraturan tentang ketidak cakapan seorang isteri sekarang dianggap tidak berlaku lagi oleh Mahkamah Agung. Karena pasal 108 B.W dianggap tiidak diperlukan karena sudah adanya pasal 31 ayat 1 yang mengatakan bahwa suami-isteri masing-masing berhak melakukan perbuatan hukum.
            Akibat-akibat perkawina, yaitu;
a.       Anak-anak yang lahir dari perkawinan, adalah anak yang sah (wetting0;
b.      Suami menjadi waris dari isteri juga sebaliknya, apabila salah satu meninggal dalam perkawinan;
c.       Oleh undang-undang dilarang jual-beli antar suami dan isteri;
d.      Perjanjian perburuhan antara suami dan isteri tak dibolehkan;
e.       Pemberian benda-benda atas nama tak diperbolehkan antar suami dan isteri;
f.       Suami tak di perbolehkan menjadi saksi di dalam suatu perkara isterinya dan sebaliknya; dan
g.      Suami tak dapat dituntut tentang beberapa kejahatan terhadap isterinya dan begitupula sebaliknya (misalnya pencurian).
3.      Percampuran kekayaan
Percampuran kekayaan antar suami dan isteri (algehele gemeenschap van goederen)  dimulai sejak terjadinya perkawinan jikalau tidak di adakan perjanjian apa-apa dan berangsung seterusnya dan tidak dapat diubah selama perkawinan. Terkecuali diadakan ‘perjanjian perkawinan’ yang dimana perjanjian perkawinan ini dapat dilakukan sebelum berlangsung nya perkawinan dan diletakan dalam suatu akte notaris. Keadaan dalam perjanjian itu tidak dapat diubah selama perkawinan. Undang-undang menghendaki supaya keadaan kekayaan dalam suatu perkawianan iti tetap, karen untuk melindungi kepentingan orang ketiga.
Percampuran kekayaan,  adalah mengenai seluruh aktivitas dan passiva baik yang diubah oleh masing-masing pihak kedalam perkawinan maupun yang akan diperoleh di kemudian hari selama perkawinan. Kekayaan bersama /gemeenschap.
Hak mengurus kekayaan bersama berada ditangan suami, yang dalam hal ini mempumyai kekuasaan yang sangat luas. Dijelaskan dalam pasal 124 ayat 3. Terhadap kekuasaan suami yang sangat luas itu, kepada isteri hanya diberikan hak untuk apabila suami melakukan pengurusan yang sangat buru (‘wanbeheer’) isteri dapat meminta kepada hakim supaya diadakan “pemisahan kekayaan”, atau kalau suami mengobralkan kekayaannya dapat dimintakan curatele. Isteri juga diberikan hak untuk melepaskan haknya atas kekayaan bersama (‘afstand doen van de gemeenschap’), apabila perkawinan dipecahkan. Yang bertujuan untuk menghindarkan diri dari penagihan hutang-hutang gemeenschap/ hutang bersama.
Pasal 140 ayat 3, mengizinkan untuk memperjanjikan didalam perjanjian perkawinaan, bahwa suami tak diperbolehkan menjual atau menggadaikan benda-benda atas nama yang  jatuh dalam gemeenschap dari pihak isteri dengan tiada izin isteri. Namun suami dapat pula mencabut perizinan yang dianggap telah ia berikan (veronderstelde machtinging) mengenai pembelian-pembelian untuk rumah tangga dan mengenai pekerjaan (eigen beroep) dari isteri.
Tanggung jawab terhadap hutang-hutang
            Untuk menetapkan tanggung jawab mengenai sesuatu hutang haruslah ditetapkan lebih dahulu, apakah hutang itu bersifat prive ataukah suatu hutang untuk keperluan bersama. Untuk suatu hutang prive harus dituntut suami atau yang membuat hutang tersebut, dang yang harus disita pertama-tama adalah benda prive. Apabila tidak ada benda prive atau ada tetapi tidak mencukupi, maka dapatlah disita pula benda bersamanya. Akan tetapi jika suamu yang membuat hutang benda prive isteri tak dapat disita, dan begitupula sebaliknya. Mengenai hutang gemeenschap, undang-undak merumuskan bahwasanya suami selau dapat dipertanggung jawabkan untuk hutang-hutang gemeenschap yang diperbuat oleh isterinya, tetapi isteri tak dapat dipertanggung jawabkan untuk hutang-hutang gemeenschap yang diperbuat suami.
            Gemeenschap itu berakhir dengan berakhirnya pula perkawinan, yaitu;
a)      Dengan matinya salah satu pihak,
b)      Degan perceraian,
c)      Dengan perkawinan baru sang isteri, setelah ia mendapat izin hakim, yaitu apabila suami bepergian sampai sebuluh tahun lamanya tanpa deketahui alamatnya,
d)     Diadakan “pemisahaan kekayaan’, dan
e)      Perpisahan meja dan tempat tidur.
Mengenai apabila halnya gemeenschap itu telah dihapuskan maka pertanggung jawaban atas hutang-hutang gemeenschap, adalah sebagai berikut;
1)      Masing-masing tetap bertanggung jawab tentang hutang-hutang yang telah dibuatnya.
2)      Disamping itu suami masih dapat dituntut pula tentang hutang-hutang yang telah dibuat oleh isteri.
3)      Isteri dapat dituntut untuk separuh tentang hutang-hutang yang telah diperbuat oleh suami.
4)      Sehabis diadakan pembaian, tak dapat lagi dituntut tentang hutang yang dinuat oleh yang lain sebelum perkawinan.
4.      Perjanjian perkawinan (huwelijksvoorwaarden)
Perjanjian perkawinan ini menurut undnag-undang harus diadakan sebelum perkawinan dilagsunhkan dan harus diletakkan dalam suatu akte notaris. Mengenai bentukndan isi perjanjian tersebut,  kedua belah pihak diberi kemerdekaan seluas-luasnya asalakan tidak bertentangan degan apa yang dicantumkn dalam aturan undang-undang.
Suatu perjanjia perkawinan misalnya, hanya dapat menyingkirkan suatu benda saja (misalnya rumah) dari percampuran kekayaan, tetapi dapat juga menyingkirkan segala percampuran. Undang-undang menyebutkan dua contoh perjanjia yang banyak terpakai, yaitu ”perjanjian laba rugi” dan “perjanjian percampuran penghasilan”.
Pada umumnya orang yang masih dibawah umur (-21 tahun), tidak diperbolehkan bertindak sendiri dan harus diwakili orang tuanya atau walinya. Tetapi dalam melakjukan perjanjian perkawinan orang yang belum mencapai umur 21 tahun dapat melakukan perjanjian dengan bantuan orang tua atau orang-orang yang diharuskan memberi izinkepadanya untuk kawin.
Perjanjian mulai berlaku antara suami-isteri,  pada saat pernikahan ditutup didepan pegawai pencatatan sipil dan mulai berlaku terhadap pihak-pihak ketiga sejak hari pendaftarannya dikepaniteraan pengadilan negeri setempat dimana pernikahan telah dilangsungkan.
perjanjian laba rugi, menurut undang-undang  yang termasuk “laba” (“winst”) ialah segala kemajuan kekayaan yang timbul dari benda, pekerjaan dan kerajinan masing-masing  (pasal 157). Dan yang termasuk  “rugi” {“verlies”) ialah semua hutang yang mengena suami-isteri bersama dan diperbuat selama perkawinan.
5.      Perceraian
Perceraian ialah  penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.
Perceraian tidak diperbolehkan oleh undang-undang  jika bercerai atas pemufakatan. Ada empat alasan sah yang harus diberikan suami-isteri yang akan melangsungkan perceraian, yang dicantum kan undang-undang  agar perceraian tersebut dapat dilakukan, yaitu;
a)      Zinah (overspel);
b)      Ditinggalkan dengan sengaja (kwaadwillige verlating);
c)      Penghukuman yang melebihi 5 tahun karena persalahkan melakukan suatu kejahatan; dan
d)     Penganiayaan berat atau membahayakan jiwa (pasal 209 B.W).
Undang-ndang perkawinan menambahkan dua alasan, yaitu;
a)      Salah satu pihak mendapat cacd badan/penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
b)      Antara suami-isteri terus-menerus terjadi perselisihan/pertengkaran dan tidk ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga (pasal 19 PP 9/1975).
Tuntutan untuk mendapat perceraian diajukan kepada hakim secara gugat biasa dalam perkara perdata, tetapi harus didahului dengan meminta izin kepada kepala pengadilan negeri untuk menggugat. Sebelum izin diberikan, hakim harus lebih dahulu mengadakan pecobaan untuk mendamaikan kedua belah pihak (verzoeningscomparitie).
6.      Pemisahan kekayaan
Untuk melindungi isteri terhadap kekuasan suami yang sangat luas atas kekayaan bersama serta kekayaan pribadi isteri, undang-undang memberikan pada isteri suatu hak untuk meminta pada hakim supaya diadakan pemisahan kekayaan dengan tetap berlangsungnya perkawinan.
Pemisahan kekayaan dapat diminta oleh isteri, apabila;
a)      Suami dengan kelakuan yang nyata-nyata tidak baik, mengorbankan kekayan bersama dan membahayakan keluarga;
b)      Suami melakukan pengurusan yang buruk terhadap kekuasaan isteri, hingga ada kekhawatiran kekayaan ini akan menjadi habis;
c)      Suami mengobralkan kekayaan sendiri, hingga istri akan kehilangan tangguan yang oleh undang-undang diberikan padanya atas kekayaan tersebut karena pengurusan yang dilkukan oleh suami terhadap kekayaan isterinya.
Gugatan untuk mendapatkan pemisahan kekayaan harus diumumkan dahulu sebelum diperiksa dan diputuskan oleh hakim, putusan hakim itu pun harus diumumkan.
            Pemisahan kekayaan dapat diakhiri atas persetujuan kedua belah pihak dengan meletakkan persetujuan itu dalam suatu akte notaris, yang harus diumumkan sama seperti yang ditentukan untuk pengumuman putusan hakim  dalam mengadakan pemisahan itu.

D.    HUKUM KELUARGA
1.      Keturunan
Seorang anak sah (wetting kind) ialah anak yang dianggap lahir dari perkawinaan yang sah antara ayah dan ibunya. Kepastian seorang anak sungguh-sungguh anak ayahnya tentunya sukar didapat.
Sehubungan dengan itu oleh undang-undang ditetapkan suatu tenggang kandungan yang paling lama, yaitu 300  hari dan suatu tenggang kandungan yang paling pendek, yaitu 180 hari. Seorang anak yang lahir 300 hari setelah perkawinan orang tuanya dihapuskan, adalah anak yang tidak sah.
Pembuktian keturunan harus dilakukan dengan surat kelahiran yang diberikan oleh pegawai pencatatan sipil, jika tidak mungkin didapatkan surat kelahiran, hakim dapat memakai bukti-bukti lain asal saja keadaan yang nampak keluarr, menunjukan adanya hubungan seperti antara anak dan orang tuanya.
Anak yang lahir diluar perkawinan dinamakan ‘natuurlijkkind” munurut B.W  ia dapat diakui atau tidak diakui oleh ayah ibunya dengan adanya pengakuan. Undang-undang tidak membolehkan pengakuan terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perzinahan (“overspel”) atau yang dilahirkan dari hubungan gelap antar dua orang yang dilarang kawin satun sama lain.
2.      Kekuasaan orang tua (ouderlijke macht)
seorang anak yang sah sampai pada waktu ia mencapai usia dewasa atau kawin, berada di bawah kekuasaan orang tuanya (ouderlijke macht) selama kedua orangh tua itu terikat dalam hubungan perkawinan. Dengan demikian kekuasaan orang tua mulai berlaku sejak anak dilahirkan atu sejak pengesahaan dan berakhir pada waktu anak itu menjadi dewasa atau kawin, atau pada waktu perkawinan orang tuanya dihapuskan.
3.      Perwalian (Voogdij)
Perwalian (voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang dibawah umur, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut di atur oleh undang-undang.
Anak yang berada dibawah perwalian adalah;
a)      Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tuanya;
b)      Anak sah yang orang tuanya telah becerai;
c)      Anak yang lahir diluar perkawinan (natuurlijk kind).
Pada umumnya dalam tiap perwalian, hanya ada seorang wali saja. Kecuali, apabila seorang wali-ibu (moedervoogdes) kawin lagi, dalam halmana suaminya menjadi medevoogd.
4.      Pendewasaan (handlichtingi)
Pendewasaan/handlichting adalah suatu pernyataan tentang seseorang yang belum mencapai usia dewasa sepenuhnya atau hanya untuk beberapa hal saja dipersamakan dengan seorang yang sudah dewasa. Permohonan untuk dipersamakan sepenuhnya dengan seorang yang sudah dewasa, dapat diajukan oleh seorang anak yang sudah mencapai umur 20 tahun kepada presiden, dengan melampikan surat kelahiran atau lain-lain bukti yang menyatakan ia telah mencapai umur tersebut.
5.      Pengampuan (curatele)
Pengampuan adalah keadaan dimana seseorang (curadus) karena sifat pribadinya dianggap tidak cakap dalam lalu lintas hukum/perbuatan hukum.
Jadi dapat dikatakan pengampuan, atas dasar keputusan hakim seseorang dianggap tidak cakap bertidak sendri.  Terdapat dalam pasal 433 KUHPER.
Kedudukan seorang yang telah ditaruh dibawah curatele, sama seperti seorang yang belum dewasa. Pengampuan berlaku terus sampai adanya putusan hakim yang mencabutnya, atau sebab-sebabnya telah hilang.
6.      Orang yang hilang
Jikalau seseorang meninggalkan tempat tinggalnya dengan tidak memberi kuasa pada seseorang untuk menurus kepentingan-kepentingannya, sedangkan kepentingan-kepentingan-kepentingan itu harus diurus atau orang itu harus diwakili, maka atas kepentingan orang yag berkepentingan ataupun atas permintaan jaksa, hakim harus sementara memerintahkan Balai Harta Peninggalan untuk mengurus kepentingan-kepentingan  yang bepergian itu dan dimanapun perlu mewakili orang itu, jika kekayaan orang yang bepergian itu tidak begitu besar, maka pengurusannya cukup diserahkan saja kepada anggota-anggota keluarga yang ditunjuk oleh hakim. Jika sudah lewat lima tahun dari ahri ia meninggalkan tempat tinggalnya, orang yang berkepentingan dapat meminta surat keterangan bahwa orang tersebut dianggap meninggal kepada hakim.



KUH PERDATA BUKU I
TENTANG HUKUM ORANG
            Buku pertama mengatur tentang orang sebagai subyek hukum, hukum perkawinan dan hukum keluarga, termasuk waris. KUHPerdata Buku I memuat sebagai berikut :
Bab I - Tentang menikmati dan kehilangan hak-hak kewargaan
Bab II - Tentang akta-akta catatan sipi
Bab III - Tentang tempat tinggal atau domisili
Bab IV - Tentang perkawinan
Bab V - Tentang hak dan kewajiban suami-istri
Bab VI - Tentang harta-bersama menurut undang-undang dan pengurusannya
Bab VII - Tentang perjanjian kawin
Bab VIII - Tentang gabungan harta-bersama atau perjanjian kawin pada perkawinan kedua atau selanjutnya
Bab IX - Tentang pemisahan harta-benda
Bab X - Tentang pembubaran perkawinan
Bab XI - Tentang pisah meja dan ranjang
Bab XII - Tentang keayahan dan asal keturunan anak-anak
Bab XIII - Tentang kekeluargaan sedarah dan semenda
Bab XIV - Tentang kekuasaan orang tua
Bab XIVA - Tentang penentuan, perubaran dan pencabutan tunjangan nafkah
Bab XV - Tentang kebelumdewasaan dan perwalian
Bab XVI - Tentang pendewasaan
Bab XVII - Tentang pengampuan
Bab XVIII - Tentang ketidakhadiran


BUKU II PERIHAL BENDA (VANZAKEN)

A.  PENGERTIAN BENDA
Pengertian benda secara hukum dapat kita lihat dalam Pasal 499 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut:  “Menurut paham Undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik”. Didalam KUHPerdata dapat ditemukan dua istilah yaitu benda (zaak) yaitu segala sesuatu yang dapat menjadi objek hak milik dapat diperjualbelikan, diwariskan, dan dapat diperalihkan kepada pihak lain. dan barang (goed).
Pada umumnya yang diartikan dengan benda baik itu berupa benda yang berwujud, bagian kekayaan, ataupun yang berupa hak ialah segala sesuatu yang dapat dikuasai manusia dan dapat dijadikan obyek hukum. Jadi untuk dapat menjadi obyek hukum ada syarat yang harus dipenuhi yaitu penguasaan manusia dan mempunyai nilai ekonomi dan karena itu dapat dijadikan sebagai obyek hukum. Selain daripada itu di dalam KUHPerdata terdapat istilah Zaak yang tidak berarti benda tetapi dipakai untuk arti yang lain, yaitu misalnya:
a.       Pasal 1792 KUHPerdata: Lastgeving ialah suatu perjanjian yang disitu seseorang memberikan kuasa kepada seorang lain danorang ini menerimanya untuk melakukan suatu zaak lastgever itu (Zaak disini berarti perbuatan hukum.
b.      Pasal 1354 KUHperdata: apabila seseorang dengan sukarela tanpa mendapat pesanan untuk itu untuk menyelenggarakan zaak seorang lain dengan atau tanpa diketahui orang lain dan sebagainya (Zaak disini berarti kepentingan)
c.       .Pasal 1263 KUHPerdata : perutangan dengan syarat menunda ialah perutangan yang tergantung daripada suatu kejadian yang akan datang dan tidak pasti atau daripada suatu zaak yang sudah terjadi tetapi belum diketahui oleh para pihak (Zaak disini mempunyai arti kenyataan hukum).
Sistem pengaturan hukum benda yaitu tertutup artinya  orang tidak dapat mengadakan hak keandaan baru  selain yang sudah ditetapkan undang-undang.
B.  DASAR HUKUM
Pada masa kini, selain diatur di Buku II BW, hukum benda juga diatur dalam;
1)      Undang Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960, dimana diatur hak hak kebendaan yang berkaitan dengan bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya. Dengan berlakunya UUPA ini maka berlakunya pasal-pasal dalam Buku II KUHPerdata dapat dirinci sebagai berikut:
a)      Pasal-pasal yang masih berlaku penuh.
b)      Pasal-pasal yang tidak berlaku lagi, yaitu pasal-pasal yang mengatur tentang   bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
c)      Pasal-pasal yang masih berlaku tetapi tidak penuh, dalam arti bahwa ketentuan-ketentuannya tidak berlaku sepanjang mengenai bumi,air an kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan masih  berlaku sepanjang mengenai benda-benda lainnya.
2)      Undang Undang Merek No.21 Tahun 1961, yang mengatur tentang hak atas penggunaan merek perusahaan dan merek perniagaan .
3)      Undang Undang Hak Cipta No.6 Tahun 1982, yang mengatur tentang hak cipta sebagai benda tak berwujud, yang dapat dijadikan obyek hak milik .
4)      Undang Undang tentang Hak Tanggungan tahun 1996, yang mengatur tentang hakatas tanah dan bangunan diatasnya sebagai pengganti hipotik dan crediet verband .
5)      UU No 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya
6)      UU No 42 Tahun 1999 tentang Fidusia
C.  MACAM-MACAM KEBENDAAN
1)      Benda berwujud dan benda tidak berwujud
Arti penting pembedaan ini adalah pada saat pemindah tanganan benda dimaksud, yaitu :
  • Kalau benda berwujud itu benda bergerak, pemindah tanganannya harus secara nyata dari tangan ke tangan.
  • Kalau benda berwujud itu benda tidak bergerak, pemindah tanganannya harus dilakukan dengan balik nama. Contohnya, jual beli rokok dan jual beli rumah.
Penyerahan benda tidak berwujud dalam bentuk berbagai piutang dilakukan dengan:
a)      Piutang atas nama (op naam) dengan cara Cessie.
b)      Piutang atas tunjuk (an toonder) dengan cara penyerahan surat dokumen yang bersangkutan dari tangan ke tangan.
c)      Piutang atas pengganti (aan order) dengan cara endosemen serta penyerahan dokumen yang bersangkutan dari tangan ke tangan ( Ps. 163 BWI).
2)      Benda bergerak dan benda tidak bergerak
Benda bergerak adalah benda yang menurut sifatnya dapat dipindahkan (Ps.509 BWI). Benda bergerak karena ketentuan undang undang adalah hak hak yang melekat pada benda bergerak (Ps.511 BWI. Arti penting pembedaan benda sebagai bergerak dan tidak bergerak terletak pada :
  • Penguasaannya (bezit), dimana terhadap benda bergerak maka orang yang menguasai benda tersebut dianggap sebagai pemiliknya (Ps.1977 BWI); azas ini tidak berlaku bagi benda tidak bergerak.
  • Penyerahannya (levering), yaitu terhadap benda bergerak harus dilakukan secara nyata, sedangkan pada benda tidak bergerak dilakukandengan balik nama ;
  • Dadaluwarsa (verjaaring), yaitu pada benda bergerak tidak dikenal daluwarsa.sedang pada benda tidak bergerak terdapat kadaluwarsa, yaitu;
a)      Dalam hal ada alas hak, daluwarsanya 20 tahun;Dalam hal tidak ada alas hak, daluwarsanya 30 tahun pembebanannya (bezwaring), dimana untuk benda bergerak dengangadai, sedangkan untuk benda tidak bergerak dengan hipotik.
b)      Dalam hal pensitaan (beslag), dimana revindicatoir beslah (penyitaan untuk menuntut kembali barangnya),hanya dapat dilakukan terhadap barang barang bergerak . Penyitaan untuk melaksanakan putusan pengadilan (executoir beslah) harus dilakukan terlebih dahulu terhadap barang barang bergerak, dan apabila masih belum mencukupi untuk pelunasan hutang tergugat, baru dilakukan executoir terhadap barang tidak bergerak.
3)      Benda dipakai habis dan benda tidak dipakai habis
Pembendaan ini penting artinya dalam hal pembatalan perjanjian. Pada perjanjian yang obyeknya adalah benda yang dipakai habis, pembatalannya sulit untuk mengembalikan seperti keadaan benda itu semula, oleh karena itu harus diganti dengan benda lain yang sama / sejenis serta senilai, misalnya beras, kayu bakar, minyak tanah dan lain sebagainya. Pada perjanjian yang obyeknya adalah benda yang tidak dipakai habis tidaklah terlalu sulit bila perjanjian dibatalkan, karena bendanya masih tetap ada, dan dapat diserahkan kembali, seperti pembatalan jual beli televisi, kendaraan bermotor, perhiasan dan lain sebagainya. .
4)      Benda sudah ada dan benda akan ada
Arti penting pembendaan ini terletak pada pembebanan sebagai jaminan hutang, atau pada pelaksanaan perjanjian. Benda sudah ada dapat dijadikan jaminan hutang dan pelaksanaan perjanjiannya dengan cara menyerahkan benda tersebut. Benda akan ada tidak dapat dijadikan jaminan hutang, bahkan perjanjian yang obyeknya benda akan ada bisa terancam batal bila pemenuhannya itu tidak mungkin dapat dilaksanakan (Ps.1320 btr 3 BWI) .
5)      Benda dalam perdagangan dan benda luar perdagangan
Arti penting dari pembendaan ini terletak pada pemindah tanganan benda tersebut karena jual beli atau karena warisan. Benda dalam perdagangan dapat diperjual belikan dengan bebas, atau diwariskan kepada ahli waris,sedangkan benda luar perdagangan tidak dapat diperjual belikan atau diwariskan, umpamanya tanah wakaf, narkotika, benda benda yang melanggar ketertiban dan kesusilaan
6)      Benda dapat dibagi dan benda tidak dapat dibagi
Letak pembendaannya menjadi penting dalam hal pemenuhan prestasi suatu perjanjian, di mana terhadap benda yang dapat dibagi, prestasi pemenuhan perjanjian dapat dilakukan tidak sekaligus, dapat bertahap, misalnya perjanjian memberikan satu ton gandum dapat dilakukan dalambeberapa kali pengiriman, yang penting jumlah keseluruhannya harus satu ton. Lain halnya dengan benda yang tidak dapat dibagi, maka pemenuhan prestasi tidak dapat dilakukan sebagian demi sebagian, melainkan harus secara seutuhnya, misalnya perjanjian sewa menyewa mobil, tidak bisa sekarang diserahkan rodanya, besok baru joknya dan lain sebagainya.
7)      Benda terdaftar dan benda tidak terdaftar
Arti penting pembendaannya terletak pada pembuktian kepemilikannya. Benda terdaftar dibuktikan dengan bukti pendaftarannya, umumnya berupa sertifikat/dokumen atas nama si pemilik, seperti tanah, kendaraan bermotor,perusahaan, hak cipta, telpon, televisi dan lain sebagainya.. Pemerintah lebih mudah melakukan kontrol atas benda terdaftar, baik dari segi tertib administrasi kepemilikan maupun dari pembayaran pajaknya. Benda tidak terdaftar sulit untuk mengetahui dengan pasti siapa pemilik yang sah atas benda itu, karena berlaku azas ‘siapa yang menguasai benda itu dianggap sebagai pemiliknya’. Contohnya, perhiasan, alat alat rumah tangga, hewan piaraan, pakaian dan lain sebagainya.
D.  HAK KEBENDAAN
A. Asas-asas hak kebendaan;:
1.      Asas hukum pemaksa (dwingendrecht)
2.      Asas dapat dipindahtangankan
3.      Asas individualitas
4.      Asas totalitas
5.      Asas tidak dapat dipisahkan
6.      Asas prioritas
7.      Asas percampuran
8.      Pengaturan benda bergerak berbeda dengan benda tetap
9.      Asas publisitas
10.  Asas mengenai sifat perjanjian
B. Sifat atau karakter hak kebendaan
Perbedaan antara hak kebendaan yang diatur dalam Buku II BW dengan hak perorangan yang diatur dalam Buku III BW adalah sebagai berikut :
·         Hak kebendaan bersifat mutlak (absolut), karena berlaku terhadap siapa saja, dan orang lain harus menghormati hak tersebut, sedangkan hak perorangan berlaku secara nisbi (relatief), karena hanya melibatkan orang / pihak tertentu saja, yakni yang ada dalam suatu perjanjian saja.
·         Hak kebendaan berlangsung lama, bisa jadi selama seseorang masih hidup, atau bahkan bisa berlanjut setelah diwariskan kepada ahli warisnya, sedangkan hukum perorangan berlangsung relatif lebih singkat, yakni sebatas pelaksanaan perjanjian telah selesai dilakukan.
·         Hak kebendaan terbatas pada apa yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangan yang berlaku, tidak boleh mengarang / menciptakan sendiri hak yang llainnya, sedangkan dalam hak perorangan, lingkungannya amat luas, apa saja dapat dijadikan obyek perjanjian, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Oleh karena itu sering dikatakan hukum kebendaan itu bersifat tertutup, sedangkan hukum perorangan bersifat terbuka.
C. Ciri-ciri Hak Kebendaan
·         Hak Mutlak / absolut mengikuti benda dimana hak itu melekat, misalnya hak sewa tetap mengikuti benda itu berada, siapapun yang memiliki hak diatasnya.
·         Hak yang ada terlebih dahulu (yang lebih tua), kedudukannya lebih tinggi; misalnya sebuah rumah dibebani hipotik 1 dan hipotik 2, maka penyelesaian hutang atas hipotik 1 harus didahulukan dari hutang atas hipotik 2.
·         Memiliki sifat diutamakan, misalnya suatu rumah harus dijual untuk
    1. Melunasi hutang, maka hasil penjualannya lebih diutamakan untuk melunasi hipotik atas rumah itu.
    2. Dapat dilakukan gugatan terhadap siapapun yang mengganggu hak yang bersangkutan. Pemindahan hak kebendaan dapat dilakukan kepada siapapun .
D. Penggolongan hak kebendaan
Hak atas Kebendaan dibagi dalam 2 (dua) macam, yaitu :
1)        Hak Kebendaaan yang memberi kenikmatan.
a. Bezit, merupakan suatu keadaan dimana seseorang menguasai suatu benda , baik sendiri maupun dengan perantaraan orang lain , seolah-olahnya benda itu miliknya sendiri
b. Hak milik (hak eigendom), disebutkan dalam pasal 570 BW menyatakan bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu benda dengan sepenuhnya dan untuk berbuat sebebas-bebasnya terhadap benda itu.
c. Hak memungut hasil adalah hak untuk menarik hasil (memungut) hasil dari benda orang lain , seolah-olah benda itu miliknya sendiri dengan kewajiban untuk menjaga benda tersebut tetap dalam keadaan seperti semula .
d. Hak pakai dan mendiami, dalam BW hak pakai dan hak mendiami ini diatur dalam buku II title XI dari pasal 818 s.d 829 . dalam pasal 818 BW hanya disebutkan bahwa hak pakai dan hak mendiami itu merupakan hak kebendaan yang terjadinya dan hapusnya sama seperti hak memungut hasil (vruchtgebruik).
Dengan berlakunya UUPA, pengganti dari hak atas tanah yang dihapus adalah :
1.      Hak Milik ; Hak Guna Usaha: Hak Guna Bangunan ; Hak Pakai;
2.      Hak Sewa untuk bangunan: Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan;
3.      Hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan;
4.      Hak guna ruang angkasa;
5.      Hak hak tanah untuk kepentingan keagamaan dan social

2)      Hak Kebendaan Yang bersifat Memberi Jaminan ;

a.       Hak gadai (pasal 1150 BW) adalah  hak yang diperoleh atas suatu benda bergerak yang diberikan kepadanya oleh debitur.
obyek :benda bergerak dan subyek : orang cakap
b.      Jaminan fidusia : hak jaminan atas benda bergerak baik berwujud maupun tidak dan benda tidak bergerak dibebani hak tanggungan. Subyek : orang yang membuat perjanjian.
c.       Hypotheek : hak kebendaan yang bersifat memberikan jaminan kepada kreditur bahwa piutangnya akan dilunasia debitur (dalam buku II title XXI pasal 1162 s.d 1232, tidak semua berlaku )
d.      Privilege (piutang –piutang yang di istimewakan)
E. Perolehan hak kebendaan   
 Ada beberapa cara untuk memperoleh hak kebendaan, seperti :
  1. Melaui Pengakuan Benda yang tidak diketahui siapa pemiliknya (res nullius) kemudian didapatkan dan diakui oleh seseorang yang mendapatkannya, dianggap sebagai pemiliknya. Contohnya, orang yang menangkap ikan, barang siapa yang mendapat ikan itu dan kemudian mengaku sebagai pemiliknya, dialah pemilik ikan tersebut. Demikian pula halnya dengan berburu dihutan, menggali harta karun dan lain sebagainya.
  2. Melalui Penemuan Benda yang semula milik orang lain akan tetapi lepas dari penguasaannya, karena misalnya jatuh di perjalanan, maka barang siapa yang menemukan barang tersebut dan ia tidak mengetahui siapa pemiliknya, menjadi pemilik barang yang diketemukannya . Contoh ini adalah aplikasi hak bezit.
  3. Melalui Penyerahan Cara ini yang lazim, yaitu hak kebendaan diperoleh melalui penyerahan berdasarkan alas hak (rechts titel) tertentu, seperti jual beli, sewa menyewa, hibah warisan dan lain sebagainya. Dengan adanya penyerahan maka titel berpindah kepada siapa benda itu diserahkan.
  4. Dengan Daluwarsa Barang siapa menguasai benda bergerak yang dia tidak ketahui pemilik benda itu sebelumnya (misalnya karena menemukannya), hak milik atas benda itu diperoleh setelah lewat waktu 3 tahun sejak orang tersebut menguasai benda yang bersangkutan. Untuk benda tidak bergerak, daluwarsanya adalah :
    1. jika ada alas hak, 20 tahun
    2. jika tidak ada alas hak, 30 tahun.
5.      Melalui Pewarisan Hak kebendaan bisa diperoleh melalui warisan berdasarkan hukum waris yang berlaku, bisa hukum adat, hukum Islam atau hukum barat.
6.      Dengan Penciptaan Seseorang yang menciptakan benda baru, baik dari benda yang sudah ada maupun samasekali baru, dapat memperoleh hak milik atas benda ciptaannya itu. Contohnya orang yang menciptakan patung dari sebatang kayu, menjadi pemilik patung itu, demikian pula hak kebendaan tidak berwujud seperti hak paten, hak cipta dan lain sabagainya.
7.      Dengan cara ikutan / turunan Seseorang yang membeli seekor sapi yang sedang bunting maka anak sapi yang dilahirkan dari induknya itu menjadi miliknya juga. Demikian pula orang yang membeli sebidang tanah, kemudian tumbuh pohon durian, maka pohon durian itu termasuk milik orang yang membeli tanah tersebut.
 F. Penghapusan hak kebendaan
 Hak kebendaan dapat hapus / lenyap karena hal hal :
1.      Bendanya Lenyap / musnah Karena musnahnya sesuatu benda, maka hak atas benda tersebut ikut lenyap, misalnya hak sewa atas sebuah rumah yang habis/musnah ketimbun longsoran tanah gunung, menjadi musnah juga. Atau, hak gadai atas sebuah sepeda motor, ikut habis apabila barang tersebut musnah karena kebakara;
  1. Karena dipindah-tangankan Hak milik, hak memungut hasil atau hak pakai menjadi hapus bila benda yang bersangkutan dipindah tangankan kepada orang lain;
  2. Karena Pelepasan Hak Dalam hal ini pada umumnya pelepasan yang bersangkutan dilakukan secara sengaja oleh yang memiliki hak tersebut, seperti radio yang rusak dibuang ketempat sampah. Dalam hal ini maka halk kepemilikan menjadi hapus dan bisa menjadi hak milik orang lain yang menemukan radio tersebut;
  3. Karena Kadaluwarsa Daluwarsa untuk barang tidak bergerak pada umumnya 30 tahun (karena ada alas hak), sedangkan untuk benda bergerak 3 tahun;
  4. Karena Pencabutan Hak Penguasa publik dapat mencabut hak kepemilikan seseorang atas benda tertentu, dengan memenuhi syarat :
    1. Harus didasarkan suatu undang undang
    2. Dilakukan untuk kepentingan umum (dengan ganti rugi yang layak)













BUKU III PERIHAL PERIKATAN
Hukum perikatan diatur dalam Buku III BW dengan judul van Verbintenissen (tentang perikatan) yang terdiri dari 18 Bab (title) ditambah dengan title VIII A dengan sistematik sebagai berikut :
BAB I (Pasal 1233 s.d 1312) tentang perikatan-perikatan pada umumnya;
BAB II (Pasal 1313 s.d 1352) tentang perikatan-perikatan yang timbul dari perjanjian;
BAB III (Pasal 1352 s.d 1380) tentang perikatan-perikatan yang timbul karena undang-undang;
BAB V (Pasal 1381 s.d 1456) tentang hapusnya perikatan-perikatan;
AB VI s.d XVIII ditambah BAB VII A (Pasal 1457 s.d 1864) tentang perjanjian-perjanjian khusus.
A.    PENGERTIAN PERIKATAN
“Perikatan”  (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luar dari perkataan “Perjanjian”. Sedab dalam buku tiga diatur juga perihal hubungan hukum yang samasekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau  perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melangar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurus kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaar).
Adapun yang dimaksud “perikatan” dalam buku III B.W adalah “suatu hubungan hukum (mengenai kekayaanharta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu”.
Menurut para ahli;
Prof. Subekti
“Perikatan adalah aturan yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak, dimana pihak yang satu mempunyai hak menuntut suatu prestasi (Kreditur) dari pihak lainnya yang wajib memenuhi tuntutan tersebut (Debitur)”.
J. Satrio, SH.
“Perikatan adalah hubungan Hukum antara dua pihak, dimana satu pihak ada hak dan di lain pihak ada kewajiban”.
Prof. DR. Mariam Darus Badrulzaman, SH
“Perikatan adalah hubungan yang terjadi diantara dua orang atau lebih, yang terletak didalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu”.
Dr. Herlien Budiono, SH mengatakan
”Sebenarnya yang dimaksud “dua orang atau lebih adalah dua pihak atau lebih” dalam praktek kenotariatan lazim, penandatanganan Akta dapat dilakukan oleh seorang penghadap, keadaaan demikian belum tentu berarti bahwa perjanjian tersebut tidak memiliki unsur “dua orang (pihak) atau lebih”.
Misalnya     : Mewakili berdasarkan kuasa untuk diri sendiri, juga bertindak dalam kedudukan pihak lain. Sama halnya dengan pendirian perseroan atau persekutuan perdata (1618 KUH Perdata).
Dan Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan :
“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
B.     SUMBER PERIKATAN
Mengenai sumber-sumber perikatan, oleh undang-undang diterangkan, bahwa suatu perikatan dapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari undang-undang.
Sumber Perikatan diatur dalam Pasal 1233 KUH Perdata :
  1. Adanya Undang-Undang; dan
  2. Adanya Perjanjian
C.    UNSUR-UNSUR PERIKATAN
Dari rumus di atas kita lihat bahwa unsur-unsur perikatan ada 4 (empat) yaitu :
1.       Hubungan hukum
Hubungan hukum ialah hubungan yang terhadapnya hukum melekatkan “hak” pada 1 (satu) pihak dan melekatkan “kewajiban” pada pihak lainnya.
Apabila 1 (satu) pihak tidak mengindahkan ataupun melanggar hubungan tadi, lalu hukum memaksakan supaya hubungan tersebut dipenuhi atau pun dipulihkan kembali.
Misalnya : A berjanji menjual sepeda kepada B. Ini adalah hubungan hukum. Akibat dari janji itu, A wajib menyerahkan sepeda miliknya kepada B dan berhak menuntut harganya, sedangkan B wajib menyerahkan harga sepeda itu dan berhak untuk menuntut penyerahan sepeda. Apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, maka hukum “memaksakan” agar kewajiban tadi dipenuhi. Seterusnya, kita melihat pula bahwa tidak semua hubungan hukum dapat disebutkan perikatan. Suatu janji untuk bersama-sama pergi piknik, tidak melahirkan perikatan, sebab janji tadi tidak mempunyai arti hukum. Janji demikian termasuk dalam lapangan moral, di mana tidak dipenuhinya prestasi akan menimbulkan “reaksi” dari dan oleh anggota-anggota masyarakat lainnya. Jadi, pelaksanaannya bersifat otonom dan sosiologis. Untuk menilai suatu hubungan hukum perikatan atau bukan, maka hukum mempunyai ukuran-ukuran (kriteria) tertentu.
2.      Kekayaan
Yang dimaksudkan dengan kriteria perikatan itu adalah ukuran-ukuran yang dipergunakan terhadap sesuatu hubungan hukum sehingga hubungan hukum itu dapat disebutkan suatu perikatan. Di dalam perkembangan sejarah, apa yang dipakai sebagai kriteria itu tidak tetap. Dahulu yang menjadi kriteria ialah hubungan hukum itu dapat dinilai dengan uang atau tidak. Apabila hubungan hukum itu dapat dinilai dengan uang, maka hubungan hukum tersebut merupakan suatu perikatan.
Kriteria itu semakin lama sukar untuk dipertahankan, karena di dalam masyarakat terdapat juga hubungan hukum yang tidak dapat dinilai dengan uang. Namun kalau terhadapnya tidak diberikan akibat hukum, rasa keadilan tidak akan dipenuhi. Dan ini bertentangan dengan salah satu tujuan dari pada hukum yaitu mencapai keadilan. Oleh karena itu, sekarang kriteria di atas tidak lagi dipertahankan sebagai kriteria, maka ditentukan bahwa sekalipun suatu hubungan hukum itu tidak dapat dinilai dengan uang, tetapi kalau masyarakat atau rasa keadilan menghendaki agar suatu hubungan itu diberi akibat hukum, maka hukum pun akan melekatkan akibat hukum pada hubungan tadi sebagai suatu perikatan.
3.      Pihak-pihak
Apabila hubungan hukum tadi dijajaki lebih jauh lagi maka hubungan hukum itu harus terjadi antara 2 (dua) orang atau lebih. Pihak yang berhak atas prestasi, pihak yang aktif adalah kreditur atau yang berpiutang dan pihak yang wajib memenuhi prestasi, pihak yang pasif adalah debitur atau yang berutang. Mereka ini yang disebut subjek perikatan.
Seorang debitur harus selamanya diketahui, oleh karena seseorang tentu tidak dapat menagih dari seorang yang tidak dikenal. Lain halnya dengan kreditur boleh merupakan seseorang yagn tidak diketahui.
Di dalam perikatan pihak-pihak kreditur dan debitur itu dapat diganti. Penggantian debitur harus diketahui atau persetujuan kreditur, sedangkan penggantian kreditur dapat terjadi secara sepihak. Bahkan untuk hal-hal tertentu, pada saat suatu perikatan lahir antara pihak-pihak, secara apriori disetujui hakikat penggantian kreditur itu.
Pada setiap perikatan sekurang-kurangnya harus 1 (satu) orang kreditur dan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang debitur. Hal ini tidak menutup kemungkinan dalam suatu perikatan itu terdapat beberapa orang kreditur dan beberapa orang debitur. Seorang kreditur dapat dilukiskan sebagaimana yang diuraikan di bawah ini :
  • Kreditur itu tidak perlu dikenal, artinya penggantian kreditur dapat terjadi secara sepihak, tanpa bantuan debitur, bahkan dalam lalu-lintas perdagangan yang tertentu penggantian itu telah disetujui terjadi sejak semula. Apabila dalam suatu perikatan kreditur itu ditentukan atau dikenal, maka kreditur yang seperti ini disebutkan kreditur yang memiliki gugatan atas nama (vordering op naam).
  • Penggantian kedudukan kreditur atau peralihan hak atas prestasi terjadi dengan melakukan suatu formalitas tertentu (vorm van rechthandeling) misalnya dengan suatu akta, misalnya akta cessie. Penggantian kedudukan kreditur itu dapat pula dilakukan dengan bentuk yang lebih mudah, tanpa dengan membuat akta cessie. Untuk itu kreditur harus membuat suatu pengakuan utang (schuldbekentenis). Pengakuan utang ini dapat berupa pengakuan utang atas tunjuk “aan order” atau atas bawah “aan toonder”. Peralihan dari pengakuan utang atas tunjuk dilakukan dengan penyerahan dari tangan ketangan dan di bagian belakang dari surat itu diperbuat keterangan tentang penyerahan (endorsement) dan tanda tangan dari pihak yang menyerahkan. Peralihan dari pengakuan utang atas bawa terjadi dengan syarat-syarat yang lebih ringan dari pada endorsement. Peralihan ini terjadi dengan penyerahan surat semata-mata, misalnya cheque. Apabila cara-cara peralihan hak kreditur yang tumbuh di dalam masyarakat sekarang kita perhatikan dengan seksama, maka ada tendens yang menunjukkan bahwa peralihan pengakuan utang atas bawa, juga memerlukan tanda tangan di belakang dari surat itu. Kita menemukan cek-cek yang di belakangnya tercantum tanda tangan kreditur yang mengalihkan, dengan tujuan agar pertanggungjawaban pemegang cek-cek sebelumnya itu dapat dimintakan apabila di kemudian hari si pemegang cek terakhir menemukan bahwa cek itu tadi tidak memiliki dana (kosong).
Seorang kreditur mungkin pula mengalihkan haknya atas prestasi kepada kreditur baru, hak mana adalah merupakan hak-hak pribadi yang kualitatif (kwalitatieve persoonlijke recht). Misalnya : A menjual sebuah mobil kepada B mobil mana telah diasuransikan kepada perusahaan asuransi. Dengan terjadinya peralihan hak milik dari A kepada B, maka B sekaligus pada saat yang sama B mengambil alih juga hak asuransi yang telah melekat pada mobil tersebut. Perikatan yang demikian dinamakan perikatan kualitatif dan hak yang terjadi dari perikatan demikian dinamakan hak kualitatif. Penggantian kreditur dapat pula terjadi dengan subrogasi. Seorang debitur dilukiskan sebagai berikut :
  • Dalam suatu perikatan sekurang-kurangnya harus ada seorang debitur.
  • Seorang debitur biasanya harus dikenal, karena seorang kreditur tidak dapat menagih seorang debitur yang tidak dikenal. Dengan demikian maka penggantian kedudukan debitur hanya dapat terjadi apabila kreditur telah memberikan persetujuan. Misalnya pengambilalihan utang (schuldoverneming).
  • Seorang debitur dapat terjadi karena perikatan kualitatif, sehingga kewajiban memenuhi prestasi dari debitur dinamakan kewajiban kualitatif, misalnya seorang pemilik baru dari sebuah rumah yang oleh pemilik sebelumnya diikatkan dalam suatu perjanjian sewa-menyewa, terikat untuk meneruskan perjanjian sewa-menyewa itu.
Menurut Asser”s (Handleiding tot de beoefening van het Ned Burgerlijkrecht cetakan tahun 1967), maka sejak saat suatu perikatan dilakukan, pihak kreditur dapat memberikan persetujuan untuk adanya penggantian debitur, misalnya di dalam suatu perjanjian jual beli dapat dijanjikan seseorang itu membeli untuk dirinya sendiri dan untuk pembeli-pembeli yang berikutnya (koop voor zich of voor nader to noemen meester). Apabila di dalam jual beli ini debitur (pembeli) belum melunaskan seluruh harga beli, maka dalam hal benda itu dialihkan kepada pembeli baru, maka kewajiban untuk membayar tersebut dengan sendirinya beralih kepada pembeli baru itu. Kedudukan debitur dapat berganti atau beralih dengan subrogasi.
Kualifikasi istilah prestasi didalam bahasa Hukum di Indonesia belum ada. Untuk menuangkan pengertian yang terkandung dalam istilah tadi ke dalam bahasa itu memerlukan kalimat panjang yang kurang praktis kedengarannya. Menurut hemat penulis pemakaian istilah prestasi di dalam lingkungan bahasa hukum di Indonesia tidaklah salah, oleh karena pada umumnya istilah tersebut lazim dipergunakan. Berdasarkan pemikiran yang demikian penulis di dalam bahasa Indonesia dapat langsung mempergunakannya sebagai bahasa milik sendiri.
Apabila 2 (dua) orang mengadakan perjanjian ataupun apabila undang-undang dengan terjadinya suatu peristiwa menciptakan suatu perikatan, jelaslah bahwa maksud dari kedua orang tersebut maupun dari pembentuk undang-undang untuk mengikat kedua orang itu memenuhi kewajiban. Untuk memenuhi sesuatu disebut dengan prestasi.
4.      Prestasi (Objek Hukum)
Pasal 1234 :
“Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.
Menurut Pasal 1234 KUHPerdata prestasi itu dibedakan atas :
  • Memberikan sesuatu.
  • Berbuat sesuatu.
  • Tidak berbuat sesuatu.
Ke dalam perikatan untuk memberikan sesuatu termasuk pemberian sejumlah uang, member benda untuk dipakai (menyewa), penyerahan hak milik atas benda tetap dan bergerak. Perikatan untuk melakukan sesuatu misalnya membangun rumah.
Perikatan untuk tidak melakukan sesuatu misalnya A membuat perjanjian dengan B ketika menjual apoteknya, untuk tidak menjalankan usaha apotek dalam daerah yang sama.
D.    PERIHAL PERIKATAN DALAM BW
Pasal 1313 BW
Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Pasal 1352 BW
Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet alleen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang (uit de wet ten gevolge van’s mensen toedoen).
Pasal 1353 BW
Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang, terbit dari perbuatan halal atau dari perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad).
Pasal 1365 BW
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Pasal 1380 BW
Tuntutan dalam perkara penghinaan gugur dengan lewatnya waktu satu tahun, terhitung mulai hari dilakukannya perbuatan dan diketahuinya perbuatan itu oleh si penggugat.
Pasal 1359 BW
Tiap-tiap pembayaran memperkirakan adanya suatu utang, apa yang telah dibayarkan dengan tidak diwajibkan, dapat dituntut kembali. Terhadap perikatan-perikatan bebas, yang secara sukarela telah dipenuhi, tak dapat dilakukan penuntutan kembali.
Pasal 1354 BW
Jika seseorang dengan sukarela, tanpa mendapat perintah untuk itu mengurus urusan orang lain, maka ia berkewajiban untuk meneruskan menyelesaikan urusan tersebut hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu. Pihak yang kepentingannya diwakili diwajibkan memenuhi perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh si wakil itu atas namanya dan mengganti semua pengeluaran yang sudah dilakukan oleh si wakil tadi.
Perikatan lahir dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang yang melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, undang-undang menetapkan kewajiban orang itu untuk member ganti rugi. Dengan meletakkan kewajiban member ganti rugi antara orang yang melakukan perbuatan yang melawan hukum kepada orang yang menderita kerugian karena perbuatan itu, lahirlah suatu perikatan di luar kemauan kedua orang tersebut.
Perikatan yang bersumber dari undang-undang semata-mata adalah perikatan yang dengan terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu, ditetapkan melahirkan suatu hubungan hukum (perikatan) diantara pihak-pihak yang bersangkutan, terlepas dari kemauan pihak-pihak tersebut.
Misalnya :
·         Lampau waktu (verjaring), adalah peristiwa-peristiwa dengan mana pembentuk undang-undang menetapkan adanya suatu perikatan antara orang-orang yang tertentu. Dengan lampaunya waktu seseorang mungkin terlepas haknya atas sesuatu atau mungkin mendapatkan haknya atas sesuatu.
·         Kematian. Dengan meninggalnya seseorang, maka perikatan yang pernah mengikat orang tersebut beralih kepada ahli warisnya.
·         Kelahiran. Dengan kelahiran anak maka timbul perikatan antara ayah dan anak, dimana si ayah wajib memelihara anak tersebut. Pasal 321 KUH Perdata “Tiap-tiap anak wajib member nafkah kepada orang tuanya dan para keluarga sedarahnya dalam garis ke atas, apabila mereka dalam keadaan miskin”.
Perikatan yang bersumber dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang maksudnya ialah bahwa dengan dilakukannya serangkaian tingkah laku seseorang, maka undang-undang melekatkan akibat hukum berupa perikatan terhadap orang tersebut. Tingkah laku seseorang tadi mungkin merupakan perbuatan yang menurut hukum (dibolehkan undang-undang) atau mungkin pula merupakan perbuatan yang tidak dibolehkan undang-undang (melawan hukum).
Perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang yang menurut hukum misalnya mengurus kepentingan orang lain (Zaakwaarneming), dimana sebagai akibatnya, undang-undang menetapkan beberapa hak dan kewajiban, yang harus mereka perhatikan seperti hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian. Disebut oleh pasal 1354 KUH Perdata “Jika seseorang dengan suka rela, tanpa mendapat perintah untuk itu, mengurus urusan orang lain, maka ia berkewajiban untuk meneruskan menyelesaikan urusan tersebut hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu. Pihak yang kepentingannya diwakili diwajibkan memenuhi perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh si wakil itu atas namanya, dan mengganti semua pengeluaran yang sudah dilakukan oleh si wakil tadi”.
Perikatan lahir dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang yang melawan hukum diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata, Undang-undang menetapkan kewajiban orang itu untuk member ganti rugi.
Dengan meletakkan kewajiban memberi ganti rugi antara orang yang melakukan perbuatan yang melawan hukum kepada orang yang menderita kerugian karena perbuatan itu, lahirlah suatu perikatan di luar kemauan kedua orang tersebut.

Perikatan yang lahir karena perjanjian
v  Harus memenuhi unsur-unsur sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata :
1.      Adanya kesepakatan
Tidak karena (1321 KUH Perdata) :
·         Kekhilafan (atas orang, barang, maupun tujuan perjanjian)
·         Penipuan
·         Paksaan
·         Harus diperkenankan, artinya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1335 dan 1337 KUH Perdata)
·         Harus tertentu atau dapat ditentukan, artinya harus terang dan jelas (Pasal 1320 ayat (3) dan 1333 KUH Perdata)
·         Harus mungkin dilakukan, artinya mungkin dilaksanakan menurut kemampuan manusia.
2.      Cakap (Pasal 1330 KUH Perdata).
3.      Suatu hal tertentu (Pasal 1333 KUH Perdata)
4.      Sebab/causa yang halal.
E.     MACAM-MACAM PERIKATAN
Bentuk perikatan yang paling sederhana, ialah suatu perikatan yang masing-masing pihak hanya ada satu orang dan satu prestasi yang seketika juga dapat ditagih pembayarannya. Disamping bentuk yang paling sederhana itu, terdapat pula macam-macam perikatan lainnya.
v  Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata Perikatan dapat dibedakan atas beberapa macam :
a)      Menurut isi dari pada prestasinya,
a.Perikatan positif dan negative;
b.Perikatan sepintas  lalu dan berkelanjutan
c.Perikatan alternative
d.Perikatan fakultatif
e.Perikatan generic dan specipik
f.Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi.
b)      Menurut Subjeknya :
a.Perikatan tanggung menanngung
b.Perikatan pokok dan tambahan.
c)      Menurut mulai berlakunya dan berakhirnya.
a.Perikatan bersyarat.
b.Perikatan dengan ketepatan waktu.
v  Menurut KUH Perdata Perikatan dibedakan beberapa macam sebagai berikut :
a)      Perikatan bersyarat, adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian dikemudian hari, yang masih belum tentu akan terjadi atau tidak terjadi.
b)      Perikatan dengan ketepatan waktu, adalah suatu hal yang pasti akan datang, messkipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya.
c)      Perikatan manasuka (alternatife).
d)     Perikatan tanggung menanggung, adalah suatu perikatan yang dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya.
e)      Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi
f)       Perikatan dengan ancaman hukuman, di pergunakan agar mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya, dalam praktek banyak dipakai perjanjian dimana si berhutang dikenakan suatu huukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya.
Berikut penjelasan macam-macam perikatan baik berdasarkan ilmu hukum maupun menurut KUH Perdata tersebut dibawah ini :
a.       Perikatan positif dan negative
Perikatan positif adalah perikatan yang prestasinya memberi sesuatu dan berbuat sesuat.
Perikatan negative adalah perikatan yang prestasinya tidak berbuat sesuatu.
Perikatan memberi sesuatu.
Pasal 1235 KUH Perdata :
“ Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban siberutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahan .”
Melihat isi dari ketentuan tersebut disimpulkan bahwa perikatan memberikan sesuatu merupakan perikatan untuk menyerahkan (leveren) dan mearawat benda (prestasi), sampai pada saat saat penyerahan dilakukan.
Dalam hal ini kewajiban untuk menyerahkan adalah merupakan kewajiban pokok sedangkan kewajiban merawat merupkan kewajiban prepatoir yang maksudnya bahwa hal-hal yang harus dilakukan oleh debitur menjelang penyerahan   dari benda yang diperjanjikan.
Istilah bapak rumah yang baik selain yang tersebut, juga disebut dalam Pasal 105 ayat 4 KUH Perdata disebutkan bahwa seorang suami harus mengurus harta kekayaan istri sebagai  bapak rumah yang baik.
Dalam Pasal 1256 KUH Perdata disebutkan bahwa seorang yang mengurus kepentingan orang lain dengan suka rela (Zaakwaarnemer) dalam melakukan pengurusan tersebut, melakukan tugasnya sebagai seorang bapak rumah yang baik. Dalam hal ini maksudnya adalah agar terhadap benda yang diperjanjikan berada dalam pengusaan debitur yang belum diserahkan kepada kreditur dijaga dan dipelihara atau dirawat secara pantas dan patut sesuai dengan ukuran yang wajar berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan agar tidakmenimbulkan kerugian bagi mereka yang menerimanya.
Sehubungan dengan itu apabila  debitur tidak memenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 1235 KUH Perdata, maka debitur berkewajiban memberikan ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 1236 KUH Perdata menyebutkan : “Siberutang adalah wajib memberikan ganti rugi biaya, rugi dan bunga kepada siberpiutang, apabila ia telah membawa dirinya dalam keadaan tak mampu untuk menyerahkan kebendaannya, atau telah tidak merawatnya sepatutnya guna menyelamatkannya.
a.       Perikatan untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu
1.Kewajiban memberi ganti rugi.
Pasal  1239 KUH Perdata.
“   Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu,atau tidak berbuat sesuatu, apabila siberutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaian dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga”
Untuk itu apabila berbuat sesuatu tidak dilaksanakan,  maka berpiutang berhak menuntut penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan, lebih jelasnya disebutkan dalam :
Pasal 1240 KUH Perdata.
“Dalam pada itu berpiutang adalah berhak menuntut akan penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan,dan bolehlah ia minta supaya dikuasakan oleh hakiml untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat tadi diatas siberutang dengan tak mengurangi hak menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alas an untuk itu”

2.Eksekusi riel (Parate Eksekusi)
Pasal 1241 KUH Perdata menyebutkan :
“Apabila perikatan tidak dilaksanakannya,maka si berpiutang boleh juga dikuasakan supaya ia sendirilah mengusahakan pelaksanaannya atas biaya siberutang”.
Yang dimaksud dengan riel eksekusi ialah bahwa kreditur dapat mewujudkan sendiri prestasi yang dijanjikan dengan biaya dari debitur berdasarkan kuasa yang diberikan Hakim.Dalam undang-undang tidak mengatur untuk memberikan sesuatu boleh atau tidak mengadakan eksekusi riel.
b.      Perikatan`perikatan sepintas selalu dan berkelanjutan.
Perikatan sepintas lalu adalah perikatan yang pemenuhan prestasinya cukup hanya dilakukan dengan satu perbuatan saja dan dalam waktu yang singkat tujuan perikatan telah tercapai. Sedangkan perikatan berkelanjutan adalah perikatan yang prestasinya berkelanjutan untuk beberapa waktu,misalnya perikatan  yang timbul dari perjanjian sewa menyewa,perjanjian perburuhan (perjanjian kerja).
c.       Perikatan alternatife (membolehkan memilih).
Perikatan alternative adalah suatu perikatan, dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan siberhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan, misalnya ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau Mobilnya atau uang satu juta rupiah.
Pasal 1272
“ Dalam perikatan-perikatan mana suka yang berutang dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perikataan, tetapi ia tidak dapat memaksa siberpiutang untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian dari barang yang lainnya”.
d.      Perjanjian fakultatif.
Perikatan fakultatif adalah perikatan yang hanya mempunyai satu objek prestasi, dimana debitur  mempunyai hak untuk mengganti dengan prestasi yang lain,bila mana debitur tidak mungkin memenuhi prestasi yang telah ditentukan semula. Misalnya debitur diwajibkan untuk menyerahkan beras, bila mana tidak mungkin menyerahkan beras diganti dengan sejumlah uang.
e.       Perikatan generik dan spesifik.
Perikatan generic adalah perikatan dimana objeknya hanya ditentukan jenis dan jumlah barang yang harus diserahkan debitur kepada kreditur, misalnya penyerahan beras sebanyak 10 ton sedangkan perikatan spesifik adalah perikatan dimana objeknya ditentukan secara rinci sehingga tampak ciri –ciri khususnya. Misalnya, deb itur diwajibkan menyerahkan beras sebanyak 10 ton dari Cianjur kulitet ekspor nomor satu.
f.       Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi.
Perikatan yang dapat dibagi adalah perikatan yang prestasinya dapat dibagi.Misalnya Perikatan untuk menyerahkan 10 ton beras, karena sifatnya beras yang menjadi objek perikatan dapat dibagi. Akan tetapi perikatan untuk menyerahkan seekor kuda adalah perikatan yang tidak dapat dibagi.
Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi.
Pasal 1296 :
“Suatu perikatan dapat dibagi-bagi atau tidak dapat dibagi-bagi sekadar perikatan tersebut mengenai suatu barang yang penyerahannya, atau suatu perbuatan yang pelaksanaannya dapat dibagi-bagi atau tidak dapat dibagi-bagi, baik secara nyata-nyata maupun secara perhiutngan.”
Perikatan yang tidak dapat dibagi karena maksud pihak-pihak.
Pasal 1297:
“Suatu perikatan adalah tak dapat dibagi-bagi meskipun barang atau perbuatan yang dimasudkan karena sifatnya dapat dibagi-bagi. Jika barang atau perbuatan tadi menurut maksudnya perikatan tidak boleh diserahkan atau dilaksanakan sebagian demi sebagian”.
Tanggung menanggung dan yang tidak dapat dibagi.
Pasal 1298:
“ Bahwasanya suatu perikatan adalah suatu perikatan tanggung menanggung belum berarti bahwa perikatan itu suatu perbuatan yang tidak dapat dibagi-bagi”.
Dalam suatu perikatan tanggung menanggung tidak selalu berarti tidak dapat dibagi, hal ini dapat dilihat dari percampuran utang karena warisan yang menghapuskan bagian utang debitur yang menjadi tanggung jawabnya.
Pelaksanaan perikatan yang dapat dibagi.
Pasal 1299
“Suatu perikatan yang dapat dibagi-bagi harus dilaksanakan antara siberutang dan siberpiutang seolah-olah perikatan itu tidak dapat dibagi-bagi, hal dapatnya dibagi-bagi hanyalah berlaku terhadap ahli waris-ahli waris kedua belah pihak, yang tidak dapat menagih piutangnya atau tidak wajib membayar utangnya selainnya untuk bagian masing-masing sebagai ahli waris atau orang-orang yang mewakili siberpiutang maupun siberutang”.
Perikatan dapat dibagi diantara para ahli waris menurut bagian masing-masing dan apabila salah satu dari mereka dituntut maka tanggung jawabnya berdasarkan bagian dalam warisan yang berutang.
g.      Perikatan tanggung menanggung (tanggung renteng).
Perikatan tanggung menanggung (tanggung renteng) adalah perikatan dimana debitur dan/atau kreditur terdiri dari beberapa orang. Jika debiturnya beberapa orang, maka tiap-tiap debitur debitur dapat dituntut untuk memenuhi seluruh prestasi. (Pasal 1749, 1836 KUH Perdata dan Pasal 18 KUH Dagang).
h.      Perikatan pokok dan tambahan.
Perikatan pokok adalah perikatan antara debitur dan kreditur yang berdiri sendiri tanpa bergantung kepada adanya perikatan yang lain, Misalnya perjanjian pinjaman uang, sedangkan perikatan tambahan adalah perikatan antara debitur dan kreditur yang diadakan sebagai perikatan tambahan dari perikatan pokok.Misalnya perjanjian gadai, fidusia, hak tanggungngan, perikatan tambahan ini tidak berdiri sendiri melainkan bergantung kepada perikatan pokok, sehingga apabila perikatan pokok berakhir, maka perikatan tambahan ikut berakhir.
i.        Perikatan bersyarat.
Perikatan bersyarat adalah perikatan yang lahir maupun berakhir (batal) tergantung pada suatu peristiwa yang belum dan tidak tentu akan terjadi. Apabila suatu perikatan yang lahirnya tergantung kepada suatu peristiwa dinamakan perikatan dengan syarat tangguh. Misalnya A berjanji akan memberikan buku-bukunya kepada B jika telah lulus ujian. Sedangkan apabila suatu perikatan yang sudah ada yang berakhirnya digantungkan kepada peristiwa itu dinamakan perikatan dengan syarat batal. Misalnya : Perjanjian sewa menyewa Rumah antara A dan B yang sekarang sudah ada dijanjikan akan berakhir kalau A dipindahkan  ke lain kota.
Pasal 1253:
“ Suatu perikatan adalah bersyarat manakala ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan dating dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut”.
·         Syarat Tangguh.
Pasal 1263:
 “ Suatu perikatan dengan suatu syarat tangguh adalah suatu perikatan yang bergantung pada suatu peristiwa yang masih akan dating dan yang masih belum tentu akan terjadi, atau yang bergantung pada suatu hal yang sudah terjadi tetapi tidak diketahui oleh kedua belah pihak.
Dalam hal yang pertama perikatan tidak dapat dilaksanakan sebelum,peristiwa telah terjadi dalam hal yang kedua perikatan mulai berlaku sejak hari ia dilahirkan”.
·         Syarat batal.
Pasal 1265:
“ Suatu syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi, menghentikan perikatan, dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan.
Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan, hanyalah mewajibkan siberpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan terjadi”.
j.        Perikatan dengan ketepatan waktu.
Perikatan dengan ketepatan waktu adalah perikatan yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai pada suatu waktu ditentukan yang pasti akan tiba, meskipun mungkin belum dapat dipastikan kapan waktu yang dimaksudkan akan tiba. Misalnya A berjanji akan memberikan semua buku-bukunya kepada si B tanggal 1 januari tahun depan. Perikatan dengan ketepatan waktu yang tidak dapat ditentukan adalah perjanjian asuransi kematian, karena kematian tidak dapat ditentukan kapan kematian orang itu akan tiba.
Pasal 1270
“Suatu ketepatan waktu selalu dianggap dibuat untuk kepentingan siberutang, kecuali jika sifat perikatan sendiri, atau dari keadaan, ternyata bahwa ketepatan waktu itu telah dibuat untuk kepentingan siberpiutang”.
k.      Perikatan dengan ancaman hukuman.
Perikatan dengan ancaman hkuman adalah perikatan dimana ditentukan bahwa debitur akan dikenakan suatu hukuman apabila ia tidak melaksanakan perikatan. Penetapan hukuman ini sebetulnya sebagai ganti kerugian   yang diderita kreditur karena debitur tidak melaksanakan kewajibannya.
Pengertian ancaman hukuman.
Pasal 1304
“Ancaman hukuman adalah suatu ketentuan sedemikian rupa dengan mana seorang untuk jaminan pelaksanaan suatu perikatan itu tidak dipenuhi”.
Maksud ancaman hukuman tersebut adalah :
  1. Untuk memastikan agar perikatan itu benar-benar terpenuhi.
  2. Untuk menetapkan jumlah ganti rugi tertentu apabila terjadi wanprestasi dan untuk menghindari pertengkataran tentang hal itu.
Pasal 1307
“Penetapan hukuman adalah dimaksudkan sebagai gantinya penggantian kerugian, yang diderita oleh siberpiutang karena tidak dipenuhinya perikatan pokok”.
F.      MENGENAI SCHULD dan HAFTUNG
Setiap debitur mempunyai kewajiban menyerahkan prestasi kepada kreditur. Karena itu debitur mempunyai kewajiban untuk membayar utang. Dalam istilah asing kewajiban itu disebut Schuld. Di samping Schuld debitur juga mempunyai kewajiban yang lain yaitu Haftung. Maksudnya ialah bahwa debitur itu berkewajiban untuk membiarkan harta kekayaannya diambil oleh kreditur sebanyak utang debitur, guna pelunasan utang tadi, apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya membayar utang tersebut.
Setiap kreditur mempunyai piutang terhadap debitur. Untuk itu kreditur mempunyai hak menagih piutang tersebut. Di dalam ilmu pengetahuan Hukum Perdata, di samping hak menagih (vorderingsrecht). Apabila debitur tidak memenuhi kewajiban membayar utangnya, maka kreditur mempunyai hak menagih kekayaan debitur, sebesar piutangnya pada debitur itu (verhaalsrecht).
Menurut para pakar dan Yurisprudensi, Schuld dan Haftung itu dapat dibedakan, tetapi pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan. Asas pokok dari Haftung ini terdapat dalam Pasal 1131 KUHPerdata.
Para ahli Hukum Perdata pada umumnya sependapat bahwa sumber perikatan sebagaimana yang diatur oleh Pasal 1233 KUHPerdata itu, masih banyak lagi sumber dari perikatan yaitu Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata. Hukum yang tidak tertulis dan keputusan Hakim (Yurisprudensi).
Dari sumber-sumber yang disebutkan oleh undang-undang tersebut di atas, yang paling penting adalah perjanjian. Melalui perjanjian itu pihak-pihak mempunyai kebebasan untuk mengadakan segala jenis perikatan, dengan batasan yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Dengan adanya kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomie, contractvrijheid) maka subjek-subjek perikatan tidak hanya terikat untuk mengadakan perikatan-perikatan yang namanya ditentukan oleh undang-undang (benoemde overeenkomsten) yaitu sebagaimana yang tercantum di dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata Buku III, tetapi berhak untuk mengadakan perjanjian-perjanjian yang namanya tidak ditentukan oleh undang-undang, dengan istilah lain disebut juga perjanjian khusus (onbenoemde overeenkomsten).
Menurut para ahli Hukum Perdata, maka andaikata pun undang-undang tidak menentukan “perjanjian” itu sebagai sumber perikatan, kodrat perjanjian dan kebutuhan masyarakat sendiri menghendaki agar setiap orang memenuhi perjanjian. Baiklah dalam hal ini kita merenungkan ajaran Hugo De Groot yang mengemukakan bahwa :
“Asas Hukum Alam menentukan janji itu mengikat” (pacta sunt servanda).
Hanya saja, oleh karena hukum itu menghendaki kepastian maka perlu ada keseragaman tentang ukuran dari perjanjian. Undang-undang lalu mengatur dan menentukan syarat-syarat bagi perjanjian dengan mana dapat diadakan suatu perikatan.
G.    PERIHAL HAPUSNYA PERIKATAN
Undang-undang menyebutkan sepuluh macam cara hapusnya perikatan, yaitu;
a.       Karena pembayaran;
b.      Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanaan barang yang hendak dibayar itu disuatu tempat;
c.       Pembaharuan hutang;
d.      Koompensasi atau perhitungan hutang timbal balik;
e.       Percampuran hutang;
f.       Pembebasan hutang;
g.      Hapusnya barang yang dimaksudkan dalam perjanjian;
h.      Pembatalan perjanjian;
i.        Akibat berlakunya syarat pembatalan; dan
j.        Lewat waktu.
Perlu kita ketahui bahwa dengan adanya asas kebebasan untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiba umum, maka kita merdeka untuk menciptakan suatu perjanjian apa saja yang tidak disebbutkan dalam Buku III.






















BUKU IV TENTANG BUKTI DAN DALUWARSA
(VAN BEWIJS EN VERJARING)

BAB I
PEMBUKTIAN PADA UMUMNYA

1865. Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.
1866. Alat pembuktian meliputi:
bukti tertulis;
bukti saksi;
persangkaan;
pengakuan;
sumpah.
Semuanya tunduk pada aturan-aturan yang tercantum dalam bab-bab berikut.
BAB II
PEMBUKTIAN DENGAN TULISAN
1867. Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau dengan tulisan di bawah tangan.
1868. Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.
1869. Suatu akta yang tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, baik karena tidak berwenang atau tidak cakapnya pejabat umum yang bersangkutan maupun karena cacat dalam bentuknya, mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan bila ditandatangani oleh para pihak.
1870. Bagi para pihak yang berkepentingan beserta para ahli warisnya ataupun bagi orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya.
1871. Akan tetapi suatu akta otentik tidak memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya sebagai penuturan belaka, kecuali bila yang dituturkan itu mempunyai hubungan langsung dengan pokok isi akta.
Jika apa yang termuat dalam akta itu hanya merupakan suatu penuturan belaka yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan pokok isi akta, maka hal itu hanya dapat digunakan sebagai permulaan pembuktian dengan tulisan.
1872. Jika suatu akta otentik, dalam bentuk apa pun, diduga palsu, maka pelaksanaannya dapat ditangguhkan menurut ketentuan-ketentuan Reglemen Acara Perdata.
1873. Persetujuan lebih lanjut dalam suatu akta tersendiri, yang bertentangan dengan akta asli hanya memberikan bukti di antara pihak yang turut serta dan para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, dan tidak dapat berlaku terhadap pihak ketiga.
1874. Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.
Dengan penandatanganan sebuah tulisan di bawah tangan disamakan pembubuhan suatu cap jempol dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang yang menyatakan bahwa pembubuh cap jempol itu dikenal olehnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa si akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan pada tulisan tersebut di hadapan pejabat yang bersangkutan.
Pegawai ini harus membuktikan tulisan tersebut.
Dengan undang-undang dapat diadakan aturan-aturan lebih lanjut tentang pernyataan dan pembukuan termaksud.
1874 a. Jika pihak yang berkepentingan menghendaki, di luar hal termaksud dalam alinea kedua pasal yang lalu, pada tulisan-tulisan di bawah tangan yang ditandatangani, dapat juga diberi suatu pernyataan dari seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang, yang menyatakan bahwa si penanda tangan tersebut dikenalnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta telah dijelaskan kepada si penanda tangan, dan bahwa setelah itu penandatanganan dilakukan di hadapan pejabat tersebut.
Dalam hal ini berlaku ketentuan alinea ketiga dan keempat dan pasal yang lalu.
1875. Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui kebenarannya oleh orang yang dihadapkan kepadanya atau secara hukum dianggap telah dibenarkan olehnya, menimbulkan bukti lengkap seperti suatu akta otentik bagi orang-orang yang menandatanganinya, ahli warisnya serta orang-orang yang mendapat hak dari mereka; ketentuan Pasal 1871 berlaku terhadap tulisan itu.
1876. Barangsiapa dihadapi dengan suatu tulisan di bawah tangan oleh orang yang mengajukan tuntutan terhadapnya, wajib mengakui atau memungkiri tanda tangannya secara tegas, tetapi bagi para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak darinya, cukuplah mereka menerangkan bahwa mereka tidak mengakui tulisan atau tanda tangan itu sebagai tulisan atau tanda tangan orang yang mereka wakili.
1877. Jika seseorang memungkiri tulisan atau tanda tangannya, ataupun jika para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak daripadanya tidak mengakuinya, maka Hakim harus memerintahkan supaya kebenaran tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka Pengadilan.
1878. Perikatan utang sepihak di bawah tangan untuk membayar sejumlah uang tunai atau memberikan barang yang dapat dinilai dengan suatu harga tertentu, harus ditulis seluruhnya dengan tangan si penanda tangan sendiri; setidak-tidaknya, selain tanda tangan, haruslah ditulis dengan tangan si penanda tangan sendiri suatu tanda setuju yang menyebut jumlah uang atau banyaknya barang yang terutang.
Jika hal ini tidak diindahkan, maka bila perikatan dipungkiri, akta yang ditandatangani itu hanya dapat diterima sebagai suatu permulaan pembuktian dengan tulisan.
Ketentuan-ketentuan pasal ini tidak berlaku terhadap surat-surat andil dalam suatu utang obligasi, terhadap perikatan-perikatan utang yang dibuat oleh debitur dalam menjalankan perusahaannya, dan terhadap akta-akta di bawah tangan yang dibubuhi keterangan sebagaimana termaksud dalam Pasal 1874 alinea kedua dan Pasal 1874 a.
1879. Jika jumlah yang disebutkan dalam akta berbeda dari jumlah yang dinyatakan dalam tanda setuju, maka perikatan itu dianggap telah dibuat untuk jumlah yang paling kecil, walaupun akta beserta tanda setuju itu ditulis sendiri dengan tangan orang yang mengingatkan diri, kecuali bila dapat dibuktikan, dalam bagian mana dari keduanya telah terjadi kekeliruan.
1880. Akta di bawah tangan, sejauh tidak dibubuhi pernyataan sebagaimana termaksud dalam pasal 1874 alinea kedua dan dalam Pasal 1874 a, tidak mempunyai kekuatan terhadap pihak ketiga kecuali sejak hari dibubuhi pernyataan oleh seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang dan dibukukan menurut aturan undang-undang atau sejak hari meninggalnya si penanda tangan atau salah seorang penanda tangan; atau sejak hari dibuktikannya adanya akta di bawah tangan itu dari akta-akta yang dibuat oleh pejabat umum; atau sejak hari diakuinya akta di bawah tangan itu secara tertulis oleh pihak ketiga yang dihadapi akta itu.
1881. Daftar dan surat-surat urusan rumah tangga tidak memberikan bukti untuk keuntungan pembuatnya; daftar dan surat itu merupakan bukti terhadap pembuatnya:
1. dalam hal surat itu menyebutkan dengan tegas suatu pembayaran yang telah diterima;
2. bila surat-surat itu dengan tegas menyebutkan bahwa catatan yang telah dibuat adalah untuk memperbaiki suatu kekurangan dalam suatu alas hak untuk kepentingan orang yang disebutkan dalam perikatan.
Dalam segala hal lainnya, Hakim akan memperhatikannya sepanjang hal itu dianggap perlu.
1882. Dihapus dengan S. 1827-146
1883. Selama di tangan seorang kreditur, catatan-catatan yang dibubuhkan pada suatu tanda alas hak harus dipercayai, walaupun catatan-catatan itu tidak ditandatangani dan tidak diberi tanggal, bila apa yang tertulis itu merupakan suatu pembebasan terhadap debitur.
Demikian pula catatan-catatan yang oleh seorang kreditur dibubuhkan pada salinan suatu tanda alas hak atau suatu tanda pembayaran, asalkan salinan atau tanda pembayaran ini masih di tangan kreditur.
1884. Atas biaya sendiri, pemilik suatu tanda alas hak dapat mengajukan permintaan agar tanda alas hak itu diperbarui bila karena lamanya atau suatu alasan lain tulisannya tidak dapat dibaca lagi.
1885. Jika suatu tanda alas hak menjadi kepunyaan bersama beberapa orang, maka masing-masing berhak menuntut supaya tanda alas hak itu disimpan di tempat netral, dan berhak menyuluh membuat suatu salinan atau ikhtisar atas biayanya.
1886. Pada setiap tingkat perkara, masing-masing pihak dapat meminta kepada Hakim, supaya pihak lawannya diperintahkan menyerahkan surat-surat kepunyaan kedua belah pihak yang menyangkut hal yang sedang dipersengketakan dan berada di tangan pihak lawan.
1887. Tongkat-tongkat berkelar yang sesuai dengan pasangannya, jika digunakan di antara orang-orang yang biasa menggunakannya untuk membuktikan penyerahan atau penerimaan barang dalam jual beli secara kecil-kecilan.
1888. Kekuatan pembuktian dengan suatu tulisan terletak pada akta aslinya. Bila akta yang asli ada, maka salinan serta kutipan hanyalah dapat dipercaya sepanjang salinan serta kutipan itu sesuai dengan aslinya yang senantiasa dapat diperintahkan untuk ditunjukkan.
1889. Bila tanda alas hak yang asli yang sudah tidak ada lagi, maka salinannya memberikan bukti, dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. salinan pertama (gross) memberikan bukti yang sama dengan akta asli; demikian pula halnya salinan yang dibuat atas perintah Hakim di hadapan kedua belah pihak atau setelah kedua pihak ini dipanggil secara sah sebagaimana juga yang salinan dibuat di hadapan kedua belah pihak dengan persetujuan mereka;
2. salinan yang dibuat sesudah pengeluaran salinan pertama tanpa perantaraan Hakim atau tanpa persetujuan kedua belah pihak entah oleh Notaris yang di hadapannya akta itu dibuat, atau oleh seorang penggantinya ataupun oleh pegawai yang karena jabatannya menyimpan akta asli (minut) dan berwenang untuk memberikan salinan-salinan, dapat diterima Hakim sebagai bukti sempurna bila akta asli telah hilang;
3. bila salinan yang dibuat menurut akta asli itu tidak dibuat oleh Notaris yang dihadapannya akta itu telah dibuat, atau oleh seorang penggantinya, atau oleh pegawai umum yang karena jabatannya menyimpan akta asli, maka salinan itu sama sekali tidak dapat dipakai sebagai bukti, melainkan hanya sebagai bukti permulaan tertulis;
4. salinan otentik dari salinan otentik atau dari akta di bawah tangan, menurut keadaan, dapat memberikan suatu bukti permulaan tertulis.
1890. Penyalinan suatu akta dalam daftar umum hanya dapat memberikan bukti permulaan tertulis.
1891. Akta pengakuan membebaskan seseorang dari kewajiban untuk menunjukkan tanda alas hak yang asli, asal dari akta itu cukup jelas isi alas hak tersebut.
1892. Suatu akta yang menetapkan atau menguatkan suatu perikatan yang terhadapnya dapat diajukan tuntutan untuk pembatalan atau penghapusan berdasarkan undang-undang, hanya mempunyai kekuatan hukum bila akta itu memuat isi pokok perikatan tersebut, alasan-alasan yang menyebabkan dapat dituntut pembatalannya, dan maksud untuk memperbaiki cacat-cacat yang sedianya dapat menjadi dasar tuntutan itu.
Jika tidak ada akta penetapan atau penguatan, maka cukuplah perikatan itu dilaksanakan secara sukarela, setelah saat perikatan itu sedianya dapat ditetapkan atau dikuatkan secara sah.
Pembenaran, penguatan atau pelaksanaan suatu perikatan secara sukarela dalam bentuk daripada saat yang diharuskan oleh undang-undang, dianggap sebagai suatu pelepasan upaya pembuktian serta tangkisan-tangkisan (eksepsi) yang sedianya dapat diajukan terhadap akta itu; namun hal itu tidak mengurangi hak-hak pihak ketiga.
1893. Seorang pemberi hibah tidak dapat menghapuskan suatu cacat-cacat bentuk penghibah itu dengan membuat suatu akta pembenaran; penghibahan itu, agar sah, harus diulangi dalam bentuk yang ditentuakan oleh undang-undang.
1894. Pembenaran, penguatan atau pelaksanaan secara sukarela suatu penghibahan oleh ahli waris atau oleh mereka yang mendapatkan hak dari pemberi hibah setelah pemberi hibah ini meninggal, menghapuskan hak mereka untuk mengajukan tuntutan berdasarkan cacat dari bentuk penghibahan itu.
BAB III
PEMBUKTIAN DENGAN SAKSI-SAKSI
1895. Pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang.
1896-1901. Dihapus dengan S. 1938-276.
1902. Dalam hal undang-undang memerintahkan pembuktian dengan tulisan, diperkenankan pembuktian dengan saksi, bila ada suatu bukti permulaan tertulis, kecuali jika tiap pembuktian tidak diperkenankan selain dengan tulisan.
Yang dinamakan bukti permulaan tertulis ialah segala akta tertulis yang berasal dari orang yang terhadapnya suatu tuntutan diajukan atau dari orang yang diwakili olehnya, dan yang kiranya membenarkan adanya peristiwa hukum yang diajukan oleh seseorang sebagai dasar tuntutan itu.
1903. Dihapus dengan S. 1938- 276.
1904. Dalam pembuktian dengan saksi-saksi, harus diindahkan ketentuan-ketentuan berikut.
1905. Keterangan seorang saksi saja tanpa alat pembuktian lain, dalam Pengadilan tidak boleh dipercaya.
1906. Jika kesaksian-kesaksian berbagai orang mengenai berbagai peristiwa terlepas satu sama lain, dan masing-masing berdiri sendiri, namun menguatkan suatu peristiwa tertentu karena mempunyai kesesuaian dan hubungan satu sama lain, maka Hakim, menurut keadaan, bebas untuk memberikan kekuatan pembuktian kepada kesaksian-kesaksian yang berdiri sendiri itu.
1907. Tiap kesaksian harus disertai keterangan tentang bagaimana saksi mengetahui kesaksiannya.
Pendapat maupun dugaan khusus, yang diperoleh dengan memakai pikiran, bukanlah suatu kesaksian.
1908. Dalam mempertimbangkan suatu kesaksian, Hakim harus memberikan perhatian khusus; pada kesesuaian kesaksian-kesaksian satu sama lain; pada persamaan antara kesaksian-kesaksian dan apa yang diketahui dari sumber lain tentang pokok perkara; pada alasan-alasan yang kiranya telah mendorong para saksi untuk menerangkan duduknya perkara secara begini atau secara begitu; pada peri kehidupan, kesusilaan dan kedudukan para saksi; dan umumnya, ada apa saja yang mungkin ada pengaruhnya terhadap dapat tidaknya para saksi itu dipercaya.
1909. Semua orang yang cakap untuk menjadi saksi, wajib memberikan kesaksian di muka Hakim.
Namun dapatlah meminta dibebaskan dari kewajiban memberikan kesaksian;
1.siapa saja yang mempunyai pertalian keluarga sedarah dalam garis ke samping derajat kedua atau keluarga semenda dengan salah satu pihak:
2. siapa saja yang mempunyai pertalian darah dalam garis lurus tak terbatas dan dalam garis ke samping dalam derajat kedua dengan suami atau isteri salah satu pihak;
3. siapa saja yang karena kedudukannya, pekerjaannya atau jabatannya diwajibkan undang-undang untuk merahasiakan sesuatu, namun hanya mengenai hal-hal yang dipercayakan kepadanya karena kedudukan, pekerjaan dan jabatannya itu.
1910. Anggota keluarga sedarah dan semenda salah satu pihak dalam garis lurus, diangap tidak cakap untuk menjadi saksi; begitu pula suami atau isterinya, sekalipun setelah perceraian.
Namun demikian anggota keluarga sedarah dan semenda cakap untuk menjadi saksi:
1. dalam perkara mengenai kedudukan keperdataan salah satu pihak;
2. dalam perkara mengenai nafkah yang harus dibayar menurut Buku Kesatu, termasuk biaya pemeliharaan dan pendidikan seorang anak belum dewasa;
3. dalam suatu pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang dapat menyebabkan pembasan atau pemecatan dari kekuasaan orangtua atau perwalian;
4. dalam perkara mengenai suatu perjanjian kerja.
Dalam perkara-perkara ini, mereka yang disebutkan dalam Pasal 1909 nomor 1 dan 2, tidak berhak untuk minta dibebaskan dari kewajiban memberikan kesaksian.
1911. Tiap saksi wajib bersumpah menurut agamanya, atau berjanji akan menerangkan apa yang sebenarnya.
1912. Orang yang belum genap lima belas tahun, orang yang berada di bawah pengampuan karena dungu, gila atau mata gelap, atau orang yang atas perintah Hakim telah dimasukkan dalam tahanan selama perkara diperiksa Pengadilan tidak dapat diterima sebagai saksi.
Hakim boleh mendengar anak yang belum dewasa atau orang yang berada di bawah pengampuan yang kadang-kadang dapat berpikir saat itu tanpa suatu penyumpahan, tetapi keterangan mereka hanya dapat dianggap sebagai penjelasan.
Juga Hakim tidak boleh mempercayai apa yang menurut orang tak cakap itu telah didengarnya, dilihatnya. dihadirinya dan dialaminya, biarpun itu semua disertai keterangan tentang bagaimana ia mengetahuinya; Hakim hanya boleh menggunakannya untuk mengetahui dan mendapatkan petunjuk-petunjuk ke arah peristiwa-peristiwa yang dapat dibuktikan lebih lanjut dengan upaya pembuktian biasa.
1913. Dihapus dengan S. 1925 - 625.
1914. Dihapus dengan S. 1926 - 570.
BAB IV
PERSANGKAAN
1915. Persangkaan ialah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh Hakim ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum.
Ada dua persangkaan yaitu persangkaan yang berdasarkan undang-undang dan persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang.
1916. Persangkaan yang berdasarkan undang-undang ialah persangkaan yang dihubungkan dengan perbuatan tertentu atau peristiwa tertentu berdasarkan ketentuan undang-undang.
Persangkaan semacam itu antara lain adalah;
1.perbuatan yang dinyatakan batal oleh undang-undang, karena perbuatan itu semata-mata berdasarkan dari sifat dan wujudnya, dianggap telah dilakukan untuk menghindari suatu ketentuan undang-undang;
2.pernyataan undang-undang yang menyimpulkan adanya hak milik atau pembebasan utang dari keadaan tertentu;
3.kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada suatu putusan Hakim yang memperoleh kekuatan hukum yang pasti;

4 kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada pengakuan atau kepada sumpah salah satu pihak.

1917. Kekuatan suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti hanya mengenai pokok perkara yang bersangkutan.

Untuk dapat menggunakan kekuatan itu, soal yang dituntut harus sama; tuntutan harus didasarkan pada alasan yang sama; dan harus diajukan oleh pihak yang sama dan terhadap pihak-pihak yang sama dalam hubungan yang sama pula.

1918. Suatu putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti, yang menyatakan hukuman kepada seseorang yang karena suatu kejahatan atau pelanggaran dalam suatu perkara perdata, dapat diterima sebagai suatu bukti tentang perbuatan yang telah dilakukan, kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya.
1919. Jika seseorang telah dibebaskan dari tuduhan melakukan kejahatan atau pelanggaran terhadapnya, maka pembebasan tersebut tidak dapat diajukan sebagai perkara perdata ke Pengadilan untuk menangkis tuntutan ganti rugi.
1920. Putusan Hakim mengenai kedudukan hukum seseorang, yang dijatuhkan terhadap orang yang menurut undang-undang berwenang untuk membantah tuntutan itu, berlaku terhadap siapa pun.
1921. Suatu persangkaan menurut undang-undang, membebaskan orang yang diuntungkan persangkaan itu dari segala pembuktian lebih lanjut.
Terhadap suatu persangkaan menurut undang-undang, tidak boleh diadakan pembuktian, bila berdasarkan persangkaan itu undang-undang menyatakan batalnya perbuatan-perbuatan tertentu atau menolak diajukannya suatu gugatan ke muka Pengadilan, kecuali bila undang-undang memperbolehkan pembuktin sebaliknya, tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan mengenai sumpah di hadapan Hakim.
1922. Persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang sendiri diserahkan kepada pertimbangan dan kewaspadaan Hakim, yang dalam hal ini tidak boleh memperhatikan persangkaan-persangkaan yang lain. Persangkaan-persangkaan yang demikian hanya boleh diperhatikan, bila undang-undang mengizinkan pembuktian dengan saksi-saksi, begitu pula bila terhadap suatu perbuatan atau suatu akta diajukan suatu bantahan dengan alasan-alasan adanya itikad buruk atau penipuan.
BAB V
PENGAKUAN
1923. Pengakuan yang dikemukakan terhadap suatu pihak, ada yang diberikan dalam sidang Pengadilan dan ada yang diberikan di luar sidang Pengadilan.
1924. Suatu pengakuan tidak boleh dipisah-pisahkan sehingga merugikan orang yang memberikannya.
Akan tetapi Hakim berwenang untuk memisah-misahkan pengakuan itu, bila pengakuan itu diberikan oleh debitur dengan mengemukakan peristiwa-peristiwa yang ternyata palsu untuk membebaskan dirinya.
1925. Pengakuan yang diberikan di hadapan Hakim, merupakan suatu bukti yang sempurna terhadap orang yang telah memberikannya, baik sendiri maupun dengan perantaraan seseorang yang diberi kuasa khusus untuk itu.
1926. Suatu pengakuan yang diberikan dihadapan Hakim tidak dapat dicabut kecuali bila dibuktikan bahwa pengakuan itu diberikan akibat suatu kekeliruan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Dengan alasan terselubung yang didasarkan atas kekeliruan-kekeliruan dalam menerapkan hukum, pengakuan tidak dapat dicabut.
1927. Suatu pengakuan lisan yang diberikan di luar sidang pengadilan tidak dapat digunakan untuk pembuktian, kecuali dalam hal pembuktian dengan saksi-saksi diizinkan.
1928. Dalam hal yang disebut pada penutup pasal yang lalu, Hakimlah yang menentukan kekuatan mana yang akan diberikan kepada suatu pengakuan lisan yang dikemukakan di luar sidang pengadilan.
BAB VI
SUMPAH DIHADAPAN HAKIM
1929. Ada dua macam sumpah dihadapan Hakim:
1º. sumpah yang diperintahkan ileh pihak yang satu kepada pihak yang lain untuk pemutusan suatu perkara; sumpah itu disebut sumpah pemutus;
2º. sumpah yang diperintahkan oleh Hakim karena jabatan kepada salah satu pihak.
1930. Sumpah pemutus daapat diperintahkan dalam persengketaan apa pun juga, kecuali dalam hal kedua belah pihak tidak mengadakan suatu perdamaian atau dalam hal pengakuan mereka tidak boleh diperhatikan.
Sumpah pemutus dapat diperintahkan pada setiap tingkatan perkara, bahkan dalam hal tidak ada upaya pembuktian apa pun untuk membuktikan tuntutan atau tangkisan yang memerlukan pengambilan sumpah itu.
1931. Sumpah itu hanya dapat diperintahkan untuk suatu perbuatan yang telah dilakukan sendiri oleh orang yang menggantungkan perkara pada sumpah itu.
1932. Barang siapa diperintahkan mengangkat sumpah tetapi enggan mengangkatnya dan enggan mengembalikannya, dan barang siapa memerintahkan pengangkatan sumpah dan enggan mengangkatnya setelah sum pah itu dikembalikan kepadanya, harus dikalahkan dalam tuntutan atau tangkisannya.
1933. bila perbuatan yang harus dikuatkan dengan sumpah itu bukan perbuatan kedua belah pihak, melainkan hanya perbuatan pihak yang menggantungkan pemutusan perkara pada sumpah itu, maka sumpah tidak dapat dikembalikan.
1934. Tiada sumpah yang dapat diperintahkan, dikembalikan atau diterima, selain oleh pihak yang berperkara sendiri atau oleh orang yang diberi kuasa khusus untuk itu.
1935. Barang siapa telah memerintahkan atua mengembalikan sumpah, tidak dapat mengembalikan perbuatannya itu, jika pihak lawan sudah mengatakannya bersedia mengangkatnya.
1936. Bila sumpah pemutus telah diangkatnya, entah oleh pihak yang diperintahkan mengangkat sumpah itu, atau oleh pihak yang kepadanya dikembalikan sumpah itu, maka pihak lawan tidak boleh membuktikan kepalsuan sumpah itu.
1937. Sumpah tidak memberikan bukti selain untuk keuntungan atau untuk kerugian orang yang telah memerintahkan atau mengembalikannya, serta para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka.
1938. Namun demikian, dalam suatu perikatan tanggung-menanggung, seorang debitur yang diperintahkan bersumpah oleh salah seorang kreditur dan mengangkat sumpahnya, hanya dibebaskan untuk jumlah yang tidak lebih daripada begian kreditur tersebut. Sumpah yang diangkat oleh debitur utama, membebaskan para penanggung utang.
1939. Sumpah yang diangkat oleh salah seorang debitur utama menguntungkan orang-orang yang turut berutang, sedangkan sumpah yang diangkat oleh penanggung utang menguntungkan debitur utama, jika dalam kedua hal tersebut sumpah itu telah diperintahkan atau dikembalikan, tetapi hanya mengenai utang itu sendiri, dan bukan mengenai pokok perikatan tanggung-menanggung atau penanggungnya.
1940. Hakim, karena jabatannya, dapat memerintahkan salah satu pihak yang berperkara untuk mengangkat sumpah, supaya dengan sumpah itu dapat diputuskan perkara itu atau dapat ditentukan jumlah uang yang dikabulkan.
1941. Ia dapat berbuat demikian, hanya dalam dua hal:
1º. jika tuntutan maupun tangkisan itu tidak terbukti dengan sempurna;
2º. jika tuntutan maupun tangkisan itu tidak sama sekali tak dapat dibuktikan.
1942. Sumpah untuk menetapkan harga barang yang dituntut tidak dapat diperintahkan oleh Hakim kepada penggugat, kecuali bila harga itu tidak dapat ditentukan dengan cara apapun juga selain dengan sumpah.
Bahkan dalam hal yang demikian Hakim harus menetapkan sampai sejauhmana penggugat dapat dipercaya berdasarkan sumpahnya.
1943. Sumpah yang diperintahkan Hakim kepada salah satu pihak yang berperkara, tak dapat dikembalikan oleh pihak ini kepada pihak lawannya.
1944. Sumpah harus diangkat dihadapan Hakim yang memeriksa perkaranya. Jika ada suatu halangan yang sah yang menyebabkan hal ini tidak dapat dilaksanakan, maka majelis Pengadilan dapat mengusahakan salah seorang Hakim anggotanya agar pergi kerumah atau tempat kediaman orang yang harus mengangkat sumpah untuk mengambil sumpahnya.
Jika dalam hal demikian itu rumah atau tempat kediaman itu terlalu jauh atau terletak diluar daerah hukum majelis Pengadilan itu, maka majelis ini dapat memerintahkan pengambilan sumpah kepada Hakim atau kepada pemerintah daerah yang didaerah hukumnya terletak rumah atau tempat orang yang diwajibkan mengangkat sumpah.

1945. Jika sumpah harus diangkat sendiri.
Jika ada alasan-alasan penting, Hakim boleh mengijinkan pihak yang berperkara untuk mengangkat sumpahnya dengan perantara seseorang yang diberikan kuasa khusus untuk itu dengan suatu akta otentik.
dalam hal demikian, surat kuasa itu harus memuat sumpah yang harus diucapkan itu secara lengkap dan tepat.
Tidak sumpah yang boleh diangkat tanpa kehadiran pihak lawan atau sebelum pihak lawan ini dipanggil secara sah.
BAB VII
LEWAT WAKTU
BAGIAN I
Lewat Waktu pada Umumnya
1946. Lewat waktu ialah suatu sarana hukum untuk memperoleh sesuatu atau suatu alasan untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya waktu tertentu dan dengan terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang.
1947. Seseorang tidak boleh melepaskan lewat waktu sebelum tiba waktunya tetapi boleh melepaskan suatu lewat waktu yang telah diperolehnya.
1948. Pelepasan lewat waktu dapat dilakukan secara tegas atau secara diam-diam. Pelepasan secara diam-diam disimpulkan dari suatu perbuatan yang menimbulkan dugaan bahwa seseorang tidak hendak menggunakan suatu hak yang telah diperolehnya.
1949. Barangsiapa tidak diperbolehkan memindahtangankan sesuatu, juga tidak boleh melepaskan lewat waktu diperolehnya.
1950. Hakim, karena jabatannya, tidak boleh mempergunakan lewat waktu.
1951. Pada setiap tingkat pemeriksaan perkara, dapat diajukan adanya lewat waktu, bahkan pada tingkat banding pun.
1952. Kreditur atau orang lain yang berkepentingan dapat melawan pelepasan lewat waktu yang dilakukan oleh debitur yang secara curang bermaksud mengurangi hak kreditur atau orang yang lain tersebut.
1953. Seseorang tidak dapat menggunakan lewat waktu untuk memperoleh hak milik atas barang-barang yang tidak beredar dalam perdagangan.
1954. Pemerintah yang mewakili negara, Kepala Pemerintahan Daerah yang bertindak dalam jabatannya, dan lembaga-lembaga umum, tunduk pada lewat waktu sama seperti orang perseorangan, dan dapat menggunakannya dengan cara yang sama.
1955. Untuk memperoleh hak milik atas sesuatu dengan upaya lewat waktu, seseorang harus bertindak sebagai pemilik sesuai itu dengan menguasainya secara terus-menerus dan tidak terputus- putus, secara terbuka di hadapan umum dan secara tegas.
1956. Perbuatan memaksa, perbuatan sewenang-wenang atau perbuatan membiarkan begitu saja, tidaklah menimbulkan suatu besit yang dapat membuahkan lewat waktu.
1957. Seseorang yang sekarang menguasai suatu barang, yang membuktikan bahwa ia menguasai sejak dulu, dianggap juga telah menguasainya selama selang waktu antara dulu dan sekarang, tanpa mengurangi pembuktian hal yang sebaliknya.
1958. Untuk memenuhi waktu yang diperlukan untuk lewat waktu, dapatlah seseorang menambah waktu selama ia berkuasa dengan waktu selama berkuasanya orang yang lebih dahulu berkuasa dari siapa ia telah memperoleh barangnya, tak peduli bagaimana ia menggantikan orang itu, baik dengan alas hak umum maupun dengan alas hak khusus, baik dengan cuma-cuma maupun atas beban.
1959. Orang yang menguasai suatu barang untuk orang lain, begitu pula ahli warisnya, sekali-kali tidak dapat memperoleh sesuatu dengan jalan lewat waktu, berapa lama pun waktu yang telah lewat.
Demikian pula seorang penyewa, seorang penyimpan, seorang penikmat hasil, dan semua orang lain yang memegang suatu barang berdasarkan suatu persetujuan dengan pemiliknya, tak dapat memperoleh barang itu
1960. Mereka yang disebutkan dalam pasal yang lalu dapat memperoleh hak milik dengan jalan lewat waktu, jika alas hak besit mereka telah berganti, baik karena suatu sebab yang berasal dari pihak ketiga, maupun karena pembantahan yang mereka lakukan terhadap hak milik.
1961. Mereka yang telah menerima suatu barang, yang diserahkan dengan alas hak yang dapat memindahkan hak milik oleh penyewa, penyimpan dan orang-orang lain yang menguasai barang itu berdasarkan suatu persetujuan dengan pemiliknya, dapat memperoleh barang tersebut dengan jalan lewat waktu.
1962. Lewat waktu dihitung menurut hari, bukan menurut jam.
Lewat waktu itu diperoleh bila hari terakhir dari jangka waktu yang diperlukan telah lewat.

BAGIAN 2
Lewat Waktu Sebagai Suatu Sarana Hukum untuk Memperoleh Sesuatu
1963. Seseorang yang dengan itikad baik memperoleh suatu barang tak bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk dengan suatu besit selama dua puluh tahun, memperoleh hak milik atasnya dengan jalan lewat waktu.
Seseorang yang dengan itikad baik menguasai sesuatu selama tiga puluh tahun memperoleh hak milik tanpa dapat dipaksa untuk menunjukkan alas haknya.
1964. Suatu tanda alas hak yang batal karena suatu cacat dalam bentuknya tidak dapat digunakan sebagai dasar suatu lewat waktu selama dua puluh tahun.
1965. Itikad baik harus selalu dianggap ada, dan barangsiapa mengajukan tuntutan atas dasar itikad buruk, wajib membuktikannya.
1966. Cukuplah bila pada waktu memperoleh sesuatu itu itikad baik itu sudah ada.
BAGIAN 3
Lewat Waktu Sebagai Suatu Alasan untuk Dibebaskan dari Suatu Kewajiban
1967. Semua tuntuan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan, hapus karena lewat waktu dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan orang yang menunjuk adanya lewat waktu itu, tidak usah menunjukkan suatu alas hak, dan terhadapnya tak dapat diajukan suatu tangkisan yang didasarkan pada itikad buruk.
1968. Tuntutan para ahli dan pengajar dalam bidang kebudayaan dan ilmu pengetahuan, untuk pelajaran yang mereka berikan dalam tiap-tiap bulan atau waktu yang lebih pendek;
tuntutan para penguasa rumah penginapan dan rumah makan, untuk pemberian penginapan serta makanan;
tuntutan para buruh yang upahnya harus dibayar dalam bentuk uang tiap-tiap kali setelah lewat waktu yang kurang dari satu triwulan, untuk mendapat pembayaran upah mereka serta jumlah kenaikan upah itu menurut Pasal 1602q;
semua tuntutan ini lewat waktu dengan lewatnya waktu satu tahun.
1969. Tuntutan para dokter dan ahli obat-obatan, untuk kunjungan dalam memberikan pelayanan kesehatan, perawatan dan pemberian obat-obatan;
tuntutan para juru sita, untuk upah mereka dalam memberitahukan akta-akta dan melaksanakan tugas yang diperintahkan kepada mereka;
tuntutan para pengelola sekolah berasrama, untuk uang makan dan pengajaran bagi muridnya, begitu pula tuntutan pengajar-pengajar lainnya untuk pengajaran yang mereka berikan;
tuntutan pada buruh, kecuali mereka yang dimaksudkan dalam Pasal 1968, unuk pembayaran upah mereka serta jumlah kenaikan upah itu menurut Pasal 1602 q;
semuanya lewat waktu dengan lewatnya waktu dua ahun.
1970. Tuntutan para advokat untuk pembayaran jasa mereka dan tuntutan para pengacara untuk pembayaran persekot dan upah mereka, hapus karena lewat waktu dengan lewatnya waktu dengan lewatnya waktu dua tahun, terhitung sejak hari diputusnya perkara, hari tercapainya perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara, atau hari dicabutnya kuasa pengacara itu.
Dalam hal perkara yang tidak selesai, tak dapatlah mereka menuntut pembayaran persekot dan jasa yang telah ditunggak lebih dari sepuluh tahun.
Tuntutan para Notaris untuk pembayaran persekot dan upah mereka, lewat waktu juga dengan lewatnya waktu dua tahun, terhitung sejak hari dibuatnya akta yang bersangkutan.
1971. Tuntutan para tukang kayu, tukang batu dan tukang lain untuk pembayaran bahan-bahan yang mereka berikan dan upah-upah mereka;
tuntutan para pengusaha toko untuk pembayaran barang-barang yang telah mereka serahkan, sekedar tuntutan ini mengenai pekerjaan dan penyerahan yang tidak mengenai pekerjaan tetap debitur;
semua itu lewat waktu dengan lewatnya waktu lima tahun.
1972. Lewat waktu yang disebutkan dalam keempat pasal yang lalu terjadi, meskipun seseorang terus melakukan penyerahan, memberikan jasa dan menjalankan pekerjaannya
Lewat waktu itu hanya berhenti berjalan, bila dibuat suatu pengakuan utang tertulis, atau bila lewat waktu dicegah menurut Pasal 1979 dan 1980.
1973. Namun demikian, orang yang kepadanya diajukan lewat waktu yang disebut dalam Pasal 1968, 1969, 1970 dan 1971, dapat menuntut supaya mereka yang menggunakan lewat waktu itu bersumpah bahwa utang mereka benar-benar telah dibayar.
Kepada para janda dan para ahli waris, atau jika mereka yang disebut terakhir ini belum dewasa, kepada para wali mereka, dapat diperintahkan sumpah untuk menerangkan bahwa mereka tidak tahu tentang adanya utang yang demikian.
1974. Para Hakim dan Pengacara tidak bertanggung jawab atas penyerahan surat-surat setelah lewat waktu lima tahun sesudah pemutusan perkara.
Para juru sita dibebaskan dari pertanggungjawaban tentang hak itu setelah lewat waktu dua tahun, terhitung sejak pelaksanaan kuasa atau pemberitahuan akta-akta ditugaskan kepada mereka.
1975. Bunga atas bunga abadi atau bunga cagak hidup;
bunga atas tunjangan tahunan untuk pemeliharaan;
harga sewa rumah dan tanah;
bunga atas utang pinjaman, dan pada umumnya segala sesuatu yang harus dibayar tiap tahun atau tiap waktu tertentu yang lebih pendek;
semua itu lewat waktu setelah lewatnya waktu lima tahun.
1976. Lewat waktu yang diatur dalam Pasal 1968 dan seterusnya dalam bab ini, berlaku bagi anak-anak yang belum dewasa dan orang-orang yang berada di bawah pengampuan; hal ini tidak mengurangi tuntutan mereka akan ganti rugi terhadap para ahli waris atau para pengampu mereka.
1977. Barangsiapa menguasai barang bergerak yang tidak berupa bunga atau piutang yang tidak harus di bayar atas tunjuk, dianggap sebagai pemiliknya sepenuhnya.
Walaupun demikian, barangsiapa kehilangan atau kecurian suatu barang, dalam jangka waktu tiga tahun, terhitung sejak hari barang itu hilang atau dicuri itu dikembalikan pemegangnya, tanpa mengurangi hak orang yang disebut terakhir ini untuk minta ganti rugi kepada orang yang menyerahkan barang itu kepadanya, pula tanpa mengurangi ketentuan Pasal 582.
BAGIAN 4
Sebab-sebab yang Mencegah Lewat Waktu
1978. Lewat waktu dicegah bila pemanfaatan barang itu dirampas selama lebih dari satu tahun dari tangan orang yang menguasainya, baik oleh pemiliknya semula maupun oleh pihak ketiga.
1979. Lewat waktu itu dicegah pula oleh suatu peringatan, suatu gugatan, dan tiap perbuatan-perbuatan berupa tuntutan hukum, masing-masing dengan pemberitahuan dalam bentuk yang telah ditentukan, ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dalam hal itu atas nama pihak yang berhak, dan disampaikan kepada orang yang berhak dicegah memperoleh lewat waktu itu.
1980. Gugatan di muka Hakim yang tidak berkuasa, juga mencegah lewat waktu.
1981. Namun lewat waktu tidak dicegah, bila peringatan atau gugatan dicabut atau dinyatakan batal, entah karena penggugat menggugurkan tuntutannya, entah karena tuntutan itu dinyatakan gugur akibat lewat waktunya.
1982. Pengakuan akan hak seseorang yang terhadapnya lewat waktu berjalan, yang diberikan dengan kata-kata atau dengan perbuatan oleh orang yang menguasainya atau dibitur, juga mencegah lewat waktu.
1983. Pemberitahuan menurut Pasal 1979 kepada salah seorang debitur dalam perikatan tanggung-menanggung, atau pengakuan orang tersebut, mencegah lewat waktu terhadap para debitur lain, bahkan pula terhadap para ahli waris mereka.
Pemberitahuan kepada ahli waris salah seorang debitur dalam perikatan tanggung- menanggung, atau pengakuan ahli waris tersebut, tidaklah mencegah lewat waktu terhadap para ahli waris debitur lainnya, bahkan juga dalam hal suatu utang hipotek, kecuali untuk bagian ahli waris tersebut.
Dengan pemberitahuan atau pengakuan itu maka lewat waktu terhadap para debitur lain tidak dicegah lebih lanjut, kecuali untuk bagian ahli waris tersebut.
Untuk mencegah lewat waktu seluruh utang terhadap para debitur lainnya, perlu ada sesuatu pemberitahuan kepada semua ahli waris atau suatu pengakuan dari semua ahli waris itu.
1984. Pemberitahuan yang dilakukan kepada debitur utama atau pengakuan yang diberikan oleh debitur utama mencegah lewat waktu terhadap penanggung utang.
1985. Pencegahan lewat waktu yang dilakukan oleh salah seorang kreditur dalam suatu perikatan tanggung-menanggung berlaku bagi semua kreditur lainnya.
BAGIAN 5
Sebab-sebab yang Menangguhkan Lewat Waktu
1986. Lewat waktu berlaku terhadap siapa saja, kecuali terhadap mereka yang dikecualikan oleh undang-undang.
1987. Lewat waktu tidak dapat mulai berlaku atau berlangsung terhadap anak-anak yang belum dewasa dan orang-orang yang ada di bawah pengampuan, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang.
1988. Lewat waktu tidak dapat terjadi di antara suami istri.
1989. Lewat waktu tidak berlaku terhadap seorang istri selama ia berada dalam status perkawinan:
1. bila tuntutan istri tidak dapat diteruskan, kecuali setelah ia memilih akan menerima persatuan atau akan melepaskannya
2. bila suami, karena menjual barang milik pribadi istri tanpa persetujuannya, harus menanggung penjualan itu, dan tuntutan istri harus ditujukan kepada suami.
1990. Lewat waktu tidak berjalan:
terhadap piutang yang bersyarat, selama syarat ini tidak dipenuhi;
dalam hal suatu perkara untuk menanggung suatu penjualan, selama belum ada putusan untuk menyerahkan barang yang bersangkutan kepada orang lain;
terhadap suatu piutang yang baru dapat ditagih pada hari yang telah ditentukan, selama hari itu belum tiba.
1991. Terhadap seorang ahli waris yang telah menerima suatu warisan dengan hak istimewa untuk membuat pendaftaran harta peninggalan, tidak dapat dikenakan lewat waktu mengenai piutang-piutangnya terhadap harta peninggalan.
Lewat waktu berlaku terhadap suatu warisan yang tak terurus, meskipun tidak ada pengampu warisan itu.
1992. Lewat waktu itu berlaku selama ahli waris masih mengadakan perundingan mengenai warisannya.
KETENTUAN PENUTUP
1993. Lewat waktu yang sudah mulai berjalan sebelum Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini diundangkan, harus diatur menurut undang-undang yang pada saat itu berlaku di Indonesia.
Namun lewat waktu demikian yang menurut perundang-undangan lama masih membutuhkan waktu selama lebih dari tiga puluh tahun, terhitung sejak Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini diundangkan, akan terpenuhi dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun.



















DAFTAR PUSTAKA
Rangkuman Materi Hukum Perdata Semester II Fakultas Hukum Untirta (Dosen: Ibu Anne Gunawati)
Syahrani,Riduan.2006. Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung:PT.Alumni..
Darus,Mariam Badrulzaman.2001. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung:PT.Citra Aditiya Bakti.
Subekti.2003. Pokok-pokok Hukum Perdata.Jakarta:PT.Intermasa.
Anonym.2012.https://cszoel.wordpress.com/2012/06/01/hukum-perikatan-diatur-dalam-buku-iii-bw.html. Diakses pada 21 juli 2013.

http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.htm. Diakses pada 20 januari 2015.

Anonym.2013.http://ilmuhukumuin-suka.blogspot.co.id/2013/05/pengertian-hukum-perdata.html. Diakses pada  
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/bw4.htm dialses pada 18 April 2018





menelisik kabar "INDONESIA DI SEBUT NEGARA MAJU" dalam perdagangan dunia pada tahun 2020

  Kosekuensi ‘Status Negara Maju’ Dalam Perdagangan Dunia Sudah Pantaskah Indonesia disebut sebagai negara maju? Oleh: Restu Gusti Monit...