Sabtu, 07 April 2018

Materi Hukum Pidana


HUKUM PIDANA
oleh: Restu Gusti Monitasari
Mendengar istilah Hukum Pidana terkadang membuat kita ketakutan dan membayangkan hal-hal yang berhubungan dengan pembalas dendaman bahkan banyak yang beragumen bahwa hukum pidana itu ‘tumpul keatas dan tajam kebawah’. Namun, apakah benar bahwa hukum pidana itu selalu mengarah ke arah tersebut? Sepertinya perlu ada pembahasan mengenai hal ini. Namun Sebelum menjawab pertanyaan tersebut  dan sebelum membahas lebih dalam apa itu hukum pidana alangkah baik nya kita membahas terlebih dahulu apa arti dari hukum dan juga pidana itu sendiri, yang dimaksud dengan hukum adalah salah satu norma yang ada dalam masyarakat. Pelanggaran norma hukum memiliki sanksi yang lebih tegas. Pengertian hukum sangat beragam, sehingga kita harus mengetahui apa saja pengertian hukum dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Maka dari itu diperlukanlah pengertian hukum dari beberapa para ahli hukum.
A.    Pengertian Hukum menurut para Ahli Hukum
·         Menurut Aritoteles
Aristoteles mengatakan bahwa hukum hanyalah sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat tetapi juga hakim bagi masyarakat. Dimana undang-undanglah yang mengawasi hakim dalam melaksanakan tugasnya untuk menghukum orang-orang yang bersalah atau para pelanggar hukum.
·         Menurut Plato
Hukum adalah seperangkat peraturan yang tersusun dengan baik dan teratur dan bersifat mengikat hakim dan masyarakat.
·         Menurut Immanuel kant
Hukum adalah segala keseluruhan syarat dimana seseorang memiliki kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikandiri dengan kehendak bebas dari orang lain dan menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan.
·         Menurut S.M Amin
Hukum adalah sekumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi. Dan bertujuan untuk mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara.
·         Menurut Drs. E. Utrecht, S.H
Hukum adalah suatu himpunan peraturan  yang didalamnya berisi tentang perintah dan larangan, yang mengatur tata tertib kehidupan dalam bermasyarakat dan harus ditaati oleh setiap individu dalam masyarakat karena pelanggaran terhadap pedoman hidup itu bisa menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah suatu negara atau lembaga.
·         Menurut Soerso
Hukum adalah sebuah himpunan peraturan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata tertib kehidupan bermasyarakat yang memiliki ciri perintah dan larangan yang sifatnya memaksa dengan menjatuhkan sanksi-sanksi hukuman bagi pelanggarnya.
            Itulah pengertian hukum menurut beberapa ahli hukum, dan pengertian hukum menurut saya sendiri ialah, Hukum adalah suatu aturan-aturan atau batasan-batasan yang hidup dan berkembang dalam suatu masyarakat yang memiliki tujuan untuk mencapai keadilan, kepastian dan segala hal yang dapat menciptakan kesejahteraan, yang dimana hukum ini bersifat mencegah, mengikat, dan memaksa, juga memiliki sanksi bagi siapapun yang melanggarnya.
B.     Pengertian Pidana
pengertian  pidana secara umum ialah suatu nestapa atau penderitaan yang diberikan oleh pihak berwenang kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana.
Pidana berasal dari kata Straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat diartikan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan atau dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalahmelakukan suatu tindak pidana.
C.    Pengertian hukum pidana menurut para ahli hukum
·         Menurut R. Soesilo
Hukum pidana adalah perasaan tidak enak atau sengsara yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telang melanggar Undag-undang hukum pidana.
·         Menurut F. Wirjono prodjodikoro
Hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata “pidana’ berati hal yang “dipidanakan” yaitu oleh intansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.
·         Menurut van Hamel
Hukum pidana adalah keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum (onrecht) dan mengenakan suatu nestapa (penderitaan kepada yang melanggar larangan tersebut).
·         Menurut C.S.T Kansil
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan  terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.
Dari penjelasan diatas mengenai pengertian hukum, pengertian pidana, dan pengertian hukum pidana menurut para ahli, jadi dapat di tarik kesimpulan secara umum bahwa Hukum Pidana ialah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuat apa yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.

Dan tindak pidana itu sendiri ialah suatu perbuatan yang melanggar hukum pidana atau dengan kata lain perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengn pidana.
Tindak pidana atau delict dan sering disebut strafbaar feit,
Menurut prof. Simons, unsur-unsur strafbaar feit berupa;
1.      Perbuatan manusia,
2.      Diancam dengan pidana,
3.      Melawan hukum,
4.      Dilakukan dengan kesalahan,
5.      Oleh orang yang mampu bertaggung jawab.
Prof. Simons juga menyebutkan adanya unsur objektif dan unsur subjektif dari tindak pidana atau strafbaar feit.
·         Yang disebut unsur objektif
a)      Perbuatan orang,
b)      Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu,
c)      Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “di muka umum”
·         Yang disebut unsur subjektif
a)      Orang yang mampu bertanggung jawab,
b)      Adanya kesalahan (dolus atau culpa).
Menurut Van Hamel, usur-unsur strafbaar feit adalah:
a)      Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,
b)      Melawan hukum,
c)      Dilakukan dengan kesalahan, dan
d)     Patut dipidana.



 







            Keterangan:
Ø  Hukum pidana dalam arti objektif ialah sejumlah peraturan larangan-larangan atau keharusan-keharusan dimana terhadap pelanggarnya diancam dengan hukuman.
Ø  Hukum pidana dalam arti subjektif ialah sejumlah peraturan yang mengatur hak negara, antara lain;
1.      Hak negara untuk mengancamkan perbuatan dengan  hukuman,
2.      Hak negara untuk menjatuhkan hukuman
3.      Hak negara untuk melaksanakan hukuman.   
Ø  Hukum pidana materil berisi tentang perbuatan apa yang dilarang, siapa yang dapat dihukum, dan berapa hukumannya.
Ø  Hukum pidana formil berisi berisi peraturan-peraturan tentang bagaimana cara negara membawa si pelaku ke persidangan untuk diadili dan diutus.
perbuatan-perbuatan pidana ini menurut wujud dan sifatnya adalah ketentuan yang ditentukan oleh hukum melawan hukum. Dan salah satu unsur tindak pidana adalah melawan hukum.

D.    Melawan Hukum


 



                                                                                                                               
 Keterangan:
Ø  Melawan hukum adalah suatu perbuatan yang masuk atau mencocoki dalam rumusan delik seagaimana dirumuskan dalam undang-undang.
Ø  Melawan hukum formil adalah suatu perbuatan melawan hukum yang bertentangan dengan apa yang  dicantumkan dalam Undang-undang.
Ø  Melawan hukum materil adalah suatu perbuatan melawan hukum yang bertentangan dengan norma atau kepatutan dalam masyarakat.
Melawan hukum materil dibedakan menjadi;
1.      Melawan hukum dalam fungsinya yang negatif (-)
Pengertian ajaran melawan hukum materil dalam fungsinya yang negatif ialah mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang diluar undang-undang dapat menghapuskan sifat melawan hukum yang diperbuat yang merumuskan undang-undang. Jadi hal tersebut alasan sifat melawan hukum
2.      Melawan hukum dalam fungsinya yang positif (+)
Pengertian ajaran melawan hukum materil dalam fungsinya yang positif ialah menganggap suatu perbuatan tetap sebagai suatu delik meskipun tidak nyata diancam dalam undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum atau aturan-aturan lain yang ada di luar undang-undang.
Mengenai melawan hukum ini Apabila ada  suatu perbuatan dan perbuatan  itu memenuhi rumusan delik, maka itu merupakan suatu tindakan melawan hukum. Akan tetapi sifat ini dihapus apabila diterobos dengan adanya dasar pembenar dan dasar pemaaf (dasar-dasar penghapusan pidana).
E.     Dasar-dasar penghapusan pidana


Dasar-dasar penghapusan pidana
 
 
                                                                                         

Dasar pembenar
 
Dasar pemaaf
 
                                                                                                 

Keterangan;
Ø  Dasar penghapusan pidana adalah suatu dasar yang dapat menghapuskan tindak pidana. Yang apabila perbuatan tersebut masuk kedalam salah satu unsur atau bagian dari dua dasar yang ada didasar-dasar penghapusan pdana ini, yaitu;
Ø  Dasar pembenar,
Dasar pembenar ialah suatu dasar yang membenarkan perbuatan itu sehingga ia tidak hukum. Jadi sifat atau perbuatan melawan hukumnyalah yang dihapuskan. Contohnya tertera dalam pasal 48, 49, 50, 51 KUHP.
Ø  Dasar pemaaf,
Dasar pemaaf ialah suatu dasar yang memaafkan kesalan itu sehingga ia tidak dihukum. Jadi sifat atau kesalahannya yang dihapuskan. Contohnya tertera dalam pasal 44 KUHP.


F.     ASAS LEGALITAS (Nullum delictum nula poena sine praevie lege poenali)
Asas legalitas atau asas perlindungan ini menyatakan bahwa tiap-tiap tindak pidana harus dinyatakan dan dicantumkan secara jelas dalam undang-undang, di larang dan di atur.
Asas legalitas atau asas perlindungan ini tercantum dalam KUHP Pasal 1 ayat 1, yang berbunyi;
“Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan undang-undang yang sudah ada terlebuh dahulu dari perbuatan itu”
Dari pernyataan dan bunyi asas legalitas tersebut maka asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian yaitu;
1)      Hukum pidana harus tertulis
2)      Hukum pidana tidak berlaku surut, artinya aturan dalam hukum pidana harus berlaku kedepan dan tidak diberlakukkan kebelakang.
3)      Hukum pidana tidak dapat ditafsirkan secara analogi, jadi undang-undang tidak boleh di kias-kiaskan.
Dengan adanya asas legalitas ini maka Hukum pidana itu melindungi kepentingan hukum manusia, yang dimana kepentingan itu berupa Nyawa, badan, harta, kehormatan, dan kemerdekaan. Namun disamping melindungi, hukum pidana juga memperkosa hak si pelaku seperti memasukan nya ke dalam penjara sebagai akibat dari perbuatannya, maka dari itu hukum pidana sering disebut ‘pedang bermata dua’.
G.    Fungsi hukum pidana
·         Fungsi umum
Artinya fungsi hukum pidana sama dengan bidang lainnya yaitu mengatur hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata tertib dalam masyarakat.
·         Fungsi khusus
Artinya ialah melindungi kepentingan hukum setiap manusia terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya. Dengan sanksi berupa pidana yang bersifat lebih tajam dibandingkan dengan sanksi yang terdapat dalam cabang hukum lainnya.

H.    Jenis-jenis tindak pidana
1)      Delik kejahatan (recht delict) atau delik hukum
Ialah perbuatan yang bertentang dengan rasa keadilan terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undag-undang atau tidak, jadi yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan.
Delik pelanggaran (west delict) atau delik undang-undang
Ialah perbuatan yang melanggar apa yang ditentukan undang-undang.
2)      Delik formil
Adalah delik yang rumusannya dititik beratkan kepada perbuatan yang dilarang dan diancam dalam pindana. Delik tersebut telah selesai dengan di laksanakannya perbuatan seperti yang tercantumkan dalam rumusan delik. Contohnya pasal 362 tentang Pencurian, yang dimana melakukan pengambilan hak orang lain itulah yang dilarang.
Delik materil
Adalah delik yang rumusannya dititik beratkan kepada akibat yang dilarang dan diancam dalam pidana. Contohnya pasal 338 tentang pembunuhan, yang dimana matinya seseorang itulah yang dilarang.
3)      Delik dolus (delik kesengajaan)
Ialah suatu perbuatan yang dilakukan dengan kesengajaan, artinya delik tersebut dikehendaki dan dimengerti akibatnya. Contohnya ialah pasal 162, 197, 338 KUHP.
Delik culpa (delik kealpaan)
Ialah suatu perbuatan yang dilakukan dengan ketidak sengajaan karena kurangnya perduga-dugaan atau kurang hati-hati dalam melakukan sesuatu. Contohnya ialah pasal 359, 36, 195 KUHP.
4)      Delik laporan
Ialah suatu delik yang dapat dilaksanakan setelah adanya laporan, siapapun dapan melapor dan pelapor cukup melapor saja tidak perlu mengajukan tuntutan sanksi kepada penegak hukum.
Delik aduan
Ialah Suatu delik yang baru bisa dilaksanakan setelah adanya aduan dari pihak sikorban diikuti dengan laporan yang tertulis untuk melakukannya penuntutan. Artinya yang dapat mengadu hanya pihak yang dirugikan saja. Delik aduan terbagi menjadi dua, yaitu;
§  Delik aduan absolute
Contoh kasusnya mengenai perjinahan (pasal 284 KUHP), jika ada pasangan yang terpegok melakukan perjinahan, lalu mau dituntut, maka kedua pejinah tersebuh harus mendapat tuntutan yang sama, tidak boleh hanya salahsatu diantara mereka saja yang mendapat tuntutan nya. Artinya delik aduan obsolute ini membicarakan mengenai penentuan yang berdasarkan pengaduan.
§  Delik aduan relatif atau delik aduan yang adanya sebuah keistimewaan
Contohnya dalam suatu keluarga, seorang anak mencuri uang ayahnya dan ketika ia mencuri uang ayahnya ia sedang bersama dengan temannya, tak lama kemudian anak tersebut terpergok mencuri oleh ayahnya, tetapi yang diadukan adalah teman dari anak tersebut yang pada kenyataannya bukan ia yang bersalah namun anaknya, hanya karena hubungan istimewa antara anak dan ayah maka orang tak bersalahpun yang terkena aduan pencuriannya.
5)      Delik sederhana
Adalah delik yang merupakan delik pokok yang teridiri atas beberapa unsur tertentu. Contohnya adalah delik pembunuhan yang dilakukan karena sengaja ataupun spontan terkena pasal 338 KUHP.
Delik yang ada pemberatannya atau delik yang dikualifikasikan
Adalah Delik yang unsurnya sama dengan delik pokok yang ditambah dengan unsur lain sehingga delik tersebut menjadi berat. Contohnya ialah delik pembunuhn yang direncanakan sebelumnya terkena pasal 340 KUHP.
Delik yang diistimewakan atau delik peringan
Adalah delik yang unsurnya sama dengan delik pokok ditambah dengan unsur lain sehingga menjadi ringan. Contohnya adalah delik pembunuhan, yang dilakukan oleh seorang wanita yang menggugurkan kandungannya (menghilangkan nyawa calok anaknya) dikarenakan untuk menutupi aib nya karena anak dalam kandungannya adalah hasil hubungan gelap maka wanita tersebut terkena pasal 338 KUHP.

I.       Tidak dipidana tanpa kesalahan
Tidak dipidana tanpa kesalahan maksudnya ialah orang tersebut (pelaku) telah melakukan tindak pidana, namun dikatakan tidak bersalah, karena oreng tersebut menyangkutpaut pada pasal 44,48,49,50 dan 51 KUHP. Yang dimana pasal 44 KUHP ini mengenai orang yang tak mampu bertanggung jawab, dikarenakan kurang sempurnanya akal/jiwanya atau terganggu karena sakit, maka ia tidak dipidana karena kekuatan dasar pemaaf yang menghapuskan kesalannya. Sedangkan pasal 48,49,50, dan 51 KUHP ini mengenai pengaruh daya paksa, pembelaan kepada diri sendiri atau pun oranglain, melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang (seperti algojo), melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang beerwenang, maka yang menyakutpaut pada hal-hal tersebbut tidak akan dipidana karena terkena dassr pembenar yang dimana tidak dipidana karena perbuatan nyalah yang dihapuskan.
J.      Ilmu hukum pidana dan kriminologi
Ilmu hukum pidana yang sesungguhnya dapat dinamakan “ilmu tentang hukumnya kejahatan”. Dan kriminologi sendiri adalah “ilmu tentang Kejahatan”. Kedua ilmu ini di Jerman dicakup dengan nama “Die gesammte strafrecht wissenschaft” dan dalam negara angelsaks disebut ‘Criminal Science”.  biasanya di negara anglosakson kriminologi ini terbagi dalam tiga bagian, yaitu;
1.      Criminal biology
Yaitu yang meyelidiki dalam diri orang itu sendiri akan sebab-sebab dari perbuatannya, baik dalam jasmani maupun rohani.
2.      Criminal sosiologi
Yaitu yang mencoba mencari sebab-sebab dalam lingkungan masyarakat dimana penjahat itu berada.
3.      Criminal policy
Yaitu yang tindakan-tindakkan apa yang sekiranya harus dijalankan supaya orang lain tidak berbuat demikian.
Pada umumnya sekarang orang menggap bahwa dengan adanya kriminologi disamping ilmu hukum pidana, pengetahuan tentang kejahatan pun menjadi semakin lebih luas, karena dengan demikian orang lalu mendapat pengertian baik tentang penggunaan hukumnya terhadap kejahatan maupun tentang pengertiannya mengenai timbulnya kejahatan dan cara-cara pemberantasannya, sehingga memudah kan penentuan adanya kejahatan dan bagaimana menghadapinya itu sendiri. Bahkan ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa ‘jika perkembangan kriminologi ini sudah sempurna, maka tidak diperbolehkan lagi adanya pidana, sebab kata mereka itu, meskipun telah berabad-abad orang menjatuhi pidana kepada orang yang berbuat kejahatan, namun kejahatan masih tetap dilakukan orang. Ini menandakan bahwa pidana itu tidak mampu untuk mencegah adanya kejahatan, jadi bukan lah obat bagi penjahat’. Menurut saya ini adalah pemikiran yang mungkin sudah frustasi melihat keadaan problematika kejahatan yang semakin marak terjadi meski pemberian pidana sudah dirasa cukup bahkan sangat berat, padahal jika kita kaji lebih dalam mengenai ilmu hukum pidana dan ilmu kriminologi ini, maka kedua ilmu ini merupakan pasangan dwitunggal yang artinya ialah saling melengkapi antara satu dan lainnya. mengapa saya mengatakan bahwa kedua ilmu ini merupakan pasangan dwitunggal?Mengenai hal ini maka kita dapat melihat
terlebih dahulu perbedaan dari keduanya, yaitu ertera dalam tabel dibawah ini;
Ilmu hukum pidana
Ilmu Kriminologi
·         Objek nya ialah aturan-aturan hukum yang  mengenai kejahatan atau yang bertalian dengan pidana.
·         Objek nya ialah orang yang  melakukan kejahatan.
·         Tujuannya ialah agar dapat mengerti dan digunakan dengan sebaik-baiknya serta seadil-adilnya,.
·         Tujuannya ialah agar menjadi mengerti apa sebab-sebab/ alasan-alasan nya berbuat jahat seperti itu.
Dari perbedaan diatas maka jika kita tela'ah lebih dalam, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya ilmu hukum pidana itu agar setiap warga negara yang hidup dan bermasyarakan di dalam suatu negara terkhusus negara hukum untuk dapat mengerti bahwa setiap perbuatan yang dapat dikatakan suatu tindak pidana itu sudah terturi atau tertera sangat jelas, maka setiap oranga atu warna negara harus mematuhi dan menjalankan aturan-aturan hukum yang ada, artinya agar setiap orang yang akan melakukan suatu perbuatan atau tindakan akan lebih berhati-hati agar tidak adak pihak yang dirugikan karena sudah ada aturan yang jelas, dan bahkan jika yang sudah melakukan kejahatan dan diberikan suatu hukuman atau pidana orang tersebut diharapkan tidak melakukan kejahatan nya lagi (kapok) karena telah adanya aturan yang memberikan sanksi yang jelas untuk setiap tindak kejahantannya dan adanya ilmu hukum pidana ini bukan ajang untuk melakukan balas dendam, dan mengenai hal ini maka adanya ilmu kriminologi ini dapat dikatakan ilmu yang dapat menjadi pegangan ilmu hukum pidana dalam melaksanakan tugas nya artinya ilmu kriminologi ini dapat dilaksanakan atau bertindak didepan sebelum ilmu hukum pidana bertindak agar dapat menemukan keadilan seadil-adilnya, maka dari itu kdua ilmu ini dapat dikatakan ilmu yang berhubungan dan saling melengkapi, dan solusi terbaiknya menurut saya dari salah satu ilmu ini tidak ada yang harus dihapus ataupun dibuang melainkan keduanya harus di tegakkan agar tujuan dari suatu negara terkhusus negara hukum itu sendiri tercapai yakni keadilan, kepastian dan kesejahteraan.
K.    Batas-batas berlakunya perundang-undangan hukum pidana menurut tempat terjadinya perbuatan
Dalam pasal 1 ayat 1 KUHP, diadakan aturan-aturan mengenai batas-batas berlakunya  perundang-undangan hukum pidana menurut waktu atau saat terjadinya perbuatan. Dalam pasal 2 sampai 9 KUHP sebaliknya diadakan aturan-aturan mengenai batas-batas berlakunya perundang-undangan hukum pidana mengenai tempat terjadinya perbuatan.
Ditinjau dari sudut negara, ada dua kemungkinan pendirian, yaitu;
1.      Asas teritotial
Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di wilayah negara, baik dilakukan oleh warga negaranya sendiri maupun oleh orang asing. Dalam asas ini titik berat diletakkan pada terjadinya perbuatan didalam wilayah negara. Siapapun yang melakukannya tidaknjadi persoalan.
Asas ini terdapat dalam pasal 2 KUHP, yang berbunyi;
“aturan pidana dalam undang-undang indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di wilayah indonesia”, dan diperluas dengan ketentuan yang terdapat didalam pasal 3 KUHP, yang menyatakan bahwa;
“peraturan pidana indonesia dapat diterapkan kepada setiap orang yang berada diluar negeri yang melakukan suatu tindak pidana dalam perahu (vaartuing) indonesia” (vaartuing harfiah berarti berlyar). Meskipun dalam pasal ini yang tertera adalah perahu namun pasal ini berlaku untuk kapal udara/pesawat.
2.      Asas personalitas (prinsip nasional yang aktif)
Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga negara, dimana saja, juga diluar wilayah negara. Dalam asas ini titik berat diletakkan pada orang yang melakukan pidana, dimana pun tempat terjadinya tindak pidana itu dianggap tidak penting. Dalam katalain asas ini mengatakan bahwa peraturan hukum pidana indonesia berlaku bagi setiap warga negara indonesia, baik dalam negeri maupun diluar negeri. Mengenai orang indonesia yang melakukan tindak pidana didalam negeri tidak ada persoalan. Kalau ia melakukan tindak pidana diluar negeri maka ada ketentuan yang terebut dalam pasal 5, disini dilihat dua golomgan tindak pidana;
a.       Kejahatan terhadap keamanan negara, terhadap martabat presiden, penghasutan, penyebaran surat-surat yang mengandung penghasutan, membuat tidak cakap untuk dinas militer, bigami dan perampokan,
b.      Tindak pidana yang menurut undang-undang indonesia dianggap sebagai kejahatan yang di negeri tempat tindak pidana dilakukan itu diancam dengan pidana. Golongan ini sifatnya lebih umum,
Contohnya; seorang warga negara indonesia melakukan kejahatan diluar negeri, kemudian lari ke indonesia. Ia tidak mungkin diserahkan ke negeri tersebut, karena ia adalah warganegara indonesia, namun ia dapat diadili dengan undang-undang pidana indonesia diindonesia. Dan negara anglosaxon tidak mempunyai sistim demikian.
3.      Asas perlindungan (asas nasional pasif)
Asas perlindungan ini melindungi kepentingan yang lebih besar daripada kepentingan oknum (individu) ialah kepentingan nasional. Asas ini memuat prinsip, bahwa peraturan hukum pidana indonesia berlaku terhadap tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum negara indonesia, baik itu dilakukan oleh warga negara indonesia atau bukan, yang dilakukan diluar indonesia. Kejahatan-kejahatan tersebut dapat dibagi dalam 5 kategori (golongan);
a.       Kejahatan-kejahatan terhadap keamanan negara dan martabat presiden (pasal 5 sub 1),
b.      Kejahatan-kejahatan tentang material untuk merk yang dikeluarkan oleh pemerintah indonesia (pasal 4 sub 2),
c.       Pemalsuan surat-surat hutang dan sertifikat-sertifikat hutang atas beban indonesia, daerah atau sebagian ari daerah; talon-talon deviden atau surat bunga yang termasuk surat-surat itu, dan juga surat-surat yang dikeluarkan untuk mengganti surat-srat itu; atau dengan sengaja mempergunakan surat palsu atau yang dipalsukan tersebut seolah-oleh tulen dan tidak dipalsukan (pasal 4 sub 3),
d.      Kejahatan jabatan yang tercantum dalam titel XXVIII buku ke II yang dilakukan oleh pegawai negeri indonesia diluar indonsia.
Pegawai negeri indonesia itu tidak perlu seorang indonesia, misalnya dipewakilan-perwakilan indonesia diluar negeri banyak orang-orang asing yang menjadi pegawai indonesia. Disamping itu juga banyak pegawai-pegawai indonesia yang karena tugasnya banyak berada diluar negeri.
e.       Kejahatan pelayaran yang tercantung dalam titel XXIX buku ke 2; pelanggaran pelayaran dan juga tindak pidana yang tercantum dalam peraturan-peraturan umum tentang surat-surat laut dan pas kapal di indonesia dan dalam ordonansi kapal tahun 1927, yang dilakukan oleh nakhoda dan penumpang alat pelayar (kapal atau perahhu) indonesia yang ada diluar indonesia; baik mereka itu berada di atas kapal maupun diluar kapal (pasal 8).
4.      Asas universal
Asas universal atau asas melindungi kepentingan universal adalah manifestasi dari pendirian, bahwa tiap-tiap negara berkewajiban untuk ikut melaksanakan tata hukum sedunia, (v. Hattum hal 108).
Peraturan-peraturan hukum pidana indonesia berlaku terhadap tindak pidana baik itu dilakukan didalam negeri ataupun diluar negeri, dan juga baik dilakukan oleh warga negara sendiri ataupun oleh waarga negara asing. Tindak pidana yang dimaksud adalah tindak pidana yang tersebut dalam pasal 4 sub 2 KUHP yakni sejauh juga mengenai kepentingan-kepentingan negara-negara asing dan pasal 4 sub 4 KUHP mengenai perampokan dilaut (pembajkan). Kepentingan yang dilidungi disini merupakan kepentingan internasional, jadi bukan khusus kepentingan negara indonesia. Oleh karena itu asas ini juga dikatakan asa “derweltrechtspflege”, asas mengenai penyelenggaraan hukum dunia atau ketertiban hukum dunia (weredrechtsorde).
Misalnya orang asing di indonesia memalsukan mata uang negaranya sendiri dapat di adili di sini dengan hukum pidana indonesia.
Mengenai hal terakhir ini perlu diperhatikan, bahwa pengadilan indonesia hanya mengadili berdasarkan hukum indonesia dan bukan dengan hukum asing. Ini berlainan dengan perkara perdata. Dalam hal ini pengadilan indonesia dapat menerapkan aturan hukum perdata negara lain berdasarkan aturan hukum perdata internasional.
Dalam KUHP terdapat pengecualian terhadap ketentuan-ketentuan dalam pasal 2, 5, 7 dan 8, yakni sebagaimana tersebut dalam pasal 9. Dalam pasal ini disebutkan, bahwa penerapan pasal 2 tadi dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum internasional. Pengecualian-pengecualian ini ada terhadap kepala negara asing, duta/duta besar atau perwakilan negara asing, anak kapal dari kapal-kapal perang asing. Exterritorialitas atau immunitas (kekebalan) mereka itu diakui. Soal ruang berlakunya peraturan-peraturan pidana menurut tempa yang telah diuraikan ininharus dibedakan dari tempat terjadinya suatu tindak pidana (locus delicti).




L.     Locus delicti, Tempus delicti
v  Locus delicti
Locus delicti adalah tempat terjadinya tindak pidana. Locus delicti ini perlu diketahui untuk;
1)      Menentukan apakah hukum pidana indonesia berlaku terhadap peruatan pidana tersebut atau tidak. Ini berhubungan dengan pasl 2-8 KUHP.
2)      Menentukan kejaksaan dan pengadilan mana yang haris mengurus perkaranya. Ini berhubungan dengan kompetensi relatif (pengadilan mana yang berwenag). Sedangkan kompetensi absolute adalah pengadilan apa yang berwenang.
Mengenai locus delicti ini, dalam KUHP tidak ada ketentuan apa-apa. Lain misalnya dengan KUHP Jerman dimana dalam pasla 3 ditentukan bahwa tempat perbuatan pidana adalah tempat dimana terdakwa berbuat ata dalam hal kelakuan negatif, dimana seharusnya terjadi.
Menurut teori, biasanya tentang lecus delicti ini ada dua aliran, yaitu;
1.      Aliran yang menentukan di satu tempat, yaitu tempat dimana terdakwa berbuat.
Contoh aliran ini adalah arrset HR di Nederland tahun 1889 tentang;
 Penipuan (kumpulan arrset hukum pidana bemmelen kaca 40 no.14).
Aliran ini juga dianut oleh Pompe (halaman 72 dan 73) dan Langemeyer (jilid I halaman 62)
2.      Aliran yang menentukan di beberapa tempat, yaitu mungkin tempat kelakuan, dan mungkin pula tempat akibat.
Menurut aliran ini, Locus delicti adalah boleh pilih antara tempat dimana perbuatan dimulai dengan kelakuan terdakwa hingga perbuatan selesai dengan timbulnya akibat. Yang menganut ajaran ini antara lain adalah Simonos. Beliau mmengatakan; “Strafbaar feit terdiri dari kelakuan dan akibat (handelingen gevolg). Tidak ada alasan satu pun yang mendesakkan salah satu dari kedua hal ini dipandang sebagai locus delicti. Hanya apabila hal itu ditentukan oleh wet, maka salah satu itu baru dapat dipandang sebagai locus delicti”. Juga demikian pendapat v. Hamel, Jonkers dan v. Bemmelen (tersebut dalam buku Vos halaman 50).
v  Tempus delicti
tempus delicti adalah waktu terjadinya tindak pidana. Tempus delicti adalah penting berhubungan dengan;
1)      Pasal 1 KUHP, artinya apakah perbuatan yang bersangkut-paut pada waktu itu sudah dilarang dan diancam  dengan pidana atau tidak?
2)      Pasal 44 KUHP, artinya apakah terdakwa ketika itu ( ketika melakukan tindak pidana) mampu bertanggung jawab atau tidak?
3)      Pasal 55 KUHP, artinya apakah terdakwa ketika melakukan peruatan sudah berumur 16 tahun atau belum? Jika belum berumur 16 tahun, maka boleh memilih antara tiga kemungkinan;
a.       Mengembalikan anak tersebut kepada orang tuanya tanpa diberikan pidana apapun;
b.      Menyerahkan anak tersebut kepada pemerintah untuk dimasukan rumah pendidikan (milik negara);
c.       Menjatuhi pidana seperti orang dewasa. Maksimum daripada pidana-pidana pokok dikurangi 1/3 (tertera pada pasal 47 KUHP)
4)      Pasal 79 (verjaring atau kadaluwarsa). Dihitung mulai hari setelah perbuatan pidana terjadi.
5)      Pasal 57 HIR, diketahuinya perbuatan dalam keadaan tertangkap tangan (op heterdaad).
Mengenai tempus delicti Aliran kedua pada locus delicti  juga berlaku untuk tempus delicti, artinya: Waktu dilakukannya perbuatan pidana adalah waktu kelakuan dan waktu akibat, jadi boleh pilih antara dua saat itu, menurut maksudnya aturan yang dikenakan. Yang berpendirian demikian adalah Noyn Langemeyer, Van Bemmelen, dan Jokers. Nmun pendirian ini juga menuai perdebatan, diantaranya:
Vos, mengeritik pendirian ini sebagai berikut;
“jika waktu perbuatan pidana adalah waktu kelakuan atau wakktu akibat, maka kosekuensinya adalah bahwa orang dapat membunuh orang lain pada saat pembunuh tadi sudah mati. Umpamanya A menembak B pada 21 Maret. A sendiri karena sakit jantung ketika itu juga mati, sedangkan B baru meninggal karen atembakan tersebut pada tanggal 22 Maret”. Vos tidak dapat menerima ini, beliau berpendapat bahwa mengenai waktu terjadinya perbuatan pidana harus diambil waktu kelakuan terjadi (waktu terdakwa berbuat).
Jokers, menjawab pendirian vos ini sebagai berikut;
“kosekuensinya dari pendirian vos ialah bahwa orang dapat membunuh orang lainpada ketika yang dibunuh masih hidup, sebab jika diambil sebagai tempus delicti adalah waktu berbuat, maka pembunuhan terjadi pada tanggal 21 maret, sedangktan ketika itu juga yang dibunuh masih hidup. Dia baru padal tanggal 22 maret mati. Menurut jokers, dalam hal semacam itu baik kedua tanggal dimasukkan dalam surat tuduhan.
Mezger, berpendapat bahwa untuk tempus delicti ini mungkin diadakan jawaban yang sama buat semua keperluan. Haruslah dibedakan menurut maksud daripada peraturan;
1.      Untuk keperluan kadaluwarsa dan hak penuntutan yang perlu ialah waktu perbuatan seluruhnya terjadi, jadi pada waktu sesudah terjadinya akibat.
2.      Untuk keperluan: apakah aturan-aturan hukum pidana berlaku atau tidak, dan untuk penentuan apakah mampu bertanggung jawab atau tidak, atau ada atau tidaknya perbuatan bersifat melawanhukum (karena ada atau tidaknya izin dari yang berwajib), tempus delicti adalah waktu melakukan dan terjadinya akibat di sini tidak mempunyai arti.
Seperti ini juga pendapat dari Hamel, Simons, Hazewinkel Suringa (mengajukan bahwa; agar jangan sampai menimbulkan konsekuensi yang janggal, maka ditentukan dalam perkecualian dalam pasal 79 KUHP ke-1,2, dam 3).
M.   Tujuan hukum pidana
Mengenai tujuan hukum pidana ini, ada tiga aliran (pendapat), yaitu;
1.      Aliran klasik, aliran ini mengatakan bahwa tujuan hukum pidana ialah untuk melindungi masyarakat dari kekuasaan pemerintah.
2.      Aliran modern, aliran ini mengatak bahwa tujuan hukum pidanaq ialah untuk melindungi masyarakat dari kejahatan. Aliran modern ini sering disamakan dengan aliran kriminologi atau aliran positif.
3.      Aliran gabungan atau aliran otoriter, aliran ini mengatakan bahwa tujuan hukum pidana ialah untuk lebih mementingkan kepentingan negara.
Pada pasal 1 Rancangan Undang-undang (RUU) hukum pidana buku ke-1 terdapat gagasan tentang maksud tujuan hukum pidana, yakni tujuan hukum pidana adalah agar dengan ridho tuhan yang maha esa cita-cita bangsa indonesia untuk mewujudkan proses pancasila jangan dihambat dan dihalangi oleh tindak pidana sehingga masyarakat indonesia serta individu-individu dapat pengayoman dari hukum ini.
N.    Dasar pembenaran pidana dan tujuan pemidanaan
Salah satu cara untuk mencapai tujuan pemidanaan adalah menjatuhkan pidana terhadap orang yang telah melakukan tindak pidana.
Setelah menyimak penjelasan diatas maka muncullah pertanyaan yang menyatakan, ‘Apa dasar negara negara menjatuhkan pidana kepada seseorang yang melakukan tindak pidana? Sedangkan Undang-undang hukum pidana diadakan justru untuk melindungi kepentingan umum’. Maka untuk menjawab pertanyaan tersebut, di dalam hukum pidana dikenal beberapa teori pembenaraan pidana, yaitu;
A.     Teori absolute (teori pembalasan)
Teori absolute atau teori pembalasan ini muncul pada abad ke-18, yang dimana teori ini menyatakan bahwa pidana itu dibenarkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan, oleh karena kejahataan itu mengakibatkan suatu penderitaan kepada orang yang terkena kejahatan, maka teori absolute atau teori pembalas ini mengatakan bahwa ‘penderitaan itu harus dibalas pula dengan penderitaan  yang berupa pidana kepada orang yang melakukan kejahatan itu’. Bahkan untuk menyigapi teori ini ada pribahasa yang mengatakan bahwa “darah bersambung darah, nyawa bersambung nyawa”.
Pada dasarnya tindakan pembalasan itu memiliki dua sudut, yaitu;
1)      Sudut subjektif, yakni sudut yang pembalasannya ditunjukkan kepada orang lain yang berbuat salah.
2)      Sudut objektif, yakni sudut yang pembalasannya ditunjukkan untuk  memuaskan masyarakat, agar masyarakat merasakan adanya keadilan.
Mengenai teori absolute atau teori pembalasan ini, ada beberapa ahli hukum yang memberikan pendapat, diantaranya ialah;
·         Immanuel kant,
Berpendapat bahwa kejahatan itu mengakibatkan ketidak adilan kepada orang lain, maka harus dibalas pula dengan ketidak adilan yang berupa pidana kepada penjahatnya, sedangkan pidana itu sendiri merupakan tuntutan yang mutlak dari hukum dan kesusiln. Dan;
·         Hegel,
Berpendapat bahwa keadilan itu merupakan kenyataan dari kemerdekaan, sehubungan itu, maka kejahatan merupakan ketidak adilan yang berarti merupakan tantangan terhadap hukum atau keadilan. Oleh karena itu tantangan terhadap hukum atau keadilan itu harus dilenyapkan dengan ketidak adilan pula yaitu dengan pidana.
B.     Teori relatif (Teori tujuan)
Teori ini menyatakan bahwa pidana itu bukanlah untuk melakukan pembalasan kepada pembuat kejahatan, melainkan mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Jadi dasar pembenaran pidana menurut teori ini terletak pada tujuannya.
v  Tujuan pidana menurut teori relatif adalah;
1.      Tujuan pidana adalah untuk menentramkan masyarakat yang gelisah karena adanya kejahatan,
2.      Tujuan pidana adalah untuk mencegah kejahatan. Mencegah disini dibagi menjadi dua, yakni;
·  Mencegah umum, artinya orang yang belum berbuat dan yang sudah berbuat tidak akan melakukan kejahatan.
·  Mencegah khusus, artinya sesorang yang telah melakukan kejahatan lalu mendapatkan sanksi, dan ia pun melaksanakan sanksi tersebut, ketika sudah bebas atau sudah keluar dari sanksi tersebut oirang ituoun tidak akan melakukan kejahatan lagi (trauma).
v  Cara untuk mencapai maksud atau tujuan tersebut, ialah:
1.      Dalam pencegahan Umum,
o   Dengan mengadakan ancaman pidana yang cukup berat untuk menakut-nakuti orang agar tidak melakukan tindak pidana.
o   Dengan menjatuhkan pidana dan melaksanakan pidana yang dilakukan dengan cara yang kejam sekali dan dipertontonkan kepada umum, sehingga setiap orang akan merasa takut untuk mlakukan kejahatan,
2.      Dalam pencegahan Khusus,
Didasarkan pada pemikiran bahwa pidana itu di,aksudkan agar orang yang telah melakukan kejahatan tidak akan melakukan kejahatan tidak melakukan kejahatan lagi. Dengan cara;
o   Memperbaiki penjahat,
o   Menyingkirkan sipenjahat dari pergaulan masyarakat.
Teori relatif atau teori tujuan ini semakin berkembang, dan menurut teori ini dasar pembenaraan pidana itu terletak pada tujuan pidana yaitu untuk menjamin ketertiban umum.
C.     Teori Gabungan
Teori gabungan ini merupakan gabungan antara teori absolute dan teori relatif. Dasar pembenaran pidana pada teori gabungan ini meliputi dasar pembenaran dari teori absolute dan teori relatif yaitu baik terletak pada kejahatan atau pembalasannya maupun pada tujuan pidananya.
 Oleh karena teori pembalasan dan teori tujuan ini dianggap mempunyai kelemahan-kelemahan, untuk itu dikemukakan keberatan-keberatan terhadap kedua teori tersebut, yaitu;
Ø  Keberatan-keberatan terhadap teori pembalasan (absolute);
a)      Penjatuhan pidana semata-mata hanya untuk pembalasan dan menimbulkan ketidak adilan,
b)      Apabila memang dasar pidana hanya untuk pembalasan, mengapa hanya pidana yang berhak menjatuhkan pidana?
c)      Pidana hanya sebagai pembalasan, tidak bermanfaat bagi masyarakat.
Ø  Keberatan-keberatan terhadap teori tujuan (relatif);
a)      Pidana hanya ditunjukkan untuk mencegah kejahatan baik yang ditunjukan untuk menakut-nakuti umum, maupun ditunjukkan kepada orang yang melakukan kejahatan,
b)      Pidana yang berat itu tidak akan memenuhi rasa keadilan apabila kejahatan itu ringan,
c)      Kesadaran hukum masyarakat,
 Oleh  karena itu pidana tidak semata-mata ditunjukan hanya untuk mencegah kejahatan atau membinasakan kejahatan saja, dan oleh karena itu teori gaungan kedua teori itu tidak dapat digunakan.
Teori gabungan dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu;
1)      Teori gabungan yang menitik beratkan kepada pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melebihi yang ditentukan,
2)      Teori gabungan yang menitik beratkan kepada pertahanan ketertiban masyarakat, tetapi pidana tidak boleh beratnya penderitaan yang sesuai dengan beratnya pidana,
3)      Teori gabungan yang menitik beratkan sama, baik kepada pembalasan maupun kepada pertahanan ketertiban masyarakat.

O.    Unsur-unsur atau elemen-elemen perbuatan pidana
Pada hakikatnya, setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan akibat yang ditimbulkan karenanya. Keduanya memunculkan kejadian alam lahir (dunia). Disamping (A) kelakuan dan akibat, untuk perbuatan pidana biasanya diperlukan pula adanya, (B) hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, hal ikhwal yang oleh Van Hamel dibagi dalam dua golongan, yaitu;
1.      Yang mengenai diri orang yang melakukan perbuatan, contohnya adalah,
·         hal menjadi pejabat negara (pegawai negeri) yang diperlukan dalam delik-delik jabatan seperti dalam pasal 413 KUHP dan seterusnya (yang terkenal adalah pasal 418, 419). Jika hal menjadi pejabat negara tidak ada, tidak mungkin ada perbuatan pidana tersebut.
·          hal menjadi ibu dari anak yang dibunuh dalam pasal 341 KUHP;
·          hal menjadi penguasa (koopman) dalam pasal 396 dan seterusnya (merugikan para penagih).
2.      Yang mengenai diluar diri si pelaku, contohnya adalah,
·         Dalam pasal 160 KUHP, pengusutan harus dilakukan; di tempat umum,
·         Dalam pasal 332 (schaking, melarikan wanita) disebut bahwa perbuatan itu harus disetujui oleh wanita yang dilarikan sedangkan pihak orang tuanya tidak menyetujuinya.
Kesimpulannya, yang merupaka unsur atau elemen perbuatan pidana adalah;
a)      Kelakuan dan akibat (sama dengan perbuatan)
b)      Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan
c)      Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
d)     Unsur melawan hukum yang objektif
e)      Unsur melawan hukum yang subjektif
Meskipun perbuatan pidana pada umumnya adalah lahir dan terdiri atas elemen-elemen lahir, namun ada kalanya dalam perumusan juga diperlukan elemen batin yaitu sifat melwan hukum yang subjektif.
P.     Tentang kelakuan atau tingkah laku
Dalam hukum pidana, mengenai kelakuan atau tingkah laku itu ada yang positif dan ada yang negatif,. Dalam hal kelakuan positif terdakwa berbuat sesuatu, sedangkan dalam hal negatif terdakwa tidak berbuat sesuatu yang seharusnya dilakukan.
Makna kelakuan atau tingkah laku
v  Menuru simons dan van Hamel
Kelakuan atau handeling positif adalah gerakan otot yang dikehendaki (een gewilde spierbeweing) yang diadakan untuk menimbulkan suatu akibat.
v  Menurut Pompe
Formulering: gerakan otot yang dihendaki ini ditentang olem Pompe, menurut beliau bagaimanapun pentingnya gerakan otot itu jika dipandang dari sudut fisiologi, tetapi untuk hukum pidana dan ilmu hukum pidana, hal itu tidak mempunyai arti. Sebab ada kalanya untuk mengadakan perbuatan pidana tidak di perlukan adanya gerakan otot, umpamanya dalam pasal 111 KUHP, mengadakan hubungan dengan negara asing. Di sini cukup dengan sikap badan atau pandangan mata yang tertentu. Sebaliknya ada kalanya pula diperlukan pula beberapa, bahwa banyak sekali gerakan otot. Oleh karena itu, menurut Pompe makna gedrading (kelakuan) dapat ditentukan dnegan tida syarat, yaitu;
·         Suatu kejadian yang ditimbulkan oleh seseorang,
·         Yang tampak keluar, dan
·         Yang diarahkan kepada tujuan yang menjadi objek hukum (een gebeuren dat toe te schrijven is aan een mens, uiterlijk waarneembaar en op een doel gericht dat als voorwerp van normen geldt).
Mengenai syarat pertama dan kedua Prof. Moeljatno, S.H dalam bukunya “Asas-asas hukum pidana” menjelaskan bahwa rumusan itu tidak dapat diterima bagi kelakuan, sebab dengan demikian titik berat makna kelakuan diletakan pada kejadian, yaitu akibatnya kelakuan, hal mana justru di pisahkan dari pengertian kelakuan. Lain halnya kalau melihat formulering meger, yang di samping adanya “willens-grundlage” mensyaratkan adanya  aussere korpebewegung mit ihrem weiteren erfolg (gerakan jasmani beserta akibat-akibatnya).
Dalam istilah aussere korperbewegung (akibat-akibatnya dihilangkan karena merupakan unsur tersendiri) pokok pengertian tetap pada tingkah laku orang. Tetapi ini terlampau sempit kalau mengingat apa yang diajukan oleh Pompe diatas. Yang terang ialah bahwa untuk kelakuan negatif, gerakan jasmani lalu tidak tepat. Artinya kalau gerakan jasmani diganti dengan sikap jasmani, kiranya lebih tepat, sebab tidak berbuat sesuatu hal dapat dimasukan dalam formuleering tersenut. Dan disitu tidak perlu ditambahkan lagi “yang tampak keluar” karena sikap jasmani adalah sikap lahir.
v  Menurut mezger
Mezger memintakan adanya Willensgrundlage, yaitu sikap lahir tadi harus didukung oleh satu kekhendak, artinya adalah hasil dari bekerjanya kehendak (wirkung des willensakt). Tidak perlu bahwa itu juga merupakan isinya kehendak (inhalt des willens). Tentang hal ini, jadi apakah kelakuan itu memang dikehendaki atau tidak, kata mezger, itu adalah persoal yang letaknya  kalau menghadapai sifat melawan  hukumnya perbuatan.
v  Menurut Vos
Mengharuskan bahwa sikap jasmani itu disadari (een bewuste gedraging).
v  Menurut van Hattum
Sebaliknya mengatakan, bahwa gedraging itu harus pandang sebagai psysiek substraat (dasar yang pisik) dari tiap-tiap delik, yaitu semata-mata harus di pandang dari sudut jasmani saja, tanpa ditambah unsur subjektif maupun normatif. Bagi beliau kelakuan adalah pengertian kleurloos tidak berwarna. Jadi juga tidak perlu dikehendaki atas disadari. Rupanya kesimpulan van Hattum ini berhubungan erat dengan pendirian penulis jerman Max Rumpf, bahwa kecuali mengenai kelakuan-kelakuan kecil berhubungan dengan keharusan-keharusan jasmani, maka untuk mengadakan sikap jasmani ysng tertentu, orang tidak perlu selalu harus menyadarinya.
Namun, prof. Moeljatno dalam buku nya asas-asas hukum pidana, menyatakan bahwa ia lebih condong kepada pendapat vos, yaituhanya sikap jasmani yang disadari sajalah yang masuk dalam pengertian kelakuan. Oleh karena itu prof . moeljatno setuju jika;
1)      Sikap jasmani yang orangnya pasif,
2)      Gerakan refleksi tidak dapat dinamakan kelakuan,
3)      Sikap jasmani yang di adakan dalam keadaan tidak sadar.
Sesungguhnya, syarat batin “disadari” di samping syarat lahir “sikap jasmani”. Dan disamping sikap jasmani masih diperlukan adanya unsur batin yang tertentu merupakan kelakuan, jika dari permulaan sudah dapat dipastikan, yang tampak sebagai tindak pidana disebabkan karena tingkah laku yang masuk dalam pengecualian-pengecualian di atas maka di situ lalu lalu tidak ada perbuatan, apalagi perbuatan pidana, sehingga tidak perlu diadakan pemeriksaan dan tindakan-tindakan lainnya, sebagaimana lazimnya jika menghadapi perbuatan pidana, hal mana berarti penghematan biaya, tenaga, dan waktu.
Q.    KESENGAJAAN (Dolus, Intent, Opzet, Vorsatz)
Kesengajaan ialah suatu perbuatan yang dkehendaki dan dimengerti perbuatan tersebut, juga di mengerti akibat dari perbuatan tersebut.
Namun dalam KUHP tidak ada keterangan sama sekali mengenai arti kesengajaan. Lain halnya dengan KUHP Swiss di dalam pasal  18 dengan tegas ditentukan: Barang siapa melakukan perbuatan dengan mengetahui dan menghendakinya, maka dia melakukan perbuatan itu dengan sengaja. Dalam Memorie van Toelicting Swb, ada pula; “pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”.
Terori Kesengajaan
Teori kesengajaan terbagi menjadi dua, yaitu;
1)      Teori kehendak (wilstheorie)
Dalam teori ini, inti dari kesengajaan ialah mengkhendaki untuk mewujudkan unsur-unsur delik sebagaimana yang dicantumkan dalam undang-undang. Yang menganut teori ini diantaranya ialah, Simons dan Zavanbergen .
2)      Teori membayangkan atau teori pengetahuan (voorstellings-theorie)
Dalam teori ini, sengaja berarti membayangkan akan timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa menghendaki akibatnya, melainkan hanya dapat membayangkan nya.
Teori ini menitik beratkan pada apa yang diketahhui atau dibayangkan oleh sipembuat, ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia berbuat. Penganut teori ini adalah Frank.
Jadi dalam teori ini perlaku hanya membayangkan akan timbulnya akibat dari perbuatannya.
Terhadap perbuatan yang dilakukan si pembuat, kedua teori itu tidak ada perbedaannya; kedua-duanya mengakui bahwa dalam kesengajaan harus ada kehendak untuk berbuat.
Perbedaannya ialah dalam hal kesengajaan terhadap unsur-unsur lain dari misalnya akibat keadaan-keadaan menyertainya.
Dalam hal yang terakhir ini teori yang satu menyebutkan sebagai “menghendaki”, sedang teori yang lain sebai “mngetahui atau membayangkan”.
Pada hakekatnya dalam praktek penggunaan-nya, hasil kedua adalah sama. Perbedaannya adalah dalam hal terminologie, dalam istilahnya saja.
Corak Kesengajaan
Ada tiga corak sikap batin, yang menunjukan tingkatan bentuk dari kesengajaan iyu, yaitu;
1.      Kesengajaan sebagai maksud atau tujuan;
Maksud dari corak kesengajaan sebagai maksud atau tujuan ialah, matinya korba adalah tujuan dari kesengajaan yang diperbuat oleh terdakwa.
2.      Kesengajaan sebagai keharusan;
Maksud dari corak  kesengajaan sebagai keharusan ialah, hal lain atau hal apapun yang dapat dikatakan merugikan pihak lain karena perbuatan terdakwa dalam mencapai tujuannya yakni membunuh atau mencelakai korban yang ditujunya ialah bentuk dari keharusan yang harus ia lakukan. Contohnya; A menembak B yang sedang berdiri dibelakang kaca, sehingga kaca yang berada di depan B pun pecah sebelum peluru itu melubangi tubuh B. pecahnya kaca tersebut ialah bentuk keharusan B dalam mencapai maksud atau tujuannya yakni menembak B.
3.      Kesengajaan sebagai kemungkinan;
Maksud dari kesengajaan sebagai kemungkinan ialah, cara atau upaya terdakwa dalam mencapai tujuannya yakni membunuh atau melukai korban, tidak dapat menjamin apakah cara tersebut ampuh atau sudah pasti dapat terkena langsung kepada korban atau tidak, artinya dalam hal ini terdakwa tidak punya jaminan kuat untuk menjamin apakah cara yang ia lakukan nanti untuk mencapai tujuannya dapat berjalan sesuai harapannya atau tidak. Contohnya; A akan membunuh B dengan cara mengirimkan kue Tar kerumah B, namun dalam hal ini A tidak dapat berkeyakinan bahwa B akan memakan kue tersebut, karena kemungkinan yang memakan kue tersebut adalah anggota keluarga dari B, dan A pun sadar akan kemungkinan itu, sehingga apabila benar terjadi bahwa yang memakan kue Tar tersebut adalah anggota keluarga B, dan menyebabkan kematian, maka itu adalah bentuk dari kesengajaan sebagai kemungkinan.

Warna kesengajaan
Warna kesengajaan terbagi menjadi dua, yaitu;
1.      Kesengajaan yang berwarna,
Pendirian pertama mengatakan bahwa, kesengajaan melakukan sesuatu perbuatan mencakup pengethuan si pembuat bahwa perbuatannya melawan hukum (dilarang); harus ada hubungan antara keadaan batin sipembuat dengan melawan hukumnya perbuatan. Dikatakan, bahwa sengaja di sini berarti dolus malus, artinya sengaja untuk berbuat jahat (boos opzet). Jadi menurut pendirian yang pertama, untuk adanya kesengajaan perlu bahwa sipembuat menyadari bahwa perbuatanya dilarang.
Penganutnya antara lain Zevenbergen, yang mengatakan (dalam bukunya leerboek van het nederlandsch strafrecht, tahun 1924, hal.159), bahwa; “kesengajaan senantiasa ada hubungannya dengan dolus malus, dengan perkataan lain dalam kesengajaan tersimpul adanya kesadaran mengenai sifat melawan hukumnya perbuatan”. Untuk adanya kesengajaan, diperlukan syarat bahwa pada sipembuat ada kesadaran, bahwa perbuatannya terlarang dan/atau dapat dipidana.
Artinya kesengajaan yang berwarna ialah dianggap sengaja apabila memenuhi unsur. Jadi disamping ia melanggar laranga, juga ia mengerti bahwa perbuata itu dilarang. Jadi dalam hal ini sengaja berwana apabila terdakwa megerti perbuatan itu melanggar, dan mengerti perbuatan itu dilarang.
2.      Kesengajaan yang tidak berwarna.
Arti dari kesegajaan yang tidak berwarna ialah,  bahwa untuk adanya kesengajaan cukuplah bahwa si pembuat itu menghendaki perbuatan yang dilarang itu. Ia tak perlu tahu bahwa perbuatannya terlarang atau bersifat melawan hukum. Dapat saja si pembuat dikatakan berbuat dengan sengaja, sedang ia tidak mengetahui bahwa perbuatannya itu dilarang atau bertentangan dengan hukum. Penganut-penganutnya antara lain; Simons, Pompe, Jonkers.
Menurut M.v.T tidak perlu ada “boos opzet”. M.v.T mengatakan demikian. Akan tetapi untuk berbuat dengan sengaja itu apakah sipembuat tidak harus menyadari, bahwa ia melakukan suatu perbuatan yang menurut tata susila tidak dibenarkan (zadelijk ongeoorlooid)? Cukupkah dengan adanya kesengajaan saja atau perlukah adanya “kesengajaan jahat “ (boos opzet)”? jawabannya tidak akan lain daripada itu.
Keberatan terhadap pendirian bahwa kesengajaan itu berwarna ialah; merupakan beban yang berat bagi jaksa apabila untuk membuktikan ada kesengajaan, tiap kali ia harus membuktikan bahwa pada terdakwa kesadaran atau pengetahuan tentang dilarangnya perbuatan itu. Sebaliknya, alasan bahsa kesengajaan itu berwarna ialah kesalahan itu, jadi masuk kesengajaan, berisi bahwa sipembuat harus sadar bahwa perbuatan keliru. Apabila ia sama sekali tidak sadar akan itu, meskipun pada kenyataannya melakukan perbuatan yang dilarang, yang melawan hukum, ia tidak dapat dipidana.

R.    ERROR IN PERSONA,  Kekeliruan atau kesesatan (salah kira, Dwaling, Ignorance, Mistake)

ERROR IN PERSONA
Kekeliruan mengenai objeknya dan mengenai orangnya. Jika objek itu “gleichwertig” atau nilainya/sifat, sama, maka kekeliruan itu tak menguntungkan tersangka; tetapi jika objeknya berbeda secara hakiki (wesentlich) maka tersangka tidak dapat dipidana.
Jadi Error in persona adalah suaru dwaling, suatu salah paham atau kekeliruan dari pihak terdakwa terhadap orang yang akan dituju. Jadi salah paham tentang objeknya perbuatan. Umpamanya; Apabila yang akan dibunuh itu A kemudian dikira telah membunuh A, padahal sesungguhnya yang dianggap A itu adalah B.
Dalam keadaan semacam itu dikatakan bahwa terdakwa tidak mempunyai kesengajaan untuk membunuh B. Kalau begitu, apakah terdakwa tidak dapat dipidana? Tentu saja dapat, tetapi ini tergantung dari bunyinya dakwaan. Jika didakwa telah membunuh B, tidak dapat dipidana, oleh karena memang kesengajaannya untuk itu tidak ada. Yang ada adalah untuk mebunuh A. Seharusnya didakwakan telah membunuh orang lain, yang ternyata B. Rumusan pasal 338 KUHP juga hanya mensyaratkan matinya orang lain (lain daripada terdakwa). Jadi error in persona dalam cintih diatas tidak membawa akibat apa-apa.
Kekeliruan atau kesesatan
Kekeliruan atau kesesatan ini adalah keadaan bation yang melekan pada suatu kealpaan.
Macam-macam kesesatan
1.      Kesesatan mengenai hal-hal yang menyangkut peristiwanya (feitlijke dwaling atau mistake of fact atau eror facti), contohnya ialah;
a.       Seseorang yang mengambil barang yang dikira tidak ada pemiliknya sama sekali (res nullius).
b.      Seorang ayah memukul anak, yang dikira anaknya sendiri.
Juga termasuk error facti adalah kesesatan mengenai peraturan Hukum perdatan, peraturan-peraturan hukum administrasi negara, karena hal-hal ini termssuk unsur-unsur/bagian-bagian dari delik. Kesesatan mengenai peristiwanya tidak mendatangkan pemidanaan (error facti non nocet).
2.      Kesesatan mengenai hukumnya (rechtsdwaling atau mistake of law atau error iuris)
 Kesesatan mengenai  hukumnya dibatasi sampai kesesatan mengenai dapat dipidananya (strafbaarheid) perbuatan itu sendiri. Kesesatan ini tidak menghapuskan pemidanaan (error iuris nocet). Dalam bahasa belanda dikatakan, kesesatan semacam ini “disculpeert niet”. Jadi orang tak boleh mengatakan bahwa ia tidak tahu bahwa perbuatan yang ia lakukan itu dapat dipidana.
Disini berlaku anggapan (fictie) “setiap orang dianggap mengetahui undang-undang”.
Kesesatan semacam ini banyak terdapat pada pelanggaran daripada kejahatan. Tetapi sekarang pembentuk undang-undang membuat banyak peraturan-peraturan baru yang mengundang kejahatan, yang tidak segera diketahui oleh orang yang mempunyai tingkat pengetahuan normal. Ini banyak terdapat dalam peraturan-peraturan ekonomi.
Kalau orang tidak tahu perbuatan yang ia lakukan itu dilarang dalam undang-undang, maka ia dapat dikatakan salah kira (sesat). Namun ia tetap dapat dipidana, sebab pada dasarnya pembentukkan undang-undang tidak menghiraukan pandangan subjektif dari sipembuat.
Pembentukan undang-undang tidak menghiraukan tentang tidak adanya pengetahuan akan terlarangnya perbuatan. Tetapi kalau seseorang sama sekali tak mungkin dapat mengetahui terlarangnya perbuatan, maka adalah wajar apabila ia tidak dipertanggung jawabkan.

S.      TEORI APA BOLEH BUAT
in kauf nehmen theorie” atau “op de koop toe nemen theorie”. Dalam teori ini keadaan batin sipembuat terhadap perbuatannya adalah sebagai berikut:
1.      Akibat itu sebenarnya tidak dikehendaki, bahkan ia benci atau takut akan kemungkinan timbulnya akibat itu.
2.      Akan tetapi meskipun ia tidak menghendakinya, namun apabila toh keadaan akibat itu timbul, apa boleh buat hal itu diterima juga, ini berarti ia berani memikul risiko.
Dalam perdebatan di Eerste Kamer mengenai W.v.S menteri Modderman mengatakan bahwa “voorwaardelijk opzet” (dolus eventualis) itu ada, apabila kehendak kita langsung ditunjukan pada kejahatan tersebut, tetapi meskipun telah mengetahui bahwa keadaan tertentu masih akan terjadi, namun kita berbuat dengan tiada  tercegah oleh kemungkinan terjadinya hal yang telah kita ketahui itu.
Dengan teori apa boleh buat ini maka sebenarnya tidak perlu lagi membedakan antara kesengajaan dengan sadar kepastian dan kesengajaan dengan sadar kemungkinan.
Menurut prof.Moeljatno, kalau resiko yang diketahui kemungkinan akan adanya itu sungguh-sungguh timbul (disamping hal yang dimaksud), apa boleh buat, dia juga berani pikul resiko. Dalam kesengajaan dengan sadar kemungkinan, si pembuatan menetapkan dala, hatinya bahwa ia mengkhendaki perbuatan yang dilakukan, meski ada akibat yang tidak diharapkan. Akibat itu sebenarnya tidak ia kehendaki, atau bahkan takut akan ada kemungkinan timbulnya akibat itu, namun jika akibat itu muncul, apa boleh buat dia berani menerima resiko, bertanggung jawab atas akibat yang mungkin timbul.
Contoh teori apa boleh buat
Mengenai contoh teori apa boleh ini menurut saya contohnya hampirsama dengan contoh corak kesengajaan sebagai kemungkinan. Yang dimana contohnya seperti yang dibawah ini;
Suatu ketika di kota Hoorn pada tahun 1911 ada seseorang yang berniat membunuh musuhnya dengan mengirimkan kue tart beracun, namun akhirnya yang memakan kue tersebut bukan musuhnya melainkan istri musuhnya, akhirnya istri musuh pengirim kue tersebut meninggal.
Meninggalnya istri dari musuh si pengirim kue, sebenarnya hal tersebut sudah diperkirakan terlebih dahulu oleh terdakwa. Terdakwa dari awal sudah mengetahui bahwa yang meninggal bisajadi adalah istri nya, anaknya, tetangganya dan lain-lain. Mengapa demikian, karena dengan mengirim suatu kue tart ke rumah musuh dari terdakwa, maka tidak ada kepastian bahwa musuh dari terdakwalah yang akan memakannya, namun apa boleh buat, terdakwa terdakwa sudah berniat untuk membunuh musuhnya dan berani menanggung resiko tersebut.




 









T.     KEALPAAN(Culpa atau alpa)
KUHP tidak memberi definisi seperti juga halnya pada kesengajaan. Menurut M.v.T.: kealpaan di satu pihak berlawanan benar-benar dengan kesengajaan dan di pihak lain dengan hal yang kebetulan (toeval atau casus). Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan daripada kesengajaan, akan tetapi bukanna kesengajaan yang ringan. Kesengajaan adalah kesalahan yang berlainan jenis dengan kealpaan, dasarnya adalah sama, yaitu;
1.      Adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana,
2.      Adanya kemampuan bertanggung jawab,
3.      Tidak adanya alasan pemaaf.
Tetapi bentuknya lain. Dalam  kesengajaan sikap batin orang menentang larangan. Dalam kealpaan, kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang. Dan dalam istilah kealpaan sudah mengandung makna kekeliruan.
Syarat untuk adanya kealpaan, menurut para ahli;
·         Van Hamel
Menurut van hamel kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu;
ü  Tidak mengadakan perduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum,
ü  Tidak mengadakan perhati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
·         Hazewinkel – Surigsn
Ilmu pengetahuan hukum dan  jurispendensi mengartikan “schuld” kealpaan
ü  Kekurangan penduga-duga
ü  Kekurangan penghati-hati
Dari kedua pendapat ini dapat ditarik keterangan yaitu;
A.    Tidak mengadakan perduga-duga yang perlu menurut hukum
Mengenai ini ada dua kemungkinan, yaitu;
1)      Atau terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian ternyata tidak benar.
Contohnya , mengendarai sepeda motor dengan cepat melalui jalan yang ramai, karena percaya dia pandai naik sepeda motor, maka tidak akan menabrak; pandangan tersebut ternyata keliru, sebab dia menabrak seseorang. Seharusnya perbuatan itu disingkirinya, sekalipun dia pandai, justru karena ramainya lalu lintas tadi dan kemungkinan akan menabrak. Disini, adanya kemungkinan itu diinsafi, tetapi tidak berlaku baginya, karena kepandaian yang ada padanya, dikatakan bahwa ini meruppakan kealpaan yang disadari (bewuste culpa).
2)      Atau terdakwa sama sekali tidak mempinyai pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatanya. Dalam hal yang pertama kekeliruan terletak pada salah pikir atau pandang, yang seharusnya disingkiri. Dalam hal kedua terletak pada tidak mempunyai pikiran sama sekali bahwa akibat mungkin akan timbul, hal maa adalah sikap yang berbahaya. Contohnya, mengendarai sepeda motor, sedangkan dia belum paham akan tekniknya dan belum dapat rijbewijs. Sewaktu dikejar oleh anjing lalu menjadi bingung, dan karena itu menabrak orang. Disini tidak terlintas sama sekali akan kemungkinan akan menabrak oang, padahal seharusnya kemungkinan itu diketahui, sehingga naik sepeda motor itu harus dengan kawan yang sudah pandai. Dikatakan bahwa dalam hal ini kealpaan yang tidak disadari (onbewuste culpa).
B.     Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum
Mengenai hal ini diterangkan oleh van hamel sebagai berikut;
“ini antara lain ialah tidak mengadakan penelitian, kebijaksanaan, kemahiran atau usaha pencegahan yang nyata dalam keadaan-keadaan yang tertentu ata dalam caranya melakukan perbuatan”. Jadi yang menjadi objek penijauan dan penilaian bukan batin terdakwa tetapi apa yang dilakukan atau tingkah laku terdakwa sendiri.
Syarat yan kedua inilah yang menurut praktik yang penting guna menentukan adanya kealpaan. Inilah yang harus dituduhkan dan harus dibuktikan oleh jaksa.pendirian yang boleh dikatakan objektif ii, yaitu menitik beratkan makna kealpaan pada sifatnya perbuatan terdakwa, antara lain ternyata dalam rumusan kealpaanpasal 18 KUHP Swiss alinea ke-3: jika terjadinya perbuatan dapat dimengertikan oleh karena terdakwa sama sekali tidak memikirkan akan adanya akibat itu atau oleh karena tidak memperhatikannya  disebabkan karena kurang penghati-hati yang bertentangandengan kewajibannya, maka perbuatan itu  dilakukan karena kealpaannya. Kurang penghati-hati adalah menggunakan penghati-hati yang menurut keadaan dan hubungannya persoonlijk menjadi kewajibannya.
U.    POGING
(Percobaan melakukan Tindak Pidana)
Pasal 53 KUHP ayat (1) “percobaan untuk melakukan kejahatan itu dapat dihukum apabila maksud pelakunya itu telah diwujudkan dalam permulaan pelaksanaan, dan pelaksanaan nya itu sendiri telah tidak selesai dikarenakan masalah-masalah yang tidak tergantung pada kemauannya.
Didalam KUHP ternyata tidak semua kejahatan bentuk percobaannya dapat di ancam dengan pidana. Karena ada sejumlah kecil kejahatan yang bentuk kejahatannya tidak diancam dengan pidana, contohnya pada pasal 184 tentang perkelahian, pasal 351-352 tentang penganiayaan.
Menurut Doktrin, Poging adalah suatu kejahatan yang sudah dimulai tapi belum selesai atau belum sempurna.
Secara bebas, pengertian poging ialah tindak pidana yang tidak selesai dilakukan.
Poging terbagi menjadi dua, yaitu;
1.      Poging terhadap kejahatan, yang dimana dalam hal ini terbagi menjadi dua, yaitu;
§  Poging yang dihukum, artinya percobaan melakuan suatu tindak pidana yang tidak selesai karena hal lain, (percobaan ini lah yang dapat di hukum)
§  Poging yang tidak dihukum, artinya percobaan melakukan tindak pidana yang tidak selesai karena kemauan diri sendiri, (percobaan ini lah yang tidak dapat dihukum).
2.      Poging terhadap pelanggaran, dalam hal ini percobaan tindak pidana tidak dapat di hukum.
Setiap orang yang telah melakukan poging atau tindak pidana, dapat dan harus dihukum, meski baru percobaan tetapi tetap harus dihuku, hal ini di jelaskan dan dipertegas dalam dua teori yang menjadi dasar mengapa kejahatan yang dalam taraf permulaan itu dapat dihukum, dua teori itu ialah:
1)      Teori subjektif, yang dimana teori ini mendasar pada pikiran bahwa orang nya atau perlakunya yang secara potensial sudah berbahaya.
2)      Teori objektif, yang dimana teori ini mendasae pada pikiran bahwaperbuatannya secara potensial berbahaya.
Juga perlu diketahui bahwasanya Syarat poging ialah, seseorang melakukan tindak pidana tetapi tidak selesai, dan tidak selesainya itu bukan karena kehendak sendiri melainkan karena adanya gangguan dari luar.
Pokok pangkal terhadap suatu delik yaitu, suatu perbuatan dilarang dan di ancam dengan hukuman oleh undang-undang, sebab perbuatan itu memperkosa atau melanggar kepentingan hukum atau karena perbuatan itu membahayakan kepentingan huku, sedang pada poging belum memperkosa atau melanggar kepentingan hukum tetapi poging itu membahayakan kepentingan hukum. Maka dari itu hal ini dijadikan sebagai dasar hukum yang menjadikan hukuman sebagai ancaman bagi siapa saja yang melakjukan poging atau percobaan tindak pidana.
Adapun unsur-unsur poging yang sebagaimana tercantum dalam oasal 53 KUHP, antara lain ialah;
1)      Ada niat; niat disini berarti adanya kehendak untuk melakukan kejahatan atau lebih tepat ialah kesengajaan dengan sadar kemungkinan.
2)      Ada permulaan pelaksanaan; permulaan pelaksanaan disini maksudnya ialah pelaku sudah melakukan langkah awal untuk melakukan tindak pidana nya namun  ia belum mengambil hal yang dapat menguntungkan dirinya dari apa yang akan ia ambil yang sesungguhnya bukan hak nya.
3)      Tidak selesainya pelaksanaan, bukan semata-mata kehendak sendiri.

V.    OVERMACHT (Daya Paksa)
Overmacht berasal dari bahasa Belanda yang artinya kekuatan atau daya lebih besar.
Pasal 48 berbunyi: “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana. Engelbrecht menyalin pasal tersebut seperti berikut; “Tidak boleh dihukum barang siapa melakukan perbuatan karena terdorong oleh lawan:”.
Prof.Moeljatno, SH., MH membagi daya paksa kedalam dua bagian, yaitu;
1.      Daya paksa fisik, artinya daya paksa fisik ini terjadi karena kekuatan lawan yang tidak dapat dilawan. (Dan menurut Prof.Moeljatno, SH., MH daya paksa fisik ini tidak termasuk pada pasal 48).
2.      Daya paksa fsikis, artinya daya paksa fsikis ini terjadi karena kekuatan lawan yang bisa di lawan tetapi sesungguhnya tidak bisa dilawan.
Secara umum Overmacht terbagi menjadi dua, yaitu;
1.      Vis Absoluta (paksaan yang absolut), artinya ialah daya paksa fisik.
2.      Vis Compulsiva (daya paksa yang relatif), artinya ialah daya paksa fsikis.
Biasanya dalam compulsiva terbagi menjadi dua bagian daya paksa, yaitu;
·         Compulsiva dalam arti sempit, artinya compulsiva ialah sebuah paksaan dari orang luar.
·         Compulsiva dalam keadaan darurat (Noodtoesland), ini timbul karena keadaan atau situasi tertentu, jadi daya paksa yang muncul bukanlah karena paksaan dsri luar kemainkan karena adanya keadaan tertentu.
Adapun type keadaan darurat, dapat dilihat dari tiga type yaitu;
a)      Benturan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum;
b)      Benturan antara dua kepentingan hukum;
c)      Benturan antara dua kewajiban hukum.
Dalam hal ini kepentingan hukum lebih diutamakan karena derajat nya lebih tinggi dibandingkan dengan kewajiban hukum.
W.  NOODWEER (Pembelaan Darurat)
Pasal 49 ayat 1 berbunyi: “barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan karena serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum terhadap diri sendiri maupun orang lain terhadap kesusilaan (eerbaarheid) aytau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”. Dan diperjelas dengan salinan dalam buku engerbrecht 1960, yang dimana disitu bunyi pasalnya ialah sebagai berikut: “Tidak boleh dihukum barang siapa melakukan perbuatan yamng terpaksa dikerjakan untuk membela dirinya atau orang lain, membela peri kesopanaan atau kesopanan orang lain, atau membela harta benda kepunyaan sendiri atau kepunyaan orang lain, daripada serangan yang melawan hukum dan yang berlaku sekejap itu atau yang mengencam dengan seketika”.
Mengenai pasal 49 ayat 1, perbuatan yang dimaksud ialah harus berupa pembelaan. Dengan syarat, adanya serangan seketika yang bersifat melawan hukum, dan pembelaan tersebut imbang.
Contoh, dalam serangan yang tidak melawan hukum: penyidik melaksanakan tudasnya dengan menangkap terdakwa atau saksi.
X.    PELAKU TINDAK PIDANA (DADER)
v  Menurut Doktrin
pelaku tindak pidana ialah Barang siapa yang perbuatannya memenuhi unsur-unsur tindak pidana seperti apa yang dicantumkan dalam Undang-undang.
Pelaku tindak pidana menurut doktrin terbagi menjadi dua, yaitu;
a)      Pelaku tindak pidana formil, artinya ialah barang siapa yang telah melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.
b)      Pelaku tindak pidana materil, artinya ialah barang siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana.
v  Menurut KUHP
Terdapat dalam pasal 55 ayat 1, maka pelaku tindak pidana dapat dibagi dalam empat golongan, yaitu;
a)      Mereka yang melakukan sendiri tindak pidana (pleger)
b)      Mereka yang menyuruh orang lain melakukan tindak pidana (doen pleger)
c)      Mereka yang turut serta bersama-sama melakukan tindak pidana (mede plager)
d)     Mereka yang dengan sengaja dan upaya seperti yang disebutkan oleh undang-undang menggerakan atau membujuk orang lain melakukan tindak pidana (uit loker)
Upaya-upaya yang tercantum dalam undang-undang antara lain;
§  Memberi atau menjanjikan sesuatu,
§  Menyalah gunakan kekuasaan atau martabat,
§  Dengan kekerasan,
§  Dengan ancaman atau penyesatan,
§  Memberi kesempatan atau sarana.
Menyuruh melakukan tindak pidana Dan sengaja memyuruh atau menggerakan orang lain melakukan tindak pidana
Persamaan
perbedaan
·         Sama-sama untuk melakukan tindak pidana, tetapi tidak mau melakukannya sendiri, melainkan menyuruh orang lain
·         untuk melakukannya.
·         Pada menyuruh melakukan, orang yang disuruh adalah orang yang tidak mampu bertanggung jawab,
Sedangkan,
Pada sengaja menyuruh atau menggerakan, yang di suruh adalah orang yang mampu bertanggung jawab.
·         Pada menyuruh melakukan, yang dihukum hanyalah orang yang menyuruhnya saja,
Sedangkan,
Pada sengaja menyuruh atau menggerakan, yang dihukum ialah keduanya, yakni yang menggerakan dan yang digerakan pula.

Y.    PENYERTAAN (DEELNEMING VAN STRAFBAAR FEIL)
Ada dua pandangan mengenai penyertaan, yaitu;
1.      Penyertaan adalah persoalan pertanggung jawaban pidana dan bukan merupakan suatu tindak pidana karena bentuk nya tidak sempurna;
2.      Penyertaan adalah perluasan terhadap perbuatan yang dapat dipidana.
Penyertaan ini terjadi apabila dalam suatu tindak pidana terdapat lebih dari satu orang pelaku. Dan diperlukannya ajaran penyertaan ini ialah untuk melakukan pertanggung jawaban masing-masing peserta terhadap tindak pidana, karena hubungan antara pelaku tindak pidana dengan tindak pidana itu tidak selalu sama. Hubungan yang tidak selalu sama maksudnya ialah pertanggunga jawabannya yang berbeda meski bersangkutan.


Z.     SEMENLOOP VAN STRAFBAAF FEIL


 








Semenloop van strafbaar feil atau concursus ini dapat terjadi apabila seseorang melakukan tindak pidana lebih dari satu kali.
Adapun pembaguan concursus, yaitu;
a)      Concursus idealis, artinya orang tersebut melekakukan satu kali tindak pidana namun terkena lebih dari satu pasal.
b)      Concursus realis, artinya orang tersebut melakukan tindak pindana lebih dari satu kali, disebabkan karena saat melakukan tindak pidana pertama nya tidak tertangkap tetapi sudah diketahui identitasnya sehingga ia melakukan tidak pidana lagi baru dapat tertangkap. Dan ini dapat berhubungan dengan perbuatan berlanjut, yang dimana perbuatan berlanjut ialah suatu perbuatan yang antara perbuatan pertama dengan yang berikutnya saling berhubungan erat.
Ajaran semenloop atau concursus ini penting karena ajaran ini berfungsi untuk menentukan berapa hukuman bagi seseorang yang melakukan tindak pidana lebih dari satu kali. Dan hukuman nya itu ialah maksimal hukuman terberat ditambah 1/3 dari hukumannya.

AA. RECIDIVE (PENGULANGAN TINDAK PIDANA)
Seseorang dapat dikatakan telah melakukan recidive atau pengulangan tindak pidana, ketika ia (seseorang) yang belum lewat lima tahun dari ia selesai menjalani hukuman nya ia melakukan kembali tindak pidana. Dan bagi orang tersebut diberikan hukuman pemberatan 1/3 dari hukumannya, karena dianggap bahwa ia tidak pernah kapok.
Recidive terbagi menjadi dua, yaitu;
1.      Recidive umum, yang dimana setiap orang yang melakukan tindak pidana apapun sebelum lewat lima tahun dari ia selesai menjalani hukumannya, itu dapat dikatakan recidive.
2.      Recidive khusus, yang dimana seseorang dapat dikatakan telah melakukan recidive apabila tindak pidana yang baru dilakukan sama dengan tindak pidana sebelumnya.
Dan mengenai tindak pidana yang sama yang dimaksudkan oleh recidive khusus, dapat dikelompok kan kedalam tiga kelompok, yang dimana pengelompokan ini sesuai dengan apa yang tercantum dalam KUHP, yaitu;
a.       Kelompok tindak pidana mencari uang tidak halal,
b.      Kelompok tindak pidana tentang penganiayaan,
c.       Kelompok tindak pidana yang menyangkut tentang fitnah.
3.      Recidive menurut KUHP,
Pengulangan tindak pidana dalam KUHP tidak diatur secara umum dalam aturan umum buku I, tetapi diatur secara khusus untuk sekelompok tindak pidana tertentu baik barupa kejahatan dalam buku II maupun yang berupa pelanggaran dalam buku III.





RECIDIVE DAN CONCURSUS
Persamaan
Perbedaan
·         Sama-sama melakukan tindak pidana lebih dari satu kali.
·         Pada concursus, beberapa tindak pidana belum ada putusan dari hakim, jadi putusannya sekaligus.
Sedangkan,
Pada recidive diantara tindak pidana sudah ada putusan dari pengadilan namun pelaku melakukan tindak pidana lagi.












DAFTAR PUSTAKA
Rangkuman Materi Kuliah Hukum Pidana Semester II Fakultah Hukum Untirta  (Dosen: Bapak Haji 
Syar'i)
Rangkuman Materi Hasil Pembelajaran di Tirtayasa Moot Court Community (UKM-Fakultas Hukum Untirta
Moeljatno, (2008).Asas-asas hukum pidana, Jakarta: Rineka Cipta.
Sudarto, (2013) hukum pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum UNDIP.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

menelisik kabar "INDONESIA DI SEBUT NEGARA MAJU" dalam perdagangan dunia pada tahun 2020

  Kosekuensi ‘Status Negara Maju’ Dalam Perdagangan Dunia Sudah Pantaskah Indonesia disebut sebagai negara maju? Oleh: Restu Gusti Monit...