HUKUM
PIDANA
oleh: Restu Gusti Monitasari
oleh: Restu Gusti Monitasari
Mendengar istilah Hukum
Pidana terkadang membuat kita ketakutan dan membayangkan hal-hal yang
berhubungan dengan pembalas dendaman bahkan banyak yang beragumen bahwa hukum
pidana itu ‘tumpul keatas dan tajam kebawah’. Namun, apakah benar bahwa hukum
pidana itu selalu mengarah ke arah tersebut? Sepertinya perlu ada pembahasan
mengenai hal ini. Namun Sebelum menjawab pertanyaan tersebut dan sebelum membahas lebih dalam apa itu
hukum pidana alangkah baik nya kita membahas terlebih dahulu apa arti dari
hukum dan juga pidana itu sendiri, yang dimaksud dengan hukum adalah salah satu
norma yang ada dalam masyarakat. Pelanggaran norma hukum memiliki sanksi yang
lebih tegas. Pengertian hukum sangat beragam, sehingga kita harus mengetahui
apa saja pengertian hukum dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Maka dari
itu diperlukanlah pengertian hukum dari beberapa para ahli hukum.
A.
Pengertian
Hukum menurut para Ahli Hukum
·
Menurut Aritoteles
Aristoteles mengatakan bahwa hukum
hanyalah sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat tetapi juga hakim
bagi masyarakat. Dimana undang-undanglah yang mengawasi hakim dalam
melaksanakan tugasnya untuk menghukum orang-orang yang bersalah atau para
pelanggar hukum.
·
Menurut Plato
Hukum adalah seperangkat peraturan yang
tersusun dengan baik dan teratur dan bersifat mengikat hakim dan masyarakat.
·
Menurut Immanuel kant
Hukum adalah segala keseluruhan syarat
dimana seseorang memiliki kehendak bebas dari orang yang satu dapat
menyesuaikandiri dengan kehendak bebas dari orang lain dan menuruti peraturan
hukum tentang kemerdekaan.
·
Menurut S.M Amin
Hukum adalah sekumpulan
peraturan-peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi. Dan bertujuan untuk
mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia sehingga keamanan dan ketertiban
terpelihara.
·
Menurut Drs. E.
Utrecht, S.H
Hukum adalah suatu himpunan
peraturan yang didalamnya berisi tentang
perintah dan larangan, yang mengatur tata tertib kehidupan dalam bermasyarakat dan
harus ditaati oleh setiap individu dalam masyarakat karena pelanggaran terhadap
pedoman hidup itu bisa menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah suatu negara
atau lembaga.
·
Menurut Soerso
Hukum adalah sebuah himpunan peraturan
yang dibuat oleh pihak yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata tertib
kehidupan bermasyarakat yang memiliki ciri perintah dan larangan yang sifatnya
memaksa dengan menjatuhkan sanksi-sanksi hukuman bagi pelanggarnya.
Itulah
pengertian hukum menurut beberapa ahli hukum, dan pengertian hukum menurut saya
sendiri ialah, Hukum adalah suatu aturan-aturan atau batasan-batasan yang hidup
dan berkembang dalam suatu masyarakat yang memiliki tujuan untuk mencapai
keadilan, kepastian dan segala hal yang dapat menciptakan kesejahteraan, yang
dimana hukum ini bersifat mencegah, mengikat, dan memaksa, juga memiliki sanksi
bagi siapapun yang melanggarnya.
B.
Pengertian
Pidana
pengertian pidana secara umum ialah suatu nestapa atau
penderitaan yang diberikan oleh pihak berwenang kepada seseorang yang telah
melakukan tindak pidana.
Pidana berasal dari kata Straf (Belanda), yang pada dasarnya
dapat diartikan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan atau
dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalahmelakukan suatu tindak
pidana.
C.
Pengertian
hukum pidana menurut para ahli hukum
·
Menurut R. Soesilo
Hukum pidana adalah perasaan tidak enak
atau sengsara yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telang
melanggar Undag-undang hukum pidana.
·
Menurut F. Wirjono
prodjodikoro
Hukum pidana adalah peraturan hukum
mengenai pidana. Kata “pidana’ berati hal yang “dipidanakan” yaitu oleh intansi
yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak
dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.
·
Menurut van Hamel
Hukum pidana adalah keseluruhan dasar
dan aturan yang dianut oleh negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum,
yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum (onrecht) dan
mengenakan suatu nestapa (penderitaan kepada yang melanggar larangan tersebut).
·
Menurut C.S.T Kansil
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur
tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana
diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.
Dari penjelasan diatas
mengenai pengertian hukum, pengertian pidana, dan pengertian hukum pidana
menurut para ahli, jadi dapat di tarik kesimpulan secara umum bahwa Hukum
Pidana ialah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuat apa
yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa
yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.
Dan tindak pidana itu sendiri
ialah suatu perbuatan yang melanggar hukum pidana atau dengan kata lain
perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengn pidana.
Tindak pidana atau
delict dan sering disebut strafbaar feit,
Menurut prof. Simons, unsur-unsur
strafbaar feit berupa;
1. Perbuatan
manusia,
2. Diancam
dengan pidana,
3. Melawan
hukum,
4. Dilakukan
dengan kesalahan,
5. Oleh
orang yang mampu bertaggung jawab.
Prof. Simons juga menyebutkan adanya
unsur objektif dan unsur subjektif dari tindak pidana atau strafbaar feit.
·
Yang disebut unsur
objektif
a) Perbuatan
orang,
b) Akibat
yang kelihatan dari perbuatan itu,
c) Mungkin
ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam pasal 281 KUHP
sifat “openbaar” atau “di muka umum”
·
Yang disebut unsur
subjektif
a) Orang
yang mampu bertanggung jawab,
b) Adanya
kesalahan (dolus atau culpa).
Menurut Van Hamel,
usur-unsur strafbaar feit adalah:
a) Perbuatan
manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,
b) Melawan
hukum,
c) Dilakukan
dengan kesalahan, dan
d) Patut
dipidana.
![]() |
Keterangan:
Ø Hukum
pidana dalam arti objektif ialah sejumlah peraturan larangan-larangan atau
keharusan-keharusan dimana terhadap pelanggarnya diancam dengan hukuman.
Ø Hukum
pidana dalam arti subjektif ialah sejumlah peraturan yang mengatur hak negara,
antara lain;
1. Hak
negara untuk mengancamkan perbuatan dengan
hukuman,
2. Hak
negara untuk menjatuhkan hukuman
3. Hak
negara untuk melaksanakan hukuman.
Ø Hukum
pidana materil berisi tentang perbuatan apa yang dilarang, siapa yang dapat
dihukum, dan berapa hukumannya.
Ø Hukum
pidana formil berisi berisi peraturan-peraturan tentang bagaimana cara negara
membawa si pelaku ke persidangan untuk diadili dan diutus.
perbuatan-perbuatan
pidana ini menurut wujud dan sifatnya adalah ketentuan yang ditentukan oleh
hukum melawan hukum. Dan salah satu unsur tindak pidana adalah melawan hukum.
D.
Melawan
Hukum
![]() |
Keterangan:
Ø Melawan
hukum adalah suatu perbuatan yang masuk atau mencocoki dalam rumusan delik
seagaimana dirumuskan dalam undang-undang.
Ø Melawan
hukum formil adalah suatu perbuatan melawan hukum yang bertentangan dengan apa
yang dicantumkan dalam Undang-undang.
Ø Melawan
hukum materil adalah suatu perbuatan melawan hukum yang bertentangan dengan
norma atau kepatutan dalam masyarakat.
Melawan hukum materil dibedakan menjadi;
1. Melawan
hukum dalam fungsinya yang negatif (-)
Pengertian ajaran melawan hukum materil
dalam fungsinya yang negatif ialah mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang
diluar undang-undang dapat menghapuskan sifat melawan hukum yang diperbuat yang
merumuskan undang-undang. Jadi hal tersebut alasan sifat melawan hukum
2. Melawan
hukum dalam fungsinya yang positif (+)
Pengertian ajaran melawan hukum materil
dalam fungsinya yang positif ialah menganggap suatu perbuatan tetap sebagai
suatu delik meskipun tidak nyata diancam dalam undang-undang, apabila
bertentangan dengan hukum atau aturan-aturan lain yang ada di luar
undang-undang.
Mengenai
melawan hukum ini Apabila ada suatu
perbuatan dan perbuatan itu memenuhi
rumusan delik, maka itu merupakan suatu tindakan melawan hukum. Akan tetapi
sifat ini dihapus apabila diterobos dengan adanya dasar pembenar dan dasar
pemaaf (dasar-dasar penghapusan pidana).
E.
Dasar-dasar
penghapusan pidana
|


|
|
Keterangan;
Ø Dasar
penghapusan pidana adalah suatu dasar yang dapat menghapuskan tindak pidana.
Yang apabila perbuatan tersebut masuk kedalam salah satu unsur atau bagian dari
dua dasar yang ada didasar-dasar penghapusan pdana ini, yaitu;
Ø Dasar
pembenar,
Dasar pembenar ialah suatu dasar yang
membenarkan perbuatan itu sehingga ia tidak hukum. Jadi sifat atau perbuatan
melawan hukumnyalah yang dihapuskan. Contohnya tertera dalam pasal 48, 49, 50,
51 KUHP.
Ø Dasar
pemaaf,
Dasar pemaaf ialah suatu dasar yang
memaafkan kesalan itu sehingga ia tidak dihukum. Jadi sifat atau kesalahannya
yang dihapuskan. Contohnya tertera dalam pasal 44 KUHP.
F.
ASAS
LEGALITAS (Nullum delictum nula poena sine praevie lege poenali)
Asas legalitas atau
asas perlindungan ini menyatakan bahwa tiap-tiap tindak pidana harus dinyatakan
dan dicantumkan secara jelas dalam undang-undang, di larang dan di atur.
Asas legalitas atau
asas perlindungan ini tercantum dalam KUHP Pasal 1 ayat 1, yang berbunyi;
“Tidak ada suatu perbuatan
yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan undang-undang yang sudah ada terlebuh
dahulu dari perbuatan itu”
Dari pernyataan dan
bunyi asas legalitas tersebut maka asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga
pengertian yaitu;
1) Hukum
pidana harus tertulis
2)
Hukum pidana tidak
berlaku surut, artinya aturan dalam hukum pidana harus berlaku kedepan dan
tidak diberlakukkan kebelakang.
3) Hukum
pidana tidak dapat ditafsirkan secara analogi, jadi undang-undang tidak boleh
di kias-kiaskan.
Dengan adanya asas
legalitas ini maka Hukum pidana itu melindungi kepentingan hukum manusia, yang
dimana kepentingan itu berupa Nyawa, badan, harta, kehormatan, dan kemerdekaan.
Namun disamping melindungi, hukum pidana juga memperkosa hak si pelaku seperti
memasukan nya ke dalam penjara sebagai akibat dari perbuatannya, maka dari itu
hukum pidana sering disebut ‘pedang bermata dua’.
G.
Fungsi
hukum pidana
·
Fungsi umum
Artinya
fungsi hukum pidana sama dengan bidang lainnya yaitu mengatur hidup
kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata tertib dalam masyarakat.
·
Fungsi khusus
Artinya
ialah melindungi kepentingan hukum setiap manusia terhadap perbuatan yang
hendak memperkosanya. Dengan sanksi berupa pidana yang bersifat lebih tajam
dibandingkan dengan sanksi yang terdapat dalam cabang hukum lainnya.
H. Jenis-jenis tindak
pidana
1) Delik kejahatan (recht
delict) atau delik hukum
Ialah
perbuatan yang bertentang dengan rasa keadilan terlepas apakah perbuatan itu
diancam pidana dalam suatu undag-undang atau tidak, jadi yang benar-benar
dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan.
Delik pelanggaran (west delict) atau delik
undang-undang
Ialah
perbuatan yang melanggar apa yang ditentukan undang-undang.
2) Delik formil
Adalah
delik yang rumusannya dititik beratkan kepada perbuatan yang dilarang dan
diancam dalam pindana. Delik tersebut telah selesai dengan di laksanakannya
perbuatan seperti yang tercantumkan dalam rumusan delik. Contohnya pasal 362
tentang Pencurian, yang dimana melakukan pengambilan hak orang lain itulah yang
dilarang.
Delik materil
Adalah
delik yang rumusannya dititik beratkan kepada akibat yang dilarang dan diancam
dalam pidana. Contohnya pasal 338 tentang pembunuhan, yang dimana matinya
seseorang itulah yang dilarang.
3) Delik dolus (delik
kesengajaan)
Ialah
suatu perbuatan yang dilakukan dengan kesengajaan, artinya delik tersebut
dikehendaki dan dimengerti akibatnya. Contohnya ialah pasal 162, 197, 338 KUHP.
Delik culpa (delik kealpaan)
Ialah
suatu perbuatan yang dilakukan dengan ketidak sengajaan karena kurangnya perduga-dugaan
atau kurang hati-hati dalam melakukan sesuatu. Contohnya ialah pasal 359, 36,
195 KUHP.
4) Delik laporan
Ialah
suatu delik yang dapat dilaksanakan setelah adanya laporan, siapapun dapan
melapor dan pelapor cukup melapor saja tidak perlu mengajukan tuntutan sanksi
kepada penegak hukum.
Delik aduan
Ialah
Suatu delik yang baru bisa dilaksanakan setelah adanya aduan dari pihak
sikorban diikuti dengan laporan yang tertulis untuk melakukannya penuntutan.
Artinya yang dapat mengadu hanya pihak yang dirugikan saja. Delik aduan terbagi
menjadi dua, yaitu;
§ Delik
aduan absolute
Contoh kasusnya mengenai perjinahan
(pasal 284 KUHP), jika ada pasangan yang terpegok melakukan perjinahan, lalu
mau dituntut, maka kedua pejinah tersebuh harus mendapat tuntutan yang sama,
tidak boleh hanya salahsatu diantara mereka saja yang mendapat tuntutan nya.
Artinya delik aduan obsolute ini membicarakan mengenai penentuan yang
berdasarkan pengaduan.
§ Delik
aduan relatif atau delik aduan yang adanya sebuah keistimewaan
Contohnya dalam suatu keluarga, seorang
anak mencuri uang ayahnya dan ketika ia mencuri uang ayahnya ia sedang bersama
dengan temannya, tak lama kemudian anak tersebut terpergok mencuri oleh
ayahnya, tetapi yang diadukan adalah teman dari anak tersebut yang pada
kenyataannya bukan ia yang bersalah namun anaknya, hanya karena hubungan
istimewa antara anak dan ayah maka orang tak bersalahpun yang terkena aduan
pencuriannya.
5) Delik sederhana
Adalah
delik yang merupakan delik pokok yang teridiri atas beberapa unsur tertentu. Contohnya
adalah delik pembunuhan yang dilakukan karena sengaja ataupun spontan terkena
pasal 338 KUHP.
Delik yang ada pemberatannya atau delik yang
dikualifikasikan
Adalah
Delik yang unsurnya sama dengan delik pokok yang ditambah dengan unsur lain
sehingga delik tersebut menjadi berat. Contohnya ialah delik pembunuhn yang
direncanakan sebelumnya terkena pasal 340 KUHP.
Delik yang diistimewakan atau delik peringan
Adalah
delik yang unsurnya sama dengan delik pokok ditambah dengan unsur lain sehingga
menjadi ringan. Contohnya adalah delik pembunuhan, yang dilakukan oleh seorang
wanita yang menggugurkan kandungannya (menghilangkan nyawa calok anaknya)
dikarenakan untuk menutupi aib nya karena anak dalam kandungannya adalah hasil
hubungan gelap maka wanita tersebut terkena pasal 338 KUHP.
I.
Tidak
dipidana tanpa kesalahan
Tidak dipidana tanpa
kesalahan maksudnya ialah orang tersebut (pelaku) telah melakukan tindak
pidana, namun dikatakan tidak bersalah, karena oreng tersebut menyangkutpaut
pada pasal 44,48,49,50 dan 51 KUHP. Yang dimana pasal 44 KUHP ini mengenai
orang yang tak mampu bertanggung jawab, dikarenakan kurang sempurnanya
akal/jiwanya atau terganggu karena sakit, maka ia tidak dipidana karena
kekuatan dasar pemaaf yang menghapuskan kesalannya. Sedangkan pasal 48,49,50,
dan 51 KUHP ini mengenai pengaruh daya paksa, pembelaan kepada diri sendiri
atau pun oranglain, melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan
undang-undang (seperti algojo), melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah
jabatan yang diberikan oleh penguasa yang beerwenang, maka yang menyakutpaut
pada hal-hal tersebbut tidak akan dipidana karena terkena dassr pembenar yang
dimana tidak dipidana karena perbuatan nyalah yang dihapuskan.
J.
Ilmu
hukum pidana dan kriminologi
Ilmu hukum pidana yang
sesungguhnya dapat dinamakan “ilmu tentang hukumnya kejahatan”. Dan kriminologi
sendiri adalah “ilmu tentang Kejahatan”. Kedua ilmu ini di Jerman dicakup
dengan nama “Die gesammte strafrecht wissenschaft” dan dalam negara angelsaks
disebut ‘Criminal Science”. biasanya di
negara anglosakson kriminologi ini terbagi dalam tiga bagian, yaitu;
1.
Criminal
biology
Yaitu
yang meyelidiki dalam diri orang itu sendiri akan sebab-sebab dari
perbuatannya, baik dalam jasmani maupun rohani.
2. Criminal sosiologi
Yaitu
yang mencoba mencari sebab-sebab dalam lingkungan masyarakat dimana penjahat
itu berada.
3. Criminal policy
Yaitu yang
tindakan-tindakkan apa yang sekiranya harus dijalankan supaya orang lain tidak
berbuat demikian.
Pada
umumnya sekarang orang menggap bahwa dengan adanya kriminologi disamping ilmu
hukum pidana, pengetahuan tentang kejahatan pun menjadi semakin lebih luas,
karena dengan demikian orang lalu mendapat pengertian baik tentang penggunaan
hukumnya terhadap kejahatan maupun tentang pengertiannya mengenai timbulnya
kejahatan dan cara-cara pemberantasannya, sehingga memudah kan penentuan adanya
kejahatan dan bagaimana menghadapinya itu sendiri. Bahkan ada beberapa pendapat
yang mengatakan bahwa ‘jika perkembangan kriminologi ini sudah sempurna, maka tidak
diperbolehkan lagi adanya pidana, sebab kata mereka itu, meskipun telah
berabad-abad orang menjatuhi pidana kepada orang yang berbuat kejahatan, namun
kejahatan masih tetap dilakukan orang. Ini menandakan bahwa pidana itu tidak
mampu untuk mencegah adanya kejahatan, jadi bukan lah obat bagi penjahat’.
Menurut saya ini adalah pemikiran yang mungkin sudah frustasi melihat keadaan
problematika kejahatan yang semakin marak terjadi meski pemberian pidana sudah dirasa
cukup bahkan sangat berat, padahal jika kita kaji lebih dalam mengenai ilmu
hukum pidana dan ilmu kriminologi ini, maka kedua ilmu ini merupakan pasangan
dwitunggal yang artinya ialah saling melengkapi antara satu dan lainnya.
mengapa saya mengatakan bahwa kedua ilmu ini merupakan pasangan dwitunggal?Mengenai
hal ini maka kita dapat melihat
terlebih
dahulu perbedaan dari keduanya, yaitu ertera dalam tabel dibawah ini;
Ilmu hukum pidana
|
Ilmu
Kriminologi
|
·
Objek nya ialah aturan-aturan hukum yang mengenai kejahatan atau yang bertalian
dengan pidana.
|
·
Objek nya ialah orang
yang melakukan kejahatan.
|
·
Tujuannya ialah agar dapat mengerti dan digunakan dengan sebaik-baiknya
serta seadil-adilnya,.
|
·
Tujuannya ialah agar
menjadi mengerti apa sebab-sebab/ alasan-alasan nya berbuat jahat seperti itu.
|
Dari
perbedaan diatas maka jika kita tela'ah lebih dalam, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa adanya ilmu hukum pidana itu agar setiap warga negara yang
hidup dan bermasyarakan di dalam suatu negara terkhusus negara hukum untuk
dapat mengerti bahwa setiap perbuatan yang dapat dikatakan suatu tindak pidana
itu sudah terturi atau tertera sangat jelas, maka setiap oranga atu warna
negara harus mematuhi dan menjalankan aturan-aturan hukum yang ada, artinya
agar setiap orang yang akan melakukan suatu perbuatan atau tindakan akan lebih
berhati-hati agar tidak adak pihak yang dirugikan karena sudah ada aturan yang
jelas, dan bahkan jika yang sudah melakukan kejahatan dan diberikan suatu
hukuman atau pidana orang tersebut diharapkan tidak melakukan kejahatan nya lagi
(kapok) karena telah adanya aturan yang memberikan sanksi yang jelas untuk
setiap tindak kejahantannya dan adanya ilmu hukum pidana ini bukan ajang untuk
melakukan balas dendam, dan mengenai hal ini maka adanya ilmu kriminologi ini
dapat dikatakan ilmu yang dapat menjadi pegangan ilmu hukum pidana dalam
melaksanakan tugas nya artinya ilmu kriminologi ini dapat dilaksanakan atau
bertindak didepan sebelum ilmu hukum pidana bertindak agar dapat menemukan
keadilan seadil-adilnya, maka dari itu kdua ilmu ini dapat dikatakan ilmu yang
berhubungan dan saling melengkapi, dan solusi terbaiknya menurut saya dari
salah satu ilmu ini tidak ada yang harus dihapus ataupun dibuang melainkan
keduanya harus di tegakkan agar tujuan dari suatu negara terkhusus negara hukum
itu sendiri tercapai yakni keadilan, kepastian dan kesejahteraan.
K.
Batas-batas
berlakunya perundang-undangan hukum pidana menurut tempat terjadinya perbuatan
Dalam pasal 1 ayat 1
KUHP, diadakan aturan-aturan mengenai batas-batas berlakunya perundang-undangan hukum pidana menurut waktu
atau saat terjadinya perbuatan. Dalam pasal 2 sampai 9 KUHP sebaliknya diadakan
aturan-aturan mengenai batas-batas berlakunya perundang-undangan hukum pidana
mengenai tempat terjadinya perbuatan.
Ditinjau
dari sudut negara, ada dua kemungkinan pendirian, yaitu;
1. Asas
teritotial
Perundang-undangan
hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di wilayah
negara, baik dilakukan oleh warga negaranya sendiri maupun oleh orang asing.
Dalam asas ini titik berat diletakkan pada terjadinya perbuatan didalam wilayah
negara. Siapapun yang melakukannya tidaknjadi persoalan.
Asas
ini terdapat dalam pasal 2 KUHP, yang berbunyi;
“aturan
pidana dalam undang-undang indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan
sesuatu tindak pidana di wilayah indonesia”, dan diperluas dengan ketentuan
yang terdapat didalam pasal 3 KUHP, yang menyatakan bahwa;
“peraturan
pidana indonesia dapat diterapkan kepada setiap orang yang berada diluar negeri
yang melakukan suatu tindak pidana dalam perahu (vaartuing) indonesia”
(vaartuing harfiah berarti berlyar). Meskipun dalam pasal ini yang tertera
adalah perahu namun pasal ini berlaku untuk kapal udara/pesawat.
2.
Asas personalitas
(prinsip nasional yang aktif)
Perundang-undangan
hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga
negara, dimana saja, juga diluar wilayah negara. Dalam asas ini titik berat
diletakkan pada orang yang melakukan pidana, dimana pun tempat terjadinya
tindak pidana itu dianggap tidak penting. Dalam katalain asas ini mengatakan
bahwa peraturan hukum pidana indonesia berlaku bagi setiap warga negara
indonesia, baik dalam negeri maupun diluar negeri. Mengenai orang indonesia
yang melakukan tindak pidana didalam negeri tidak ada persoalan. Kalau ia melakukan
tindak pidana diluar negeri maka ada ketentuan yang terebut dalam pasal 5,
disini dilihat dua golomgan tindak pidana;
a. Kejahatan
terhadap keamanan negara, terhadap martabat presiden, penghasutan, penyebaran
surat-surat yang mengandung penghasutan, membuat tidak cakap untuk dinas
militer, bigami dan perampokan,
b. Tindak
pidana yang menurut undang-undang indonesia dianggap sebagai kejahatan yang di
negeri tempat tindak pidana dilakukan itu diancam dengan pidana. Golongan ini
sifatnya lebih umum,
Contohnya; seorang warga negara
indonesia melakukan kejahatan diluar negeri, kemudian lari ke indonesia. Ia
tidak mungkin diserahkan ke negeri tersebut, karena ia adalah warganegara
indonesia, namun ia dapat diadili dengan undang-undang pidana indonesia
diindonesia. Dan negara anglosaxon tidak mempunyai sistim demikian.
3.
Asas perlindungan (asas
nasional pasif)
Asas
perlindungan ini melindungi kepentingan yang lebih besar daripada kepentingan
oknum (individu) ialah kepentingan nasional. Asas ini memuat prinsip, bahwa peraturan
hukum pidana indonesia berlaku terhadap tindak pidana yang menyerang
kepentingan hukum negara indonesia, baik itu dilakukan oleh warga negara
indonesia atau bukan, yang dilakukan diluar indonesia. Kejahatan-kejahatan
tersebut dapat dibagi dalam 5 kategori (golongan);
a. Kejahatan-kejahatan
terhadap keamanan negara dan martabat presiden (pasal 5 sub 1),
b. Kejahatan-kejahatan
tentang material untuk merk yang dikeluarkan oleh pemerintah indonesia (pasal 4
sub 2),
c. Pemalsuan
surat-surat hutang dan sertifikat-sertifikat hutang atas beban indonesia,
daerah atau sebagian ari daerah; talon-talon deviden atau surat bunga yang
termasuk surat-surat itu, dan juga surat-surat yang dikeluarkan untuk mengganti
surat-srat itu; atau dengan sengaja mempergunakan surat palsu atau yang
dipalsukan tersebut seolah-oleh tulen dan tidak dipalsukan (pasal 4 sub 3),
d. Kejahatan
jabatan yang tercantum dalam titel XXVIII buku ke II yang dilakukan oleh
pegawai negeri indonesia diluar indonsia.
Pegawai negeri indonesia itu tidak perlu
seorang indonesia, misalnya dipewakilan-perwakilan indonesia diluar negeri
banyak orang-orang asing yang menjadi pegawai indonesia. Disamping itu juga
banyak pegawai-pegawai indonesia yang karena tugasnya banyak berada diluar
negeri.
e. Kejahatan
pelayaran yang tercantung dalam titel XXIX buku ke 2; pelanggaran pelayaran dan
juga tindak pidana yang tercantum dalam peraturan-peraturan umum tentang
surat-surat laut dan pas kapal di indonesia dan dalam ordonansi kapal tahun
1927, yang dilakukan oleh nakhoda dan penumpang alat pelayar (kapal atau
perahhu) indonesia yang ada diluar indonesia; baik mereka itu berada di atas
kapal maupun diluar kapal (pasal 8).
4.
Asas universal
Asas
universal atau asas melindungi kepentingan universal adalah manifestasi dari
pendirian, bahwa tiap-tiap negara berkewajiban untuk ikut melaksanakan tata
hukum sedunia, (v. Hattum hal 108).
Peraturan-peraturan
hukum pidana indonesia berlaku terhadap tindak pidana baik itu dilakukan
didalam negeri ataupun diluar negeri, dan juga baik dilakukan oleh warga negara
sendiri ataupun oleh waarga negara asing. Tindak pidana yang dimaksud adalah
tindak pidana yang tersebut dalam pasal 4 sub 2 KUHP yakni sejauh juga mengenai
kepentingan-kepentingan negara-negara asing dan pasal 4 sub 4 KUHP mengenai perampokan
dilaut (pembajkan). Kepentingan yang dilidungi disini merupakan kepentingan
internasional, jadi bukan khusus kepentingan negara indonesia. Oleh karena itu
asas ini juga dikatakan asa “derweltrechtspflege”,
asas mengenai penyelenggaraan hukum dunia atau ketertiban hukum dunia (weredrechtsorde).
Misalnya
orang asing di indonesia memalsukan mata uang negaranya sendiri dapat di adili
di sini dengan hukum pidana indonesia.
Mengenai
hal terakhir ini perlu diperhatikan, bahwa pengadilan indonesia hanya mengadili
berdasarkan hukum indonesia dan bukan dengan hukum asing. Ini berlainan dengan
perkara perdata. Dalam hal ini pengadilan indonesia dapat menerapkan aturan
hukum perdata negara lain berdasarkan aturan hukum perdata internasional.
Dalam KUHP terdapat pengecualian
terhadap ketentuan-ketentuan dalam pasal 2, 5, 7 dan 8, yakni sebagaimana
tersebut dalam pasal 9. Dalam pasal ini disebutkan, bahwa penerapan pasal 2
tadi dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum
internasional. Pengecualian-pengecualian ini ada terhadap kepala negara asing,
duta/duta besar atau perwakilan negara asing, anak kapal dari kapal-kapal
perang asing. Exterritorialitas atau immunitas (kekebalan) mereka itu diakui.
Soal ruang berlakunya peraturan-peraturan pidana menurut tempa yang telah
diuraikan ininharus dibedakan dari tempat terjadinya suatu tindak pidana (locus
delicti).
L.
Locus
delicti, Tempus delicti
v Locus delicti
Locus delicti adalah
tempat terjadinya tindak pidana. Locus delicti ini perlu diketahui untuk;
1) Menentukan
apakah hukum pidana indonesia berlaku terhadap peruatan pidana tersebut atau
tidak. Ini berhubungan dengan pasl 2-8 KUHP.
2) Menentukan
kejaksaan dan pengadilan mana yang haris mengurus perkaranya. Ini berhubungan
dengan kompetensi relatif (pengadilan mana yang berwenag). Sedangkan kompetensi
absolute adalah pengadilan apa yang berwenang.
Mengenai
locus delicti ini, dalam KUHP tidak ada ketentuan apa-apa. Lain misalnya dengan
KUHP Jerman dimana dalam pasla 3 ditentukan bahwa tempat perbuatan pidana
adalah tempat dimana terdakwa berbuat ata dalam hal kelakuan negatif, dimana
seharusnya terjadi.
Menurut
teori, biasanya tentang lecus delicti ini ada dua aliran, yaitu;
1. Aliran
yang menentukan di satu tempat, yaitu tempat dimana terdakwa berbuat.
Contoh aliran ini
adalah arrset HR di Nederland tahun
1889 tentang;
Penipuan (kumpulan arrset hukum pidana bemmelen kaca 40 no.14).
Penipuan (kumpulan arrset hukum pidana bemmelen kaca 40 no.14).
Aliran ini juga dianut
oleh Pompe (halaman 72 dan 73) dan Langemeyer (jilid I halaman 62)
2. Aliran
yang menentukan di beberapa tempat, yaitu mungkin tempat kelakuan, dan mungkin
pula tempat akibat.
Menurut aliran ini,
Locus delicti adalah boleh pilih antara tempat dimana perbuatan dimulai dengan
kelakuan terdakwa hingga perbuatan selesai dengan timbulnya akibat. Yang
menganut ajaran ini antara lain adalah Simonos. Beliau mmengatakan; “Strafbaar feit terdiri dari kelakuan dan
akibat (handelingen gevolg). Tidak ada alasan satu pun yang mendesakkan salah
satu dari kedua hal ini dipandang sebagai locus delicti. Hanya apabila hal itu
ditentukan oleh wet, maka salah satu itu baru dapat dipandang sebagai locus
delicti”. Juga demikian pendapat v. Hamel, Jonkers dan v. Bemmelen (tersebut
dalam buku Vos halaman 50).
v Tempus delicti
tempus delicti adalah
waktu terjadinya tindak pidana. Tempus delicti adalah penting berhubungan
dengan;
1) Pasal
1 KUHP, artinya apakah perbuatan yang bersangkut-paut pada waktu itu sudah
dilarang dan diancam dengan pidana atau tidak?
2)
Pasal 44 KUHP, artinya
apakah terdakwa ketika itu ( ketika melakukan tindak pidana) mampu bertanggung
jawab atau tidak?
3)
Pasal 55 KUHP, artinya
apakah terdakwa ketika melakukan peruatan sudah berumur 16 tahun atau belum?
Jika belum berumur 16 tahun, maka boleh memilih antara tiga kemungkinan;
a. Mengembalikan
anak tersebut kepada orang tuanya tanpa diberikan pidana apapun;
b. Menyerahkan
anak tersebut kepada pemerintah untuk dimasukan rumah pendidikan (milik
negara);
c. Menjatuhi
pidana seperti orang dewasa. Maksimum daripada pidana-pidana pokok dikurangi
1/3 (tertera pada pasal 47 KUHP)
4)
Pasal 79 (verjaring
atau kadaluwarsa). Dihitung mulai hari setelah perbuatan pidana terjadi.
5) Pasal
57 HIR, diketahuinya perbuatan dalam keadaan tertangkap tangan (op heterdaad).
Mengenai
tempus delicti Aliran kedua pada locus delicti juga berlaku untuk tempus delicti, artinya:
Waktu dilakukannya perbuatan pidana adalah waktu kelakuan dan waktu akibat,
jadi boleh pilih antara dua saat itu, menurut maksudnya aturan yang dikenakan.
Yang berpendirian demikian adalah Noyn Langemeyer, Van Bemmelen, dan Jokers.
Nmun pendirian ini juga menuai perdebatan, diantaranya:
Vos,
mengeritik pendirian ini sebagai berikut;
“jika
waktu perbuatan pidana adalah waktu kelakuan atau wakktu akibat, maka
kosekuensinya adalah bahwa orang dapat membunuh orang lain pada saat pembunuh
tadi sudah mati. Umpamanya A menembak B pada 21 Maret. A sendiri karena sakit
jantung ketika itu juga mati, sedangkan B baru meninggal karen atembakan
tersebut pada tanggal 22 Maret”. Vos tidak dapat menerima ini, beliau
berpendapat bahwa mengenai waktu terjadinya perbuatan pidana harus diambil
waktu kelakuan terjadi (waktu terdakwa berbuat).
Jokers,
menjawab pendirian vos ini sebagai berikut;
“kosekuensinya dari
pendirian vos ialah bahwa orang dapat membunuh orang lainpada ketika yang
dibunuh masih hidup, sebab jika diambil sebagai tempus delicti adalah waktu
berbuat, maka pembunuhan terjadi pada tanggal 21 maret, sedangktan ketika itu
juga yang dibunuh masih hidup. Dia baru padal tanggal 22 maret mati. Menurut
jokers, dalam hal semacam itu baik kedua tanggal dimasukkan dalam surat
tuduhan.
Mezger,
berpendapat bahwa untuk tempus delicti ini mungkin diadakan jawaban yang sama
buat semua keperluan. Haruslah dibedakan menurut maksud daripada peraturan;
1. Untuk
keperluan kadaluwarsa dan hak penuntutan yang perlu ialah waktu perbuatan
seluruhnya terjadi, jadi pada waktu sesudah terjadinya akibat.
2. Untuk
keperluan: apakah aturan-aturan hukum pidana berlaku atau tidak, dan untuk
penentuan apakah mampu bertanggung jawab atau tidak, atau ada atau tidaknya
perbuatan bersifat melawanhukum (karena ada atau tidaknya izin dari yang
berwajib), tempus delicti adalah waktu melakukan dan terjadinya akibat di sini
tidak mempunyai arti.
Seperti ini juga
pendapat dari Hamel, Simons, Hazewinkel Suringa (mengajukan bahwa; agar jangan
sampai menimbulkan konsekuensi yang janggal, maka ditentukan dalam perkecualian
dalam pasal 79 KUHP ke-1,2, dam 3).
M.
Tujuan
hukum pidana
Mengenai
tujuan hukum pidana ini, ada tiga aliran (pendapat), yaitu;
1. Aliran
klasik, aliran ini mengatakan bahwa tujuan hukum pidana ialah untuk melindungi
masyarakat dari kekuasaan pemerintah.
2.
Aliran modern, aliran
ini mengatak bahwa tujuan hukum pidanaq ialah untuk melindungi masyarakat dari
kejahatan. Aliran modern ini sering disamakan dengan aliran kriminologi atau
aliran positif.
3. Aliran
gabungan atau aliran otoriter, aliran ini mengatakan bahwa tujuan hukum pidana
ialah untuk lebih mementingkan kepentingan negara.
Pada
pasal 1 Rancangan Undang-undang (RUU) hukum pidana buku ke-1 terdapat gagasan
tentang maksud tujuan hukum pidana, yakni tujuan hukum pidana adalah agar
dengan ridho tuhan yang maha esa cita-cita bangsa indonesia untuk mewujudkan
proses pancasila jangan dihambat dan dihalangi oleh tindak pidana sehingga
masyarakat indonesia serta individu-individu dapat pengayoman dari hukum ini.
N.
Dasar
pembenaran pidana dan tujuan pemidanaan
Salah
satu cara untuk mencapai tujuan pemidanaan adalah menjatuhkan pidana terhadap
orang yang telah melakukan tindak pidana.
Setelah
menyimak penjelasan diatas maka muncullah pertanyaan yang menyatakan, ‘Apa
dasar negara negara menjatuhkan pidana kepada seseorang yang melakukan tindak
pidana? Sedangkan Undang-undang hukum pidana diadakan justru untuk melindungi
kepentingan umum’. Maka untuk menjawab pertanyaan tersebut, di dalam hukum
pidana dikenal beberapa teori pembenaraan pidana, yaitu;
A.
Teori
absolute (teori pembalasan)
Teori absolute atau teori
pembalasan ini muncul pada abad ke-18, yang dimana teori ini menyatakan bahwa
pidana itu dibenarkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan,
oleh karena kejahataan itu mengakibatkan suatu penderitaan kepada orang yang
terkena kejahatan, maka teori absolute atau teori pembalas ini mengatakan bahwa
‘penderitaan itu harus dibalas pula dengan penderitaan yang berupa pidana kepada orang yang
melakukan kejahatan itu’. Bahkan untuk menyigapi teori ini ada pribahasa yang
mengatakan bahwa “darah bersambung darah,
nyawa bersambung nyawa”.
Pada
dasarnya tindakan pembalasan itu memiliki dua sudut, yaitu;
1) Sudut
subjektif, yakni sudut yang pembalasannya ditunjukkan kepada orang lain yang
berbuat salah.
2)
Sudut objektif, yakni
sudut yang pembalasannya ditunjukkan untuk
memuaskan masyarakat, agar masyarakat merasakan adanya keadilan.
Mengenai teori absolute atau teori
pembalasan ini, ada beberapa ahli hukum yang memberikan pendapat, diantaranya
ialah;
·
Immanuel kant,
Berpendapat bahwa
kejahatan itu mengakibatkan ketidak adilan kepada orang lain, maka harus
dibalas pula dengan ketidak adilan yang berupa pidana kepada penjahatnya,
sedangkan pidana itu sendiri merupakan tuntutan yang mutlak dari hukum dan
kesusiln. Dan;
·
Hegel,
Berpendapat bahwa
keadilan itu merupakan kenyataan dari kemerdekaan, sehubungan itu, maka
kejahatan merupakan ketidak adilan yang berarti merupakan tantangan terhadap
hukum atau keadilan. Oleh karena itu tantangan terhadap hukum atau keadilan itu
harus dilenyapkan dengan ketidak adilan pula yaitu dengan pidana.
B.
Teori
relatif (Teori tujuan)
Teori ini menyatakan bahwa pidana
itu bukanlah untuk melakukan pembalasan kepada pembuat kejahatan, melainkan
mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Jadi dasar pembenaran pidana
menurut teori ini terletak pada tujuannya.
v Tujuan
pidana menurut teori relatif adalah;
1.
Tujuan pidana adalah untuk
menentramkan masyarakat yang gelisah karena adanya kejahatan,
2.
Tujuan pidana adalah
untuk mencegah kejahatan. Mencegah disini dibagi menjadi dua, yakni;
·
Mencegah umum, artinya
orang yang belum berbuat dan yang sudah berbuat tidak akan melakukan kejahatan.
·
Mencegah khusus,
artinya sesorang yang telah melakukan kejahatan lalu mendapatkan sanksi, dan ia
pun melaksanakan sanksi tersebut, ketika sudah bebas atau sudah keluar dari
sanksi tersebut oirang ituoun tidak akan melakukan kejahatan lagi (trauma).
v Cara
untuk mencapai maksud atau tujuan tersebut, ialah:
1. Dalam
pencegahan Umum,
o Dengan
mengadakan ancaman pidana yang cukup berat untuk menakut-nakuti orang agar
tidak melakukan tindak pidana.
o Dengan
menjatuhkan pidana dan melaksanakan pidana yang dilakukan dengan cara yang
kejam sekali dan dipertontonkan kepada umum, sehingga setiap orang akan merasa
takut untuk mlakukan kejahatan,
2. Dalam
pencegahan Khusus,
Didasarkan pada pemikiran bahwa pidana
itu di,aksudkan agar orang yang telah melakukan kejahatan tidak akan melakukan
kejahatan tidak melakukan kejahatan lagi. Dengan cara;
o Memperbaiki
penjahat,
o Menyingkirkan
sipenjahat dari pergaulan masyarakat.
Teori relatif atau
teori tujuan ini semakin berkembang, dan menurut teori ini dasar pembenaraan
pidana itu terletak pada tujuan pidana yaitu untuk menjamin ketertiban umum.
C.
Teori
Gabungan
Teori gabungan ini merupakan
gabungan antara teori absolute dan teori relatif. Dasar pembenaran pidana pada
teori gabungan ini meliputi dasar pembenaran dari teori absolute dan teori
relatif yaitu baik terletak pada kejahatan atau pembalasannya maupun pada
tujuan pidananya.
Oleh karena teori pembalasan dan teori tujuan
ini dianggap mempunyai kelemahan-kelemahan, untuk itu dikemukakan
keberatan-keberatan terhadap kedua teori tersebut, yaitu;
Ø Keberatan-keberatan
terhadap teori pembalasan (absolute);
a)
Penjatuhan pidana
semata-mata hanya untuk pembalasan dan menimbulkan ketidak adilan,
b)
Apabila memang dasar
pidana hanya untuk pembalasan, mengapa hanya pidana yang berhak menjatuhkan
pidana?
c)
Pidana hanya sebagai
pembalasan, tidak bermanfaat bagi masyarakat.
Ø Keberatan-keberatan
terhadap teori tujuan (relatif);
a)
Pidana hanya
ditunjukkan untuk mencegah kejahatan baik yang ditunjukan untuk menakut-nakuti
umum, maupun ditunjukkan kepada orang yang melakukan kejahatan,
b)
Pidana yang berat itu
tidak akan memenuhi rasa keadilan apabila kejahatan itu ringan,
c) Kesadaran
hukum masyarakat,
Oleh
karena itu pidana tidak semata-mata ditunjukan hanya untuk mencegah
kejahatan atau membinasakan kejahatan saja, dan oleh karena itu teori gaungan
kedua teori itu tidak dapat digunakan.
Teori
gabungan dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu;
1) Teori
gabungan yang menitik beratkan kepada pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak
boleh melebihi yang ditentukan,
2)
Teori gabungan yang
menitik beratkan kepada pertahanan ketertiban masyarakat, tetapi pidana tidak
boleh beratnya penderitaan yang sesuai dengan beratnya pidana,
3)
Teori gabungan yang
menitik beratkan sama, baik kepada pembalasan maupun kepada pertahanan
ketertiban masyarakat.
O.
Unsur-unsur
atau elemen-elemen perbuatan pidana
Pada
hakikatnya, setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah
(fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan akibat yang ditimbulkan karenanya.
Keduanya memunculkan kejadian alam lahir (dunia). Disamping (A) kelakuan dan
akibat, untuk perbuatan pidana biasanya diperlukan pula adanya, (B) hal ikhwal
atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, hal ikhwal yang oleh Van Hamel
dibagi dalam dua golongan, yaitu;
1. Yang
mengenai diri orang yang melakukan perbuatan, contohnya adalah,
·
hal menjadi pejabat
negara (pegawai negeri) yang diperlukan dalam delik-delik jabatan seperti dalam
pasal 413 KUHP dan seterusnya (yang terkenal adalah pasal 418, 419). Jika hal
menjadi pejabat negara tidak ada, tidak mungkin ada perbuatan pidana tersebut.
·
hal menjadi ibu dari anak yang dibunuh dalam
pasal 341 KUHP;
·
hal menjadi penguasa (koopman) dalam pasal 396
dan seterusnya (merugikan para penagih).
2.
Yang mengenai diluar
diri si pelaku, contohnya adalah,
·
Dalam pasal 160 KUHP,
pengusutan harus dilakukan; di tempat umum,
·
Dalam pasal 332
(schaking, melarikan wanita) disebut bahwa perbuatan itu harus disetujui oleh
wanita yang dilarikan sedangkan pihak orang tuanya tidak menyetujuinya.
Kesimpulannya, yang
merupaka unsur atau elemen perbuatan pidana adalah;
a) Kelakuan
dan akibat (sama dengan perbuatan)
b)
Hal ikhwal atau keadaan
yang menyertai perbuatan
c)
Keadaan tambahan yang
memberatkan pidana
d)
Unsur melawan hukum
yang objektif
e) Unsur
melawan hukum yang subjektif
Meskipun perbuatan
pidana pada umumnya adalah lahir dan terdiri atas elemen-elemen lahir, namun
ada kalanya dalam perumusan juga diperlukan elemen batin yaitu sifat melwan
hukum yang subjektif.
P.
Tentang
kelakuan atau tingkah laku
Dalam
hukum pidana, mengenai kelakuan atau tingkah laku itu ada yang positif dan ada
yang negatif,. Dalam hal kelakuan positif terdakwa berbuat sesuatu, sedangkan
dalam hal negatif terdakwa tidak berbuat sesuatu yang seharusnya dilakukan.
Makna kelakuan atau tingkah laku
v Menuru
simons dan van Hamel
Kelakuan
atau handeling positif adalah gerakan
otot yang dikehendaki (een gewilde
spierbeweing) yang diadakan untuk menimbulkan suatu akibat.
v Menurut
Pompe
Formulering: gerakan
otot yang dihendaki ini ditentang olem Pompe, menurut beliau bagaimanapun
pentingnya gerakan otot itu jika dipandang dari sudut fisiologi, tetapi untuk
hukum pidana dan ilmu hukum pidana, hal itu tidak mempunyai arti. Sebab ada
kalanya untuk mengadakan perbuatan pidana tidak di perlukan adanya gerakan
otot, umpamanya dalam pasal 111 KUHP, mengadakan hubungan dengan negara asing.
Di sini cukup dengan sikap badan atau pandangan mata yang tertentu. Sebaliknya
ada kalanya pula diperlukan pula beberapa, bahwa banyak sekali gerakan otot.
Oleh karena itu, menurut Pompe makna gedrading
(kelakuan) dapat ditentukan dnegan tida syarat, yaitu;
·
Suatu kejadian yang
ditimbulkan oleh seseorang,
·
Yang tampak keluar, dan
·
Yang diarahkan kepada
tujuan yang menjadi objek hukum (een gebeuren dat toe te schrijven is aan een
mens, uiterlijk waarneembaar en op een doel gericht dat als voorwerp van normen
geldt).
Mengenai syarat pertama dan kedua Prof.
Moeljatno, S.H dalam bukunya “Asas-asas hukum pidana” menjelaskan bahwa rumusan
itu tidak dapat diterima bagi kelakuan, sebab dengan demikian titik berat makna
kelakuan diletakan pada kejadian, yaitu akibatnya kelakuan, hal mana justru di
pisahkan dari pengertian kelakuan. Lain halnya kalau melihat formulering meger, yang di samping
adanya “willens-grundlage”
mensyaratkan adanya aussere korpebewegung mit ihrem weiteren
erfolg (gerakan jasmani beserta akibat-akibatnya).
Dalam istilah aussere korperbewegung (akibat-akibatnya dihilangkan karena
merupakan unsur tersendiri) pokok pengertian tetap pada tingkah laku orang.
Tetapi ini terlampau sempit kalau mengingat apa yang diajukan oleh Pompe diatas.
Yang terang ialah bahwa untuk kelakuan negatif, gerakan jasmani lalu tidak
tepat. Artinya kalau gerakan jasmani diganti dengan sikap jasmani, kiranya
lebih tepat, sebab tidak berbuat sesuatu hal dapat dimasukan dalam formuleering tersenut. Dan disitu tidak
perlu ditambahkan lagi “yang tampak keluar” karena sikap jasmani adalah sikap
lahir.
v Menurut
mezger
Mezger
memintakan adanya Willensgrundlage, yaitu sikap lahir tadi harus didukung oleh
satu kekhendak, artinya adalah hasil dari bekerjanya kehendak (wirkung des willensakt). Tidak perlu
bahwa itu juga merupakan isinya kehendak (inhalt
des willens). Tentang hal ini, jadi apakah kelakuan itu memang dikehendaki
atau tidak, kata mezger, itu adalah persoal yang letaknya kalau menghadapai sifat melawan hukumnya perbuatan.
v Menurut
Vos
Mengharuskan
bahwa sikap jasmani itu disadari (een
bewuste gedraging).
v Menurut
van Hattum
Sebaliknya mengatakan, bahwa gedraging itu harus pandang sebagai psysiek substraat (dasar yang pisik)
dari tiap-tiap delik, yaitu semata-mata harus di pandang dari sudut jasmani
saja, tanpa ditambah unsur subjektif maupun normatif. Bagi beliau kelakuan
adalah pengertian kleurloos tidak
berwarna. Jadi juga tidak perlu dikehendaki atas disadari. Rupanya kesimpulan
van Hattum ini berhubungan erat dengan pendirian penulis jerman Max Rumpf,
bahwa kecuali mengenai kelakuan-kelakuan kecil berhubungan dengan
keharusan-keharusan jasmani, maka untuk mengadakan sikap jasmani ysng tertentu,
orang tidak perlu selalu harus menyadarinya.
Namun, prof. Moeljatno dalam buku nya
asas-asas hukum pidana, menyatakan bahwa ia lebih condong kepada pendapat vos,
yaituhanya sikap jasmani yang disadari sajalah yang masuk dalam pengertian
kelakuan. Oleh karena itu prof . moeljatno setuju jika;
1)
Sikap jasmani yang
orangnya pasif,
2)
Gerakan refleksi tidak
dapat dinamakan kelakuan,
3)
Sikap jasmani yang di
adakan dalam keadaan tidak sadar.
Sesungguhnya, syarat batin “disadari” di
samping syarat lahir “sikap jasmani”. Dan disamping sikap jasmani masih
diperlukan adanya unsur batin yang tertentu merupakan kelakuan, jika dari
permulaan sudah dapat dipastikan, yang tampak sebagai tindak pidana disebabkan
karena tingkah laku yang masuk dalam pengecualian-pengecualian di atas maka di
situ lalu lalu tidak ada perbuatan, apalagi perbuatan pidana, sehingga tidak
perlu diadakan pemeriksaan dan tindakan-tindakan lainnya, sebagaimana lazimnya
jika menghadapi perbuatan pidana, hal mana berarti penghematan biaya, tenaga,
dan waktu.
Q.
KESENGAJAAN
(Dolus, Intent, Opzet, Vorsatz)
Kesengajaan
ialah suatu perbuatan yang dkehendaki dan dimengerti perbuatan tersebut, juga
di mengerti akibat dari perbuatan tersebut.
Namun
dalam KUHP tidak ada keterangan sama sekali mengenai arti kesengajaan. Lain
halnya dengan KUHP Swiss di dalam pasal 18 dengan tegas ditentukan: Barang siapa
melakukan perbuatan dengan mengetahui dan menghendakinya, maka dia melakukan
perbuatan itu dengan sengaja. Dalam Memorie van Toelicting Swb, ada pula;
“pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan
yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”.
Terori Kesengajaan
Teori kesengajaan
terbagi menjadi dua, yaitu;
1) Teori
kehendak (wilstheorie)
Dalam
teori ini, inti dari kesengajaan ialah mengkhendaki untuk mewujudkan
unsur-unsur delik sebagaimana yang dicantumkan dalam undang-undang. Yang
menganut teori ini diantaranya ialah, Simons dan Zavanbergen .
2)
Teori membayangkan atau
teori pengetahuan (voorstellings-theorie)
Dalam
teori ini, sengaja berarti membayangkan akan timbulnya akibat perbuatannya; orang
tak bisa menghendaki akibatnya, melainkan hanya dapat membayangkan nya.
Teori
ini menitik beratkan pada apa yang diketahhui atau dibayangkan oleh sipembuat,
ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia berbuat. Penganut teori ini adalah
Frank.
Jadi dalam teori ini
perlaku hanya membayangkan akan timbulnya akibat dari perbuatannya.
Terhadap perbuatan yang
dilakukan si pembuat, kedua teori itu tidak ada perbedaannya; kedua-duanya
mengakui bahwa dalam kesengajaan harus ada kehendak untuk berbuat.
Perbedaannya ialah
dalam hal kesengajaan terhadap unsur-unsur lain dari misalnya akibat
keadaan-keadaan menyertainya.
Dalam hal yang terakhir
ini teori yang satu menyebutkan sebagai “menghendaki”, sedang teori yang lain
sebai “mngetahui atau membayangkan”.
Pada hakekatnya dalam
praktek penggunaan-nya, hasil kedua adalah sama. Perbedaannya adalah dalam hal terminologie, dalam istilahnya saja.
Corak Kesengajaan
Ada
tiga corak sikap batin, yang menunjukan tingkatan bentuk dari kesengajaan iyu,
yaitu;
1. Kesengajaan
sebagai maksud atau tujuan;
Maksud dari corak kesengajaan sebagai
maksud atau tujuan ialah, matinya korba adalah tujuan dari kesengajaan yang
diperbuat oleh terdakwa.
2.
Kesengajaan sebagai
keharusan;
Maksud dari corak kesengajaan sebagai keharusan ialah, hal lain
atau hal apapun yang dapat dikatakan merugikan pihak lain karena perbuatan
terdakwa dalam mencapai tujuannya yakni membunuh atau mencelakai korban yang
ditujunya ialah bentuk dari keharusan yang harus ia lakukan. Contohnya; A
menembak B yang sedang berdiri dibelakang kaca, sehingga kaca yang berada di
depan B pun pecah sebelum peluru itu melubangi tubuh B. pecahnya kaca tersebut
ialah bentuk keharusan B dalam mencapai maksud atau tujuannya yakni menembak B.
3.
Kesengajaan sebagai
kemungkinan;
Maksud dari kesengajaan sebagai
kemungkinan ialah, cara atau upaya terdakwa dalam mencapai tujuannya yakni
membunuh atau melukai korban, tidak dapat menjamin apakah cara tersebut ampuh
atau sudah pasti dapat terkena langsung kepada korban atau tidak, artinya dalam
hal ini terdakwa tidak punya jaminan kuat untuk menjamin apakah cara yang ia
lakukan nanti untuk mencapai tujuannya dapat berjalan sesuai harapannya atau
tidak. Contohnya; A akan membunuh B dengan cara mengirimkan kue Tar kerumah B,
namun dalam hal ini A tidak dapat berkeyakinan bahwa B akan memakan kue
tersebut, karena kemungkinan yang memakan kue tersebut adalah anggota keluarga
dari B, dan A pun sadar akan kemungkinan itu, sehingga apabila benar terjadi
bahwa yang memakan kue Tar tersebut adalah anggota keluarga B, dan menyebabkan
kematian, maka itu adalah bentuk dari kesengajaan sebagai kemungkinan.
Warna
kesengajaan
Warna kesengajaan
terbagi menjadi dua, yaitu;
1. Kesengajaan
yang berwarna,
Pendirian pertama mengatakan bahwa,
kesengajaan melakukan sesuatu perbuatan mencakup pengethuan si pembuat bahwa
perbuatannya melawan hukum (dilarang); harus ada hubungan antara keadaan batin
sipembuat dengan melawan hukumnya perbuatan. Dikatakan, bahwa sengaja di sini
berarti dolus malus, artinya sengaja
untuk berbuat jahat (boos opzet).
Jadi menurut pendirian yang pertama, untuk adanya kesengajaan perlu bahwa
sipembuat menyadari bahwa perbuatanya dilarang.
Penganutnya antara lain Zevenbergen,
yang mengatakan (dalam bukunya leerboek
van het nederlandsch strafrecht, tahun 1924, hal.159), bahwa; “kesengajaan
senantiasa ada hubungannya dengan dolus malus, dengan perkataan lain dalam
kesengajaan tersimpul adanya kesadaran mengenai sifat melawan hukumnya
perbuatan”. Untuk adanya kesengajaan, diperlukan syarat bahwa pada sipembuat
ada kesadaran, bahwa perbuatannya terlarang dan/atau dapat dipidana.
Artinya kesengajaan yang berwarna ialah
dianggap sengaja apabila memenuhi unsur. Jadi disamping ia melanggar laranga,
juga ia mengerti bahwa perbuata itu dilarang. Jadi dalam hal ini sengaja
berwana apabila terdakwa megerti perbuatan itu melanggar, dan mengerti
perbuatan itu dilarang.
2.
Kesengajaan yang tidak
berwarna.
Arti dari kesegajaan yang tidak berwarna
ialah, bahwa untuk adanya kesengajaan
cukuplah bahwa si pembuat itu menghendaki perbuatan yang dilarang itu. Ia tak
perlu tahu bahwa perbuatannya terlarang atau bersifat melawan hukum. Dapat saja
si pembuat dikatakan berbuat dengan sengaja, sedang ia tidak mengetahui bahwa
perbuatannya itu dilarang atau bertentangan dengan hukum. Penganut-penganutnya
antara lain; Simons, Pompe, Jonkers.
Menurut M.v.T tidak perlu ada “boos opzet”. M.v.T mengatakan demikian. Akan tetapi untuk berbuat
dengan sengaja itu apakah sipembuat tidak harus menyadari, bahwa ia melakukan
suatu perbuatan yang menurut tata susila tidak dibenarkan (zadelijk ongeoorlooid)? Cukupkah dengan adanya kesengajaan saja
atau perlukah adanya “kesengajaan jahat “ (boos
opzet)”? jawabannya tidak akan lain daripada itu.
Keberatan terhadap pendirian bahwa kesengajaan itu
berwarna ialah; merupakan beban yang berat bagi jaksa apabila untuk membuktikan
ada kesengajaan, tiap kali ia harus membuktikan bahwa pada terdakwa kesadaran
atau pengetahuan tentang dilarangnya perbuatan itu. Sebaliknya, alasan bahsa
kesengajaan itu berwarna ialah kesalahan itu, jadi masuk kesengajaan, berisi
bahwa sipembuat harus sadar bahwa perbuatan keliru. Apabila ia sama sekali
tidak sadar akan itu, meskipun pada kenyataannya melakukan perbuatan yang
dilarang, yang melawan hukum, ia tidak dapat dipidana.
R. ERROR IN PERSONA, Kekeliruan atau kesesatan (salah kira,
Dwaling, Ignorance, Mistake)
ERROR IN PERSONA
Kekeliruan mengenai objeknya dan mengenai orangnya.
Jika objek itu “gleichwertig” atau nilainya/sifat, sama, maka kekeliruan itu
tak menguntungkan tersangka; tetapi jika objeknya berbeda secara hakiki
(wesentlich) maka tersangka tidak dapat dipidana.
Jadi Error in persona adalah suaru dwaling, suatu
salah paham atau kekeliruan dari pihak terdakwa terhadap orang yang akan
dituju. Jadi salah paham tentang objeknya perbuatan. Umpamanya; Apabila yang
akan dibunuh itu A kemudian dikira telah membunuh A, padahal sesungguhnya yang
dianggap A itu adalah B.
Dalam keadaan semacam itu dikatakan bahwa terdakwa
tidak mempunyai kesengajaan untuk membunuh B. Kalau begitu, apakah terdakwa
tidak dapat dipidana? Tentu saja dapat, tetapi ini tergantung dari bunyinya
dakwaan. Jika didakwa telah membunuh B, tidak dapat dipidana, oleh karena
memang kesengajaannya untuk itu tidak ada. Yang ada adalah untuk mebunuh A.
Seharusnya didakwakan telah membunuh orang lain, yang ternyata B. Rumusan pasal
338 KUHP juga hanya mensyaratkan matinya orang lain (lain daripada terdakwa).
Jadi error in persona dalam cintih
diatas tidak membawa akibat apa-apa.
Kekeliruan atau kesesatan
Kekeliruan
atau kesesatan ini adalah keadaan bation yang melekan pada suatu kealpaan.
Macam-macam kesesatan
1. Kesesatan
mengenai hal-hal yang menyangkut peristiwanya (feitlijke dwaling atau mistake
of fact atau eror facti),
contohnya ialah;
a. Seseorang
yang mengambil barang yang dikira tidak ada pemiliknya sama sekali (res nullius).
b. Seorang
ayah memukul anak, yang dikira anaknya sendiri.
Juga termasuk error
facti adalah kesesatan mengenai peraturan Hukum perdatan,
peraturan-peraturan hukum administrasi negara, karena hal-hal ini termssuk
unsur-unsur/bagian-bagian dari delik. Kesesatan mengenai peristiwanya tidak
mendatangkan pemidanaan (error facti non
nocet).
2. Kesesatan
mengenai hukumnya (rechtsdwaling atau
mistake of law atau error iuris)
Kesesatan
mengenai hukumnya dibatasi sampai
kesesatan mengenai dapat dipidananya (strafbaarheid)
perbuatan itu sendiri. Kesesatan ini tidak menghapuskan pemidanaan (error iuris nocet). Dalam bahasa belanda
dikatakan, kesesatan semacam ini “disculpeert
niet”. Jadi orang tak boleh mengatakan bahwa ia tidak tahu bahwa perbuatan
yang ia lakukan itu dapat dipidana.
Disini berlaku anggapan (fictie) “setiap orang dianggap mengetahui undang-undang”.
Kesesatan semacam ini banyak terdapat pada
pelanggaran daripada kejahatan. Tetapi sekarang pembentuk undang-undang membuat
banyak peraturan-peraturan baru yang mengundang kejahatan, yang tidak segera
diketahui oleh orang yang mempunyai tingkat pengetahuan normal. Ini banyak
terdapat dalam peraturan-peraturan ekonomi.
Kalau orang tidak tahu perbuatan yang ia lakukan itu
dilarang dalam undang-undang, maka ia dapat dikatakan salah kira (sesat). Namun
ia tetap dapat dipidana, sebab pada dasarnya pembentukkan undang-undang tidak
menghiraukan pandangan subjektif dari sipembuat.
Pembentukan undang-undang tidak menghiraukan tentang
tidak adanya pengetahuan akan terlarangnya perbuatan. Tetapi kalau seseorang
sama sekali tak mungkin dapat mengetahui terlarangnya perbuatan, maka adalah
wajar apabila ia tidak dipertanggung jawabkan.
S.
TEORI
APA BOLEH BUAT
“in kauf nehmen theorie” atau “op de koop toe nemen theorie”. Dalam
teori ini keadaan batin sipembuat
terhadap perbuatannya adalah sebagai berikut:
1. Akibat
itu sebenarnya tidak dikehendaki, bahkan ia benci atau takut akan kemungkinan
timbulnya akibat itu.
2.
Akan tetapi meskipun ia
tidak menghendakinya, namun apabila toh keadaan akibat itu timbul, apa boleh
buat hal itu diterima juga, ini berarti ia berani memikul risiko.
Dalam perdebatan di Eerste Kamer
mengenai W.v.S menteri Modderman mengatakan bahwa “voorwaardelijk opzet” (dolus eventualis) itu ada, apabila kehendak
kita langsung ditunjukan pada kejahatan tersebut, tetapi meskipun telah
mengetahui bahwa keadaan tertentu masih akan terjadi, namun kita berbuat dengan
tiada tercegah oleh kemungkinan
terjadinya hal yang telah kita ketahui itu.
Dengan teori apa boleh buat ini maka sebenarnya tidak perlu lagi
membedakan antara kesengajaan dengan sadar kepastian dan kesengajaan dengan
sadar kemungkinan.
Menurut prof.Moeljatno, kalau resiko
yang diketahui kemungkinan akan adanya itu sungguh-sungguh timbul (disamping
hal yang dimaksud), apa boleh buat, dia juga berani pikul resiko. Dalam kesengajaan
dengan sadar kemungkinan, si pembuatan menetapkan dala, hatinya bahwa ia
mengkhendaki perbuatan yang dilakukan, meski ada akibat yang tidak diharapkan.
Akibat itu sebenarnya tidak ia kehendaki, atau bahkan takut akan ada
kemungkinan timbulnya akibat itu, namun jika akibat itu muncul, apa boleh buat
dia berani menerima resiko, bertanggung jawab atas akibat yang mungkin timbul.
Contoh
teori apa boleh buat
Mengenai contoh teori apa boleh ini
menurut saya contohnya hampirsama dengan contoh corak kesengajaan sebagai
kemungkinan. Yang dimana contohnya seperti yang dibawah ini;
Suatu ketika di kota
Hoorn pada tahun 1911 ada seseorang yang berniat membunuh musuhnya dengan
mengirimkan kue tart beracun, namun akhirnya yang memakan kue tersebut bukan
musuhnya melainkan istri musuhnya, akhirnya istri musuh pengirim kue tersebut
meninggal.
Meninggalnya istri dari
musuh si pengirim kue, sebenarnya hal tersebut sudah diperkirakan terlebih
dahulu oleh terdakwa. Terdakwa dari awal sudah mengetahui bahwa yang meninggal
bisajadi adalah istri nya, anaknya, tetangganya dan lain-lain. Mengapa
demikian, karena dengan mengirim suatu kue tart ke rumah musuh dari terdakwa,
maka tidak ada kepastian bahwa musuh dari terdakwalah yang akan memakannya,
namun apa boleh buat, terdakwa terdakwa sudah berniat untuk membunuh musuhnya
dan berani menanggung resiko tersebut.
![]() |
T.
KEALPAAN(Culpa
atau alpa)
KUHP
tidak memberi definisi seperti juga halnya pada kesengajaan. Menurut M.v.T.: kealpaan
di satu pihak berlawanan benar-benar dengan kesengajaan dan di pihak lain
dengan hal yang kebetulan (toeval
atau casus). Kealpaan merupakan
bentuk kesalahan yang lebih ringan daripada kesengajaan, akan tetapi bukanna
kesengajaan yang ringan. Kesengajaan adalah kesalahan yang berlainan jenis
dengan kealpaan, dasarnya adalah sama, yaitu;
1. Adanya
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana,
2.
Adanya kemampuan
bertanggung jawab,
3.
Tidak adanya alasan
pemaaf.
Tetapi bentuknya lain. Dalam kesengajaan sikap batin orang menentang
larangan. Dalam kealpaan, kurang mengindahkan larangan sehingga tidak
berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan
keadaan yang dilarang. Dan dalam istilah kealpaan sudah mengandung makna kekeliruan.
Syarat untuk adanya kealpaan, menurut
para ahli;
·
Van Hamel
Menurut
van hamel kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu;
ü Tidak
mengadakan perduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum,
ü Tidak
mengadakan perhati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
·
Hazewinkel – Surigsn
Ilmu
pengetahuan hukum dan jurispendensi
mengartikan “schuld” kealpaan
ü Kekurangan
penduga-duga
ü Kekurangan
penghati-hati
Dari kedua pendapat ini
dapat ditarik keterangan yaitu;
A. Tidak
mengadakan perduga-duga yang perlu menurut hukum
Mengenai
ini ada dua kemungkinan, yaitu;
1) Atau
terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal
pandangan itu kemudian ternyata tidak benar.
Contohnya , mengendarai sepeda
motor dengan cepat melalui jalan yang ramai, karena percaya dia pandai naik
sepeda motor, maka tidak akan menabrak; pandangan tersebut ternyata keliru,
sebab dia menabrak seseorang. Seharusnya perbuatan itu disingkirinya, sekalipun
dia pandai, justru karena ramainya lalu lintas tadi dan kemungkinan akan menabrak.
Disini, adanya kemungkinan itu diinsafi, tetapi tidak berlaku baginya, karena
kepandaian yang ada padanya, dikatakan bahwa ini meruppakan kealpaan yang
disadari (bewuste culpa).
2) Atau
terdakwa sama sekali tidak mempinyai pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin
timbul karena perbuatanya. Dalam hal yang pertama kekeliruan terletak pada
salah pikir atau pandang, yang seharusnya disingkiri. Dalam hal kedua terletak
pada tidak mempunyai pikiran sama sekali bahwa akibat mungkin akan timbul, hal
maa adalah sikap yang berbahaya. Contohnya, mengendarai sepeda motor, sedangkan
dia belum paham akan tekniknya dan belum dapat rijbewijs. Sewaktu dikejar oleh anjing lalu menjadi bingung, dan karena
itu menabrak orang. Disini tidak terlintas sama sekali akan kemungkinan akan
menabrak oang, padahal seharusnya kemungkinan itu diketahui, sehingga naik
sepeda motor itu harus dengan kawan yang sudah pandai. Dikatakan bahwa dalam
hal ini kealpaan yang tidak disadari (onbewuste
culpa).
B.
Tidak mengadakan
penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum
Mengenai hal ini diterangkan oleh
van hamel sebagai berikut;
“ini antara lain ialah
tidak mengadakan penelitian, kebijaksanaan, kemahiran atau usaha pencegahan
yang nyata dalam keadaan-keadaan yang tertentu ata dalam caranya melakukan
perbuatan”. Jadi yang menjadi objek penijauan dan penilaian bukan batin
terdakwa tetapi apa yang dilakukan atau tingkah laku terdakwa sendiri.
Syarat yan kedua inilah
yang menurut praktik yang penting guna menentukan adanya kealpaan. Inilah yang
harus dituduhkan dan harus dibuktikan oleh jaksa.pendirian yang boleh dikatakan
objektif ii, yaitu menitik beratkan makna kealpaan pada sifatnya perbuatan
terdakwa, antara lain ternyata dalam rumusan kealpaanpasal 18 KUHP Swiss alinea
ke-3: jika terjadinya perbuatan dapat dimengertikan oleh karena terdakwa sama
sekali tidak memikirkan akan adanya akibat itu atau oleh karena tidak
memperhatikannya disebabkan karena
kurang penghati-hati yang bertentangandengan kewajibannya, maka perbuatan
itu dilakukan karena kealpaannya. Kurang
penghati-hati adalah menggunakan penghati-hati yang menurut keadaan dan
hubungannya persoonlijk menjadi kewajibannya.
U.
POGING
(Percobaan
melakukan Tindak Pidana)
Pasal
53 KUHP ayat (1) “percobaan untuk melakukan kejahatan itu dapat dihukum apabila
maksud pelakunya itu telah diwujudkan dalam permulaan pelaksanaan, dan
pelaksanaan nya itu sendiri telah tidak selesai dikarenakan masalah-masalah
yang tidak tergantung pada kemauannya.
Didalam KUHP ternyata
tidak semua kejahatan bentuk percobaannya dapat di ancam dengan pidana. Karena
ada sejumlah kecil kejahatan yang bentuk kejahatannya tidak diancam dengan
pidana, contohnya pada pasal 184 tentang perkelahian, pasal 351-352 tentang
penganiayaan.
Menurut
Doktrin, Poging adalah suatu kejahatan yang sudah dimulai tapi belum selesai
atau belum sempurna.
Secara
bebas, pengertian poging ialah tindak pidana yang tidak selesai dilakukan.
Poging
terbagi menjadi dua, yaitu;
1. Poging
terhadap kejahatan, yang dimana dalam hal ini terbagi menjadi dua, yaitu;
§ Poging
yang dihukum, artinya percobaan melakuan suatu tindak pidana yang tidak selesai
karena hal lain, (percobaan ini lah yang dapat di hukum)
§ Poging
yang tidak dihukum, artinya percobaan melakukan tindak pidana yang tidak
selesai karena kemauan diri sendiri, (percobaan ini lah yang tidak dapat
dihukum).
2. Poging
terhadap pelanggaran, dalam hal ini percobaan tindak pidana tidak dapat di
hukum.
Setiap orang yang telah
melakukan poging atau tindak pidana, dapat dan harus dihukum, meski baru
percobaan tetapi tetap harus dihuku, hal ini di jelaskan dan dipertegas dalam
dua teori yang menjadi dasar mengapa kejahatan yang dalam taraf permulaan itu
dapat dihukum, dua teori itu ialah:
1) Teori
subjektif, yang dimana teori ini mendasar pada pikiran bahwa orang nya atau perlakunya yang secara
potensial sudah berbahaya.
2) Teori
objektif, yang dimana teori ini mendasae pada pikiran bahwaperbuatannya secara potensial berbahaya.
Juga perlu diketahui
bahwasanya Syarat poging ialah, seseorang melakukan tindak pidana tetapi tidak
selesai, dan tidak selesainya itu bukan karena kehendak sendiri melainkan
karena adanya gangguan dari luar.
Pokok pangkal terhadap
suatu delik yaitu, suatu perbuatan dilarang dan di ancam dengan hukuman oleh
undang-undang, sebab perbuatan itu memperkosa atau melanggar kepentingan hukum
atau karena perbuatan itu membahayakan kepentingan huku, sedang pada poging
belum memperkosa atau melanggar kepentingan hukum tetapi poging itu membahayakan
kepentingan hukum. Maka dari itu hal ini dijadikan sebagai dasar hukum yang
menjadikan hukuman sebagai ancaman bagi siapa saja yang melakjukan poging atau
percobaan tindak pidana.
Adapun unsur-unsur
poging yang sebagaimana tercantum dalam oasal 53 KUHP, antara lain ialah;
1) Ada
niat; niat disini berarti adanya kehendak untuk melakukan kejahatan atau lebih
tepat ialah kesengajaan dengan sadar kemungkinan.
2)
Ada permulaan
pelaksanaan; permulaan pelaksanaan disini maksudnya ialah pelaku sudah
melakukan langkah awal untuk melakukan tindak pidana nya namun ia belum mengambil hal yang dapat
menguntungkan dirinya dari apa yang akan ia ambil yang sesungguhnya bukan hak
nya.
3) Tidak
selesainya pelaksanaan, bukan semata-mata kehendak sendiri.
V.
OVERMACHT
(Daya Paksa)
Overmacht berasal dari bahasa Belanda
yang artinya kekuatan atau daya lebih besar.
Pasal 48 berbunyi:
“Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana.
Engelbrecht menyalin pasal tersebut seperti berikut; “Tidak boleh dihukum
barang siapa melakukan perbuatan karena terdorong oleh lawan:”.
Prof.Moeljatno, SH., MH
membagi daya paksa kedalam dua bagian, yaitu;
1. Daya
paksa fisik, artinya daya paksa fisik ini terjadi karena kekuatan lawan yang
tidak dapat dilawan. (Dan menurut Prof.Moeljatno, SH., MH daya paksa fisik ini
tidak termasuk pada pasal 48).
2. Daya
paksa fsikis, artinya daya paksa fsikis ini terjadi karena kekuatan lawan yang
bisa di lawan tetapi sesungguhnya tidak bisa dilawan.
Secara umum Overmacht
terbagi menjadi dua, yaitu;
1. Vis
Absoluta (paksaan yang absolut), artinya ialah daya paksa fisik.
2.
Vis Compulsiva (daya
paksa yang relatif), artinya ialah daya paksa fsikis.
Biasanya
dalam compulsiva terbagi menjadi dua bagian daya paksa, yaitu;
·
Compulsiva dalam arti
sempit, artinya compulsiva ialah sebuah paksaan dari orang luar.
·
Compulsiva dalam
keadaan darurat (Noodtoesland), ini timbul karena keadaan atau situasi
tertentu, jadi daya paksa yang muncul bukanlah karena paksaan dsri luar
kemainkan karena adanya keadaan tertentu.
Adapun
type keadaan darurat, dapat dilihat dari tiga type yaitu;
a) Benturan
antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum;
b) Benturan
antara dua kepentingan hukum;
c) Benturan
antara dua kewajiban hukum.
Dalam
hal ini kepentingan hukum lebih diutamakan karena derajat nya lebih tinggi
dibandingkan dengan kewajiban hukum.
W. NOODWEER (Pembelaan
Darurat)
Pasal
49 ayat 1 berbunyi: “barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan
karena serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum terhadap
diri sendiri maupun orang lain terhadap kesusilaan (eerbaarheid) aytau harta
benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”. Dan diperjelas dengan salinan
dalam buku engerbrecht 1960, yang dimana disitu bunyi pasalnya ialah sebagai
berikut: “Tidak boleh dihukum barang siapa melakukan perbuatan yamng terpaksa
dikerjakan untuk membela dirinya atau orang lain, membela peri kesopanaan atau
kesopanan orang lain, atau membela harta benda kepunyaan sendiri atau kepunyaan
orang lain, daripada serangan yang melawan hukum dan yang berlaku sekejap itu
atau yang mengencam dengan seketika”.
Mengenai
pasal 49 ayat 1, perbuatan yang dimaksud ialah harus berupa pembelaan. Dengan
syarat, adanya serangan seketika yang bersifat melawan hukum, dan pembelaan
tersebut imbang.
Contoh,
dalam serangan yang tidak melawan hukum: penyidik melaksanakan tudasnya dengan
menangkap terdakwa atau saksi.
X.
PELAKU
TINDAK PIDANA (DADER)
v Menurut
Doktrin
pelaku
tindak pidana ialah Barang siapa yang perbuatannya memenuhi unsur-unsur tindak
pidana seperti apa yang dicantumkan dalam Undang-undang.
Pelaku
tindak pidana menurut doktrin terbagi menjadi dua, yaitu;
a) Pelaku
tindak pidana formil, artinya ialah barang siapa yang telah melakukan perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana.
b) Pelaku
tindak pidana materil, artinya ialah barang siapa yang menimbulkan akibat yang
dilarang dan diancam dengan pidana.
v Menurut
KUHP
Terdapat
dalam pasal 55 ayat 1, maka pelaku tindak pidana dapat dibagi dalam empat
golongan, yaitu;
a) Mereka
yang melakukan sendiri tindak pidana (pleger)
b) Mereka
yang menyuruh orang lain melakukan tindak pidana (doen pleger)
c) Mereka
yang turut serta bersama-sama melakukan tindak pidana (mede plager)
d) Mereka
yang dengan sengaja dan upaya seperti yang disebutkan oleh undang-undang
menggerakan atau membujuk orang lain melakukan tindak pidana (uit loker)
Upaya-upaya yang tercantum dalam
undang-undang antara lain;
§ Memberi
atau menjanjikan sesuatu,
§ Menyalah
gunakan kekuasaan atau martabat,
§ Dengan
kekerasan,
§ Dengan
ancaman atau penyesatan,
§ Memberi
kesempatan atau sarana.
Menyuruh melakukan
tindak pidana Dan sengaja memyuruh atau menggerakan orang lain melakukan
tindak pidana
|
|
Persamaan
|
perbedaan
|
·
Sama-sama untuk
melakukan tindak pidana, tetapi tidak mau melakukannya sendiri, melainkan
menyuruh orang lain
·
untuk melakukannya.
|
·
Pada menyuruh
melakukan, orang yang disuruh adalah orang yang tidak mampu bertanggung
jawab,
Sedangkan,
Pada sengaja menyuruh atau
menggerakan, yang di suruh adalah orang yang mampu bertanggung jawab.
|
·
Pada menyuruh
melakukan, yang dihukum hanyalah orang yang menyuruhnya saja,
Sedangkan,
Pada sengaja menyuruh atau
menggerakan, yang dihukum ialah keduanya, yakni yang menggerakan dan yang
digerakan pula.
|
Y.
PENYERTAAN
(DEELNEMING VAN STRAFBAAR FEIL)
Ada
dua pandangan mengenai penyertaan, yaitu;
1. Penyertaan
adalah persoalan pertanggung jawaban pidana dan bukan merupakan suatu tindak
pidana karena bentuk nya tidak sempurna;
2. Penyertaan
adalah perluasan terhadap perbuatan yang dapat dipidana.
Penyertaan
ini terjadi apabila dalam suatu tindak pidana terdapat lebih dari satu orang
pelaku. Dan diperlukannya ajaran penyertaan ini ialah untuk melakukan
pertanggung jawaban masing-masing peserta terhadap tindak pidana, karena
hubungan antara pelaku tindak pidana dengan tindak pidana itu tidak selalu
sama. Hubungan yang tidak selalu sama maksudnya ialah pertanggunga jawabannya
yang berbeda meski bersangkutan.
Z.
SEMENLOOP
VAN STRAFBAAF FEIL
![]() |
Semenloop van strafbaar
feil atau concursus ini dapat terjadi apabila seseorang melakukan tindak pidana
lebih dari satu kali.
Adapun pembaguan
concursus, yaitu;
a) Concursus
idealis, artinya orang tersebut melekakukan satu kali tindak pidana namun
terkena lebih dari satu pasal.
b) Concursus
realis, artinya orang tersebut melakukan tindak pindana lebih dari satu kali,
disebabkan karena saat melakukan tindak pidana pertama nya tidak tertangkap
tetapi sudah diketahui identitasnya sehingga ia melakukan tidak pidana lagi
baru dapat tertangkap. Dan ini dapat berhubungan dengan perbuatan berlanjut,
yang dimana perbuatan berlanjut ialah suatu perbuatan yang antara perbuatan
pertama dengan yang berikutnya saling berhubungan erat.
Ajaran semenloop atau
concursus ini penting karena ajaran ini berfungsi untuk menentukan berapa
hukuman bagi seseorang yang melakukan tindak pidana lebih dari satu kali. Dan
hukuman nya itu ialah maksimal hukuman terberat ditambah 1/3 dari hukumannya.
AA. RECIDIVE (PENGULANGAN
TINDAK PIDANA)
Seseorang dapat
dikatakan telah melakukan recidive atau pengulangan tindak pidana, ketika ia (seseorang)
yang belum lewat lima tahun dari ia selesai menjalani hukuman nya ia melakukan
kembali tindak pidana. Dan bagi orang tersebut diberikan hukuman pemberatan 1/3
dari hukumannya, karena dianggap bahwa ia tidak pernah kapok.
Recidive terbagi menjadi
dua, yaitu;
1. Recidive
umum, yang dimana setiap orang yang melakukan tindak pidana apapun sebelum
lewat lima tahun dari ia selesai menjalani hukumannya, itu dapat dikatakan
recidive.
2.
Recidive khusus, yang
dimana seseorang dapat dikatakan telah melakukan recidive apabila tindak pidana
yang baru dilakukan sama dengan tindak pidana sebelumnya.
Dan
mengenai tindak pidana yang sama yang dimaksudkan oleh recidive khusus, dapat
dikelompok kan kedalam tiga kelompok, yang dimana pengelompokan ini sesuai
dengan apa yang tercantum dalam KUHP, yaitu;
a. Kelompok
tindak pidana mencari uang tidak halal,
b. Kelompok
tindak pidana tentang penganiayaan,
c. Kelompok
tindak pidana yang menyangkut tentang fitnah.
3.
Recidive menurut KUHP,
Pengulangan
tindak pidana dalam KUHP tidak diatur secara umum dalam aturan umum buku I,
tetapi diatur secara khusus untuk sekelompok tindak pidana tertentu baik barupa
kejahatan dalam buku II maupun yang berupa pelanggaran dalam buku III.
RECIDIVE DAN CONCURSUS
|
|
Persamaan
|
Perbedaan
|
·
Sama-sama melakukan
tindak pidana lebih dari satu kali.
|
·
Pada concursus,
beberapa tindak pidana belum ada putusan dari hakim, jadi putusannya
sekaligus.
Sedangkan,
Pada recidive
diantara tindak pidana sudah ada putusan dari pengadilan namun pelaku
melakukan tindak pidana lagi.
|
DAFTAR PUSTAKA
Rangkuman Materi Kuliah Hukum Pidana Semester II Fakultah Hukum Untirta (Dosen: Bapak Haji
Syar'i)
Rangkuman Materi Hasil Pembelajaran di Tirtayasa Moot Court Community (UKM-Fakultas Hukum Untirta
Moeljatno,
(2008).Asas-asas hukum pidana,
Jakarta: Rineka Cipta.
Sudarto,
(2013) hukum pidana I, Semarang:
Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum UNDIP.
Anonym.2013.http://www.pengacaraonline.com/index.php/category-blog/ilmu-pidana/145. Diakses pada
17 Mei 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar